Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Tragedi Para Hakim

Hakim Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Jamaluddin, tewas pada Jumat, 29 November 2019.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jasadnya ditemukan dalam kondisi tangan terikat di kursi belakang mobilnya yang terperosok di perkebunan kelapa sawit di Desa Suka Dame, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah, meminta semua hakim selalu waspada. “Bagi semua hakim di Indonesia, agar hati-hati saat berinteraksi dengan orang asing atau saat menerima tamu orang yang tidak dikenal,” ujarnya. Hakim rentan mendapat serangan, terutama dari orang yang tidak terima terhadap putusannya. Majalah Tempo edisi 11 Mei 1991 mengulas sejumlah kasus penyerangan terhadap hakim dalam tulisan bertajuk “Menyerang Hakim, Menghina Pengadilan”, yang membahas serangan kepada hakim H.A. Pardede.

Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, Nusa Tenggara Timur, itu diserang massa dan ditikam tiga lubang. Akibatnya, kondisi Pardede kritis dan mesti dirawat di rumah sakit di Surabaya atau Jakarta karena rumah sakit daerah setempat tidak memiliki fasilitas kesehatan yang cukup. Kasus penyerangan terhadap hakim Pardede itu bermula dari sengketa tanah antara kelompok penduduk Tenda dan penduduk Kumba, yang sudah berlangsung sejak 1969.

Dalam perkara itu, menurut Wakil Ketua Pengadilan Ting-gi Nusa Tenggara Timur Nurat Ginting, pihak Tenda kalah total dari pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung. Berdasarkan itu, Pengadilan Negeri Ruteng hendak melakukan eksekusi. Tapi keputusan itu terpaksa ditunda karena ada permohonan peninjauan kembali dari pihak Tenda. Mahkamah Agung kembali menolak permohonan Tenda. Kendati begitu, eksekusi tetap tak bisa dilaksanakan karena Tenda kembali mengajukan perlawanan atau verzet.

Majelis hakim yang diketuai Johan Affandi kembali menolak verzet tersebut. Keputusan itulah yang memicu keributan sekitar 200 orang pengunjung sidang dari kedua pihak yang bersengketa. Tiba-tiba, seseorang dari kelompok Kumba berteriak mengejek pihak yang kalah. Keributan pecah. Sebagian massa melempari pengadil-an dengan batu. Ketika itulah Pardede keluar dari ruangannya hendak menenangkan massa. Namun salah seorang warga maju dan menusuk Pardede.

Kasus penyerangan hakim tidak hanya dialami Pardede. Pada 1972, seorang perempuan nekat menyerang majelis hakim dan jaksa menggunakan gunting di Peng-adilan Negeri Bandung. Penyebabnya, perempuan itu tidak terima terhadap putusan majelis yang hanya menghukum -percobaan seorang pengemudi yang menabrak mati anak perempuan tersebut.

Pada 1980, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, seseorang yang kalah dalam perkara perdata mencabut pistol dan menembak pengacara lawannya. Ia juga membidik ketua majelis. Untung saja, pistolnya macet, sehingga tidak ada korban jiwa.

Kasus penyerangan juga menimpa hakim Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan. Majelis hakim yang diketuai Abdulhak Ali diserbu saksi pelapor bersama puluhan pengikutnya begitu ia membebaskan seorang terdakwa pemalsu tanah. Ketiga anggota majelis dipukuli massa dan gedung pengadilan dirusak.

Pengeroyokan juga dialami hakim K. Sianturi di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Jambi, pada 1989. Puluhan ibu -mengeroyok Sianturi dan merusak ruang sidang setelah Sianturi hanya memvonis seorang pembunuh 5 tahun penjara.

Bukan hanya penyerangan fisik yang dialami hakim dan pengadilan, melainkan juga pencemaran nama baik. Seorang pesakitan di Pengadilan Negeri Surabaya, Mansur Subagio, terang-terang-an menuding hakim Muntojo menerima suap begitu ia diperintahkan hakim masuk tahanan. Bersamaan -dengan itu, pengacara O.C. Kaligis di Jakarta menuding hakim -Hatta ingkar janji dalam perkara Hotel Chitra. Setelah menerima uang dari -kliennya Rp 2 juta dan US$ 18 ribu, kata Kaligis, Hatta memenangkan pihak lawannya.

Penghinaan yang paling menggegerkan dialami hakim Abdul Razak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seorang wanita muda, Mimi Lindawati, mencopot sepatunya dan melemparkannya ke Abdul Razak begitu hakim itu memvonis seorang penipu dengan 10 bulan penjara. “Hakim penipu,” kata Mimi, yang mengaku sudah membayar Rp 2,5 juta kepada hakim agar vonis lebih berat.

 


https://majalah.tempo.co/edisi/1262/1991-05-11

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus