Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Golkar ternyata belum sembuh dari kebiasaan lamanya: merapat pada kekuasaan bagaimanapun caranya. Tabiat buruk warisan Orde Baru ini membuat Golkar tak akan pernah menjadi sebuah partai politik modern yang sepenuhnya demokratis.
Ketidakmampuan Golkar meninggalkan pola-pola patronase dengan elite kekuasaan jelas berdampak pada rendahnya mutu demokrasi di Indonesia. Sebagai partai dengan perolehan kursi parlemen terbesar nomor dua pada pemilihan umum lalu, sikap oportunistis beringin membuat sistem politik kita tak kunjung beranjak dari level pemula—atau meminjam istilah Presiden Abdurrahman Wahid: “politik taman kanak-kanak”.
Jauh sebelum Musyawarah Nasional Partai Golkar digelar pada 3-5 Desember lalu, sejumlah politikus Golkar sudah gencar melobi lingkaran dekat Presiden Joko Widodo untuk memperoleh restu politik bagi dua kandidat ketua umum: Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto. Keduanya tampak tak percaya diri maju ke gelanggang pemilihan tanpa mengantongi persetujuan Istana.
Walhasil, tak terlalu mengejutkan ketika beredar kabar sejumlah utusan Istana ikut campur dalam pelaksanaan Munas Golkar. Melalui sejumlah orang dekatnya, Presiden Jokowi menegaskan dukungannya kepada inkumben Airlangga Hartarto dan berusaha mencegah Bambang Soesatyo berkompetisi. Intervensi semacam itu hanya bisa terjadi atas undangan elite Partai Golkar sendiri.
Di sisi lain, upaya Istana menyokong kandidat yang paling menguntungkan tak sepenuhnya keliru. Jokowi tentu berkepentingan mendapatkan garansi dukungan sepanjang masa pemerintahannya. Hanya cara Istana memainkan kartunya yang perlu dikritik karena terlampau terbuka.
Namun, lagi-lagi, semua itu dimungkinkan oleh elite Golkar sendiri. Lobi politik dua calon ketua umum membuka jalan bagi intervensi pemerintah. Motivasinya apa lagi kalau bukan transaksional. Golkar ingin mempertahankan posisinya di pemerintahan agar tetap punya akses pada sumber daya finansial. Patronase semacam itulah yang selama bertahun-tahun menghidupi partai beringin dan kini ditiru hampir semua partai politik lain.
Itulah salah satu faktor yang membuat kartel politik merajalela di negeri ini. Ketika partai dibangun tanpa ideologi yang kokoh dan keberpihakan yang jelas, ia dengan mudah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Oligarki pun gampang memanfaatkan partai untuk kepentingannya sendiri.
Partai politik modern dibangun dengan gagasan dan cita-cita besar untuk memajukan negeri. Jajaran elite dan pendukungnya punya pemahaman yang jernih mengenai bangunan nilai yang seharusnya menjadi patokan dalam proses menuju cita-cita itu. Tanpa visi dan nilai, partai politik menjadi kendaraan politik belaka. Ia bisa diperdagangkan dengan harga tertentu.
Selama bertahun-tahun di era Orde Baru, Golkar menikmati posisi dominan di pemerintahan. Beringin bisa seenaknya mengintervensi partai politik lain yang tak sejalan dengan rezim Soeharto. Semua ketua umum partai harus tunduk pada keinginan pemerintah. Sistem itu membuat oposisi mustahil ada di parlemen.
Kini, 20 tahun setelah reformasi, kita kembali menyaksikan gejala serupa. Kepentingan segelintir elite bisa amat berpengaruh dalam pengelolaan negara. Partai menyediakan diri untuk diintervensi penguasa, pemimpin partai harus mendapat restu Istana, dan kekuatan oposisi di Senayan makin kecil. Golkar tampaknya memang tak pernah benar-benar berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo