Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun depan pemerintahan Jokowi harus menghadapi ancaman resesi dunia. Kebijakan ala Orde Baru, yang menekankan stabilitas politik dan deregulasi sektor ekonomi, belum tentu bisa menyelamatkan Indonesia jika ekonomi melemah, apalagi terjadi krisis.
Ancaman resesi global yang dipicu oleh perang dagang Amerika Serikat versus Cina itu kini memang di ambang mata. Pertumbuhan ekonomi Amerika terus menurun hingga 2 persen pada triwulan ketiga tahun ini. Pada periode yang sama, pertumbuhan Tiongkok pun merosot ke angka 6 persen, terendah dalam tiga dekade terakhir. Perlambatan ekonomi dua negara yang menguasai sepertiga ekonomi dunia ini jelas melebar ke mana-mana. Apalagi ekonomi kawasan Eropa juga masih melemah.
Ekonomi Indonesia jelas kena dampaknya. Sesuai dengan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama tahun ini 5,07 persen, lalu turun menjadi 5,05 persen pada triwulan kedua, dan merosot ke angka 5,02 persen pada triwulan ketiga. Angka pengangguran pun mencapai 7,05 juta orang pada Agustus lalu, naik sekitar 50 ribu orang dibanding tahun lalu.
Perlambatan ekonomi terlihat jelas pada sektor penyumbang utama pertumbuhan, seperti perindustrian, pertanian, dan perdagangan. Adapun sektor yang sedang menanjak, yakni jasa transportasi, pergudangan, komunikasi, dan jasa keuangan, masih perlu digenjot lagi bila ingin menghadang pengaruh resesi dunia.
Seperti dipaparkan dalam laporan khusus edisi ini, ada peluang yang masih bisa digarap di sektor properti, komunikasi, pariwisata, dan industri garmen. Pembangunan infrastruktur selama ini semestinya bisa dimanfaatkan untuk menggenjot pariwisata dan properti. Bidang komunikasi bisa melaju lebih kencang setelah pembangunan jaringan serat optik sudah menjangkau semua provinsi.
Demi memburu target pertumbuhan 5,3 persen pada 2020, investasi langsung memang perlu dipermudah, tapi perubahan regulasi tak mungkin secepat kilat. Deregulasi bisa saja dilakukan sekali pukul lewat metode omnibus law—membikin satu undang-undang induk untuk mengubah aturan dalam sejumlah undang-undang yang lain. Tapi tetap saja butuh waktu untuk membahasnya karena menyangkut banyak isu. Kalaupun deregulasi bisa diterbitkan tahun depan, dampaknya baru akan terasa setahun kemudian.
Kebijakan yang paling realistis tentu saja menjaga daya beli masyarakat, yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan ketiga 2019, misalnya, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,5 persen produk domestik bruto. Upaya mempertahankan daya beli masyarakat bisa dilakukan lewat kombinasi kebijakan fiskal pemerintah dan moneter yang tepat.
Sayangnya, Presiden Jokowi tampak tak konsisten menjalankan strateginya dalam mengantisipasi krisis ekonomi dunia tahun depan. Dalam situasi kritis seperti sekarang, amatlah krusial memastikan semua kebijakan deregulasi sektor ekonomi berjalan seperti yang direncanakan. Artinya perlu ada menteri dan kepala badan yang kapabel untuk menuntaskan rencana Presiden.
Karena itu, gaya politik akomodasi dengan membagi-bagi jabatan strategis di pemerintahan kepada partai-partai politik seharusnya dihindari. Selain menghamburkan duit negara, kesalahan penempatan personel itu justru bisa menyabot rencana kerja presiden sendiri. Kementerian Perdagangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang seharusnya jadi ujung tombak negosiasi perjanjian dagang dan usaha menarik investasi asing, bisa dipimpin mereka yang punya rekam jejak lebih meyakinkan.
Itulah problem laten sistem politik yang bertumpu pada oligarki dan kartel politik. Kepentingan elite politik bisa lebih mewarnai kebijakan pemerintah ketimbang kepentingan penyelamatan negara dari krisis ekonomi. Distorsi tersebut makin mudah terjadi karena pemerintah Jokowi malah melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang selama ini menjadi alat kontrol perilaku elite politik.
Walhasil, semua bentuk deregulasi bakal mubazir jika pungutan liar dan korupsi tetap merajalela. Ekonomi bisa saja berjalan, tapi biayanya bakal boros karena banyaknya pemburu rente.
Sudah selayaknya Presiden Jokowi memikirkan ulang kebijakan ekonomi ala Orde Baru yang kini dia adopsi. Pada zaman dulu, mengerem pemberantasan korupsi, membiarkan perusakan lingkungan, dan mengekang demokrasi demi menggenjot pertumbuhan ekonomi bisa jadi manjur. Tapi sekarang belum tentu. Jika ekonomi tetap memburuk dan pengangguran terus meningkat, kekecewaan publik bisa berlipat ganda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo