Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menyambut bulan Ramadan, tiap daerah memiliki kebiasaan dan tradisinya. Beberapa tradisi dilakukan karena wujud kebahagiaan atau rasa syukur. Masyarakat di beberapa daerah di Maluku juga memiliki ragam tradisi yang digelar menjelang bulan suci itu tiba. Berikut tradisi di Maluku:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batahlil di Ternate
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batahlil adalah tradisi mengirimkan doa kepada leluhur atau sanak saudara yang sudah meninggal. Menurut masyarakat Ternate, batahlil dapat menguatkan jiwa dalam menyambut Ramadan.
Tradisi ini biasanya dilakukan di pekan terakhir menjelang bulan puasa dengan mengundang pengurus masjid terdekat dan tetangga sekitar.
Prosesi batahlil dilakukan dengan cara duduk menyilang dan saling berhadapan. Imam akan duduk di ujung barisan sembari memimpin ritual. Di sisi kanan dan kiri akan ada irisan daun pandan, daun jeruk dan bunga melati di dalam satu wadah.
Selama prosesi warga akan membaca ayat-ayat dalam Al-Quran seperti surah pendek Al-Fatiha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, juga kalimat zikir, selawat, serta doa-doa seperti doa tolak bala.
Bersih-bersih menjelang “Kepala Puasa”
Masyarakat Maluku menyebut hari pertama puasa Ramadan sebagai “kepala puasa”. Masyarakat Tual menyambutnya dengan tradisi bersih-bersih desa. Mulai dari tempat ibadah dan sekitar rumah.
Masyarakat Tual juga berkunjung ke rumah keluarga dan kerabat. Anak yang merantau, misalnya, akan datang mengunjungi orang tua di kampung. Sehingga pada saat kepala puasa, anggota keluarga secara lengkap dapat sahur bersama.
Anak dan Remaja Menyambut dengan Musik
Anak-anak, remaja masjid, dan pegiat Karang Taruna di Tual menyambut Ramadan main musik tradisional dan bernyanyi berkeliling kampung. Alat musik yang dimainkan yang digunakan untuk mengiringi lagu biasanya adalah rebana, tamtam, dan rincus. Memainkan alat musik seperti ini biasanya akan berlangsung hingga beberapa hari.
Selo Buto
Selo buto adalah tradisi yang dilakukan untuk menyambut malam turunnya lailatul qadar atau turunnya Al Quran di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Selo buto biasa dilakukan setiap malam 27 Ramadan, karena sejak zaman dahulu masyarakat setempat meyakini bahwa amalan yang dilakukan selama malam lailatul qadar sama nilainya dengan seribu bulan.
Selo buto diawali dengan menancapkan sejumlah tiang kayu dengan tinggi dua meter di pekarangan rumah. Kayu-kayu ditata membentuk lingkaran dengan diameter sekitar lima meter. Batang-batang itu akan digunakan untuk mengikat batang enau, pisang, jagung, dan tebu.
Pohon enau, pisang, jagung, dan tebu yang diikatkan di tiang harus lengkap dengan daunnya dan khusus untuk pisang dan jagung harus memiliki buah yang bisa dimakan. Semua tumbuhan buah-buahan itu berasal dari kebun masyarakat.
Sejumlah pria akan menabuh tifa atau gendang rebana. Belasan pria akan masuk ke dalam lingkaran dengan membawa parang atau salawaku sambil menari Cakalele, tarian tradisional setempat.
Setelah menari Cakalele sekitar 30 menit, para pria yang membawa parang mulai mengibaskan parang mereka pada tiang-tiang yang telah diikat tumbuhan. Warga ramai memperebutkan buah-buah yang berjatuhan dari tiang.
Baca juga: Mandi Balimau, Tradisi Sekaligus Wisata Religi Sambut Ramadan
YOLANDA AGNE