Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh puasa Ramadan terhadap penderita Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)—penyakit asam lambung atau maag. Hasilnya, pasien dengan keluhan GERD merasakan sangat ringan saat berpuasa dibandingkan tidak puasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam yang terlibat dalam penelitian itu menerangkan, pasien GERD ini juga ternyata merasakan keluhan lebih ringan dibandingkan pasien yang tidak berpuasa. “Puasa Ramadan selama ini terbukti akan memperbaiki sakit maag seseorang,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin, 27 April 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Ari, penelitian berjudul ‘Pengaruh Puasa Ramadhan terhadap Gejala Klinis Pasien Penyakit GERD’ itu melibatkan beberapa dokter lain, yakni Radhiyatan Mardhiyah, Dadang Makmun dan Siti Setiadi, yang dilakukan tahun lalu. Penelitian ini melibatkan 130 orang pasien GERD yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok pasien GERD yang berpuasa Ramadan dan tidak berpuasa Ramadan.
Mayoritas subjek penelitian adalah laki-laki dan median usia di kedua kelompok adalah 53 tahun. Ari yang juga dokter spesialis penyakit dalam itu memang tidak melibatkan pasien wanita yang masih produktif (masih mengalami menstruasi).
Menurutnya, pasien yang menjadi subjek ini telah dilakukan endoskopi saluran cerna dan sebagian besar memang pasien dengan Non Erosive Reflux Disease (NERD)—keadaan penyakit GERD yang tidak ditemukan luka pada klep antara kerongkongan dan lambung.
“Pada pasien yang menjadi subjek penelitian ini dilakukan pemeriksaan pada minggu ke-4 Ramadan dan dibandingkan tiga bulan setelah Ramadan,” kata pria kelahiran Jakarta 53 tahun lalu itu.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa pada kelompok pasien yang berpuasa Ramadan terdapat perubahan nilai GERD-Q—parameter untuk menilai ringan buruknya GERD. Jumlah pasien yang mengalami perubahan sebanyak 55 pasien atau mencapai 85 persen. Bahkan pada 23 persen, perubahan GERD yang terjadi dengan rentang yang cukup besar.
Beberapa analisa lebih lanjut ternyata jumlah asupan rokok pasien selama berpuasa Ramadan berkurang dibandingkan saat tidak berpuasa. Pengaruh selisih waktu antara makan terakhir dengan tidur tidak ditemukan pada kedua kelompok baik pada penderita GERD saat berpuasa ataupun tidak berpuasa.
“Begitu pula tidak ada perbedaan antara selisih waktu antara makan terakhir dengan tidur pada kelompok puasa dan tidak puasa,” tutur Ari.
Menurut lulusan master biologi molekuler dari University of Queensland, Australia itu, perbedaan perbaikan gejala klinis GERD ini lebih meyakinkan bahwa pasien dengan GERD tetap diperbolehkan untuk tetap berpuasa karena puasa Ramadan akan memperbaiki gejala GERD-nya.
Puasa Ramadan selama ini terbukti memperbaiki sakit maag seseorang. Dalam praktik sehari-hari, bahkan pada minggu pertama pasien sudah melaporkan bahwa keluhan maagnya membaik saat berpuasa.
Beberapa alasan kenapa pasien dengan sakit maag akan membaik jika berpuasa Ramadan, antara lain karena makannya menjadi teratur pada saat sahur dan berbuka, mengurangi camilan-camilan yang tidak sehat yang bisa saja dikonsumsi pada siang hari, mengurangi konsumsi rokok dan pengendalian diri.
“Secara teori mestinya pasien dengan GERD juga akan membaik keluhannya saat berpuasa Ramadan,” ujar Ari, sambil menambahkan, “hal ini yang menjadi tujuan kenapa pasien GERD yang berobat di Poli Gastroenterologi RSCM diteliti pengaruh gejala penyakit GERD-nya selama puasa Ramadan.”