Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramadan di Lebanon kali ini sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, sebab krisis ekonomi yang semakin parah menyulitkan warga Lebanon membeli makanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama sepuluh tahun terakhir, Sawa For Development and Aid telah mengirimkan makanan buka puasa untuk sekitar 4.000 keluarga setiap hari selama Ramadan di Lembah Bekaa timur Lebanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi tahun ini dapur LSM itu harus bekerja tanpa henti, memasak untuk sedikitnya 7.000 pengungsi Suriah dan keluarga Lebanon.
"Tahun ini sedikit berbeda," kata Doha Adi, manajer program LSM, dikutip dari Al Jazeera, 19 April 2021.
Doha Adi mengatakan mereka harus menyediakan makanan hangat untuk area yang jauh dari dapur LSM di Lembah Bekaa, dan mengirimkan paket makanan ke rumah-rumah di Beirut dan Tripoli.
Tapi bukan hanya pengungsi Suriah dan warga Lebanon yang rentan di seluruh negeri yang meminta paket makanan bantuan dari Sawa For Development and Aid.
"Kami dihubungi oleh pemerintah kota Bekaa untuk mendukung rumah tangga Lebanon tahun ini," kata Adi. "Mereka mengirimkan daftar rumah tangga yang rentan kepada kami, menanyakan apakah kami dapat membantu mereka."
Seorang pria menghitung uang kertas pound Lebanon di tempat penukaran mata uang di Beirut, Lebanon 4 Maret 2021. Gambar diambil 4 Maret 2021. [REUTERS / Mohamed Azakir]
Warga Lebanon terpaksa berhemat supaya tetap menyediakan makanan di meja makan selama Ramadan.
Hala Sheikh, warga Beirut, terpaksa memilih Fattoush untuk menu berbuka keluarganya.
Bahkan bahan-bahan Fattoush, salad sederhana khas Lebanon, harganya naik tiga kali lipat sejak tahun lalu.
"Kami tidak ingin menyiapkan hal-hal yang tidak perlu. Kami menyiapkan makanan dasar seperti fattoush, sup, dan hidangan utama - kami tidak akan menyiapkan makanan besar seperti tahun lalu atau tahun sebelumnya," kata Hala Sheikh saat dia bersiap untuk makan Ramadan pertama minggu ini, dikutip dari Reuters.
Sebuah studi oleh American University of Beirut (AUB), yang dijuluki "Indeks Fattoush", menemukan bahwa harga bahan-bahan fattoush termasuk selada, tomat, mentimun, peterseli, lobak, dan roti, melonjak 210% dalam 12 bulan terakhir.
Seorang pria yang berjalan melewati lubang dengan penutup yang hilang di Beirut, Lebanon 4 Maret 2021. [REUTERS / Mohamed Azakir]
Setelah beberapa dekade salah urus dan korupsi, para pemimpin Lebanon telah gagal memecahkan kebuntuan politik dan membentuk pemerintahan baru untuk mengatasi krisis, yang semakin memburuk dengan dampak pandemi virus corona dan ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut pada Agustus 2020.
"Kami menyaksikan banyak perang, perang saudara dan invasi Israel," kata Hala Sheikh. "Tapi ini Ramadan terburuk yang pernah kami alami."
Setelah mata uang Lebanon merosot 85%, nilainya kini hampir 20 sen AS atau sekitar Rp 2.923. Lebanon mengalami penurunan upah minimum menjadi sekitar US$ 50 (Rp sekitar Rp 730 ribu) sebulan, sementara biaya dengan cepat meningkat.
Profesor AUB, Nasser Yassine, mengatakan bahwa selama sebulan penuh Ramadan, biaya untuk menyediakan makanan buka puasa buka puasa untuk sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang telah meningkat menjadi 1,5 juta pound Lebanon (Rp 14,5 juta), lebih dari dua kali lipat upah minimum bulanan.
Selama 18 bulan terakhir, lebih dari separuh penduduk Lebanon jatuh miskin, Al Jazeera melaporkan.
Selain itu krisis Lebanon membuat harga pangan telah meroket, bahkan untuk kebutuhan pokok rumah tangga yang paling sederhana.
Seorang demonstran duduk di aspal dekat ban yang terbakar selama protes terhadap jatuhnya mata uang pound Lebanon dan kesulitan ekonomi yang memuncak, di Beirut, Lebanon 2 Maret 2021. [REUTERS / Mohamed Azakir]
Lebanon mengimpor sebagian besar barangnya, termasuk makanan, dan inflasi pangan di Lebanon adalah yang tertinggi di dunia, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena harga pangan telah melonjak di atas 400 persen.
Banyak pelanggan yang cemas bertengkar berebut minyak goreng bersubsidi, susu bubuk, dan makanan lainnya, di toko kelontong.
Beberapa toko telah memberikan jatah makanan untuk menghentikan orang menimbun, tetapi itu tidak meredakan ketegangan. Dalam beberapa kasus, aparat keamanan harus turun tangan.
Juru bicara World Food Programme (WFP) Rasha Abou Dargham mengatakan kepada Al Jazeera, bahwa semakin banyak orang di Lebanon tidak dapat lagi mengamankan jumlah makanan yang diperlukan.
"Sedikitnya 22 persen warga Lebanon, 50 persen pengungsi Suriah, dan 33 persen pengungsi dari negara lain saat ini mengalami rawan pangan,” kata Abou Dargham.
"Harga sekeranjang makanan WFP, minimal untuk bertahan hidup, meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2020 dan terus meningkat pada tahun 2021."
Badan pangan dunia PBB itu membantu hampir 1,5 juta orang di Lebanon atau sekitar satu dari enam orang di Lebanon.