Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Letusan Surtseyan Gunung Anak Krakatau Mirip Saat Tsunami 1927

Tipe letusan Gunung Anak Krakatau berubah dari tipe strombolian menjadi tipe surtseyan.

25 Desember 2018 | 08.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi Gunung Anak Krakatau lewat udara yang terus mengalami erupsi pada Ahad, 23 Desember 2018. Berdasarkan hasil pengamatan dari analisis data dan visual instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas gunung Anak Krakatau masih tetap Level II atau waspada dan belum menunjukkan tanda-tanda letusan besar. TEMPO/Syafiul Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy K. Syahbana, mengatakan tipe letusan surtseyan Gunung Anak Krakatau yang terjadi pasca tsunami Selata Sunda pada Sabtu, 22 Desember lalu, mirip kejadian sekitar tahun 1927-1928.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Devy mengatakan tipe letusan surtseyan itu mulai muncul di permukaan laut sekitar tahun 1927-1928. “Saat itu dilaporkan sempat terjadi tsunami,” ujar Devi, Senin, 24 Desember 2018.

Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG, Wawan Irawan, mengatakan setelah tsunami Selat Sunda pada Sabtu lalu, tipe letusan Gunung Anak Krakatau berubah dari tipe strombolian menjadi tipe surtseyan.

“Tipe letusannya sekarang sudah berbeda. Kalau dulu strombolian seperti air mancur. Kalau sekarang istilahnya (tipe letusan) Surtseyan,” ujar Wawan.

Wawan mengatakan, perubahan tipe letusan itu salah satunya dipicu oleh robohnya material tubuh gunung api yang memicu tsunami. “Kejadian tsunami salah satunya akibat longsoran tubuh gunung api. Kalau ada tubuh gunung api yang longsor masuk ke laut, itu yang mendorong menjadikan tsunami,” kata dia.

Menurut Wawan, Gunung Anak Krakatau itu dibangun oleh aliran lava dan juga aliran piroklastik berupa material lepas. “Sebagian mungkin yang sifatnya lepas itu yang tidak stabil karena ada lava di atasnya yang meluncur,” kata dia.

Wawan mengatakan, PVMBG tengah mengevaluasi rekomendasi mitigasi bahaya Gunung Anak Krakatau setelah robohnya tubuh gunung api, dan berubahnya karakter tipe letusan gunung tersebut. “Tipe letusan sudah berbeda, jadi dasar evaluasi,” kata dia.

Menurut Devy, longsoran yang terjadi membuat tim di lapangan kesulitan mendeteksi letusan Gunung Anak Krakatau. “Karena ini bukan seperti magma yang berkembang. Kalau misalnya magma, masih bisa kelihatan inflasinya. Ini tidak, sektor yang collaps ini tiba-tiba. Tubuh gunung api saat ini juga sudah tidak aman dipasang peralatan,” ujarnya.

Devy mengatakan, alat seismik yang disimpan PVMBG di Pulau Gunung Anak Krakatau juga mati pada Sabtu, 22 Desember 2018, pukul 21.03 WIB. Diduga alat itu juga ikut hancur saat terjadi letusan, yang terjadi diperkirakan bersamaan dengan longsornya tubuh gunung api di sektor selatan.

Waktu tempuh gelombang tsunami yang dihasilkan juga pas dengan laporan kejadian tsunami di Pantai Anyer pukul 21.27 WIB. “Travel time (gelombang tsunami) sekitar itu,” kata dia.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami PVMBG, Sri Hidayati, mengatakan, sebelum terjadi tsunami Selat Sunda tanggal 22 Desember 2018, erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi terus-menerus sejak Juni 2018. Erupsinya fluktuatif, namun tidak ada peningkatan intensitas yang signifikan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus