INDUSTRI pertanian mestinya tak perlu bergantung lagi pada kedelai impor. Setidaknya, para pengusaha tempe, tahu, kecap, dan pangan lain dari kacang kedelai kini bisa memenuhi kebutuhan kacang kedelai cukup dari produksi dalam negeri. Sebab, baru-baru ini Dr. Sunarto dari Universitas Soedirman, Purwokerto, Jawa tengah, menemukan varietas unggul bernama Slamet yang dapat meningkatkan produksi kedelai sampai sepuluh kali lipat dari produksi dengan benih biasa.
Hasil penemuan Sunarto, 55 tahun, dan dua rekannya, Noor Farid serta Suwarto, terungkap dalam lokakarya kedelai nasional di Purwokerto, awal Maret 2000. Ketiga dosen di Universitas Soedirman itu mengupayakan penemuan benih Slamet dengan teknik penyilangan kultur jaringan sejak 1987.
Mula-mula, benih kedelai dari varietas Wilis disilangkan dengan induk si Wilis. Hasil dari penyilangan itu lantas disilangkan dengan varietas Dempo yang resistan terhadap racun aluminium. Sebagaimana diketahui, unsur logam aluminium menyebabkan tingginya derajat kemasaman tanah, sehingga sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Dari penyilangan terakhir itulah kemudian dihasilkan varietas Slamet—diambil dari nama gunung di dekat Purwokerto.
Namun, untuk sampai ke tahap akhir itu, tak sedikit kesulitan yang dialami Sunarto dan koleganya. Dalam proses penyilangan, misalnya, tingkat keberhasilannya terhitung rendah. Itu karena besarnya gangguan dari mikroorganisme. Sudah begitu, kata Sunarto, keturunan kedua yang diperoleh dari penyilangan pun ternyata banyak variasinya. Mau tak mau, Sunarto mesti menyeleksi secara ketat benih yang layak untuk dikembangkan.
Pada 1995, Slamet pun diperkenalkan kepada petani di Jawa Tengah. Ternyata, dengan masa tanam yang tetap normal selama 87 hari, rata-rata hasil tanaman kedelai dengan benih Slamet bisa mencapai 2,47 ton per hektare. Padahal, dengan varietas kedelai yang biasa digunakan petani, hasil lahannya hanya sekitar 1,2 ton per hektare.
Tentu peningkatan hasil yang sangat mencolok itu akan menguntungkan petani. Dengan produktivitas 2 ton sehektare saja, secara ekonomis petani kedelai sudah bisa dibilang beruntung. Apalagi, menurut Sunarto, Slamet juga terbukti sangat tahan terhadap serangan racun tanaman.
Tak cuma di Jawa keunggulan Slamet teruji. Di Kalimantan, yang lahannya kebanyakan tanah gambut dengan jenis tanah berbahan organik dan tingkat kemasaman tinggi, Slamet pun ternyata tangguh. Hal itu diutarakan oleh Ali Zum Mashar, peneliti dari Science Park di Kalimantan Tengah, dalam lokakarya kedelai di Purwokerto itu. Ali telah mencoba Slamet di proyek lahan gambut di Kapuas, Kalimantan Tengah, pada 1999, dan sebelumnya di kebun percobaan transmigran di daerah itu juga.
Menurut penuturan Ali, varietas Slamet bisa menghasilkan panen 4-7 ton per hektare lahan gambut. Padahal, dengan benih kedelai biasa, kata Ali, angka produksinya hanya mencapai 0,6 ton sehektare. Itu pun sudah dilakukannya di daerah yang terhitung paling subur di Kalimantan. Artinya, Slamet bisa mendongkrak panen kedelai sepuluh kali lebih.
Secara rata-rata, menurut Ali, Slamet berhasil meningkatkan produksi sampai 250 persen. Sebagai perbandingan, penggunaan varietas Wilis hanya berhasil mendongkrak produksi 25 persen. Memang, pada semua percobaan itu, baik yang menggunakan Slamet, Wilis, maupun benih biasa, Ali mengombinasikannya dengan penerapan teknik bioporasi. Teknik ini menggunakan mikrobe untuk mempercepat penyuburan tanah.
Tak pelak lagi, penemuan Slamet amat berarti bagi perkembangan agroindustri, khususnya industri pertanian berbahan baku kedelai. Tinggal lagi keunggulan Slamet mesti diuji dengan skala percobaan yang lebih luas, seperti dikatakan Achmad Chozin dari Institut Pertanian Bogor. Bila pada tahapan itu Slamet tetap terbukti unggul, varietas ini tentu harus ditangkarkan dan siap diterapkan di dunia pertanian.
Sekalipun demikian, Chozin mewanti-wanti bila nanti produksi kedelai berlimpah, termasuk akibat peranan Slamet. Soalnya, "Selama ini, petani kedelai punya masalah dengan distribusi pascapanen karena mereka tak punya akses," ujar Chozin. Kalau persoalan itu, ya, terpulang pada pembenahan ekonomi makro dan kiat para ekonom pertanian.
Yusi A. Pareanom, Arief A. Kuswardono, L.N. Idayanie (Purwokerto) L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini