Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gus Dur Ditarik ke Pengadilan

Parni Hadi menggugat pencopotan dirinya sebagai pemimpin Antara ke PTUN Jakarta. Bisakah keputusan presiden kini, tak seperti dulu, dipatahkan hakim?


9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI presiden-presiden sebelumnya, akhirnya Presiden K.H. Abdurrahman Wahid juga menjadi tergugat di pengadilan. Penyebabnya tak lain keputuan presiden atau keppres Gus Dur yang mencopot Parni Hadi selaku pemimpin Kantor Berita Antara dan mengangkat Mohammad Sobary sebagai penggantinya. Parni menganggap keputusan penghentian dirinya yang mendadak itu telah melanggar hukum.

Melalui pengacara Zul Amali Pasaribu dan dua rekannya, Parni menggugat Gus Dur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ia menuntut agar keppres tersebut dibatalkan, sehingga dirinya tetap sah sebagai pemimpin Antara. Rabu pekan ini, rencananya, PTUN Jakarta mulai melakukan pemeriksaan persiapan untuk menyidangkan gugatan Parni.

Sebagaimana ramai diberitakan, pemberhentian Parni dan pengangkatan Sobary terhitung kontroversial. Soalnya, Gus Dur, yang berharap Antara bisa mandiri dan lepas dari pengaruh pemerintah, justru mengedrop orang dari luar seperti Sobary untuk memimpin Antara. Memang, sejak 1962, penunjukan pemimpin Antara, yang disebut-sebut sebagai kantor berita pemerintah, selalu dilakukan oleh presiden.

Pengangkatan Parni hampir dua tahun lalu juga melalui keppres semasa B.J. Habibie. Belakangan, rupanya, Gus Dur bermaksud mengganti Parni yang dianggap sebagai "orangnya" Habibie itu. Sayangnya, dua orang yang pernah diminta Presiden mengisi kursi pimpinan Antara, yakni wartawan senior Kompas Budiarto Danujaya dan Direktur Keuangan Antara Saiful Hadi, tak kunjung bersedia. Akhirnya, Sobary, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan kolumnis, yang ditunjuk Gus Dur.

Masalahnya, menurut pengacara Zul Amali Pasaribu, presiden tak berwenang mengurusi pergantian pimpinan Antara. Sebab, sesuai dengan akta nomor 52 tanggal 20 Mei 1953, kantor berita itu berbentuk yayasan swasta. Jadi, Antara bukan milik pemerintah. Memang, setiap tahun Antara menerima subsidi dari pemerintah. Tapi subsidi itu bersifat hibah, yang artinya pemberian cuma-cuma. Bahkan, sumbangan pemerintah sebesar Rp 1 miliar pada tahun 2000, kata Parni, ditolak Antara.

Keppres pemberhentian Parni dan pengangkatan Sobary tertanggal 17 Maret 2000 itu juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut undang-undang itu, semua perusahaan pers, termasuk Antara, berstatus badan hukum. Dengan demikian, masalah Antara sebenarnya sudah masuk lingkungan hukum privat (perdata), bukan lagi wilayah hukum publik (adiministrasi negara) yang bisa diurusi presiden.

Menurut Parni, mestinya Presiden Abdurrahman mau bersabar menunggu terbentuknya badan hukum Antara sebagai perseroan terbatas (PT). Sesuai dengan Undang-Undang Pers, pembentukan badan hukum itu paling lambat 23 September 2000. Ketika badan hukum terbentuklah, Parni, yang tak hadir dalam pelantikan Sobary selaku penggantinya pada 20 Maret 2000, mengaku bersedia lengser sesuai dengan aturan hukum perseroan.

Berdasarkan itu semua, Parni menuntut pembatalan keppres tadi. Menurut Parni, gugatan itu sama sekali tak dimaksudkan agar ia bisa tetap berkuasa di Antara. "Saya berani pasang badan dengan menggugat Presiden sekadar untuk contoh perjuangan moral. Sudah cukuplah karir saya sebagai wartawan selama 20 tahun lebih," katanya.

Parni juga menuntut ganti rugi Rp 1 triliun. Meski tuntutan ganti rugi tersebut jauh melampaui batas maksimal ganti rugi Rp 5 juta di PTUN, Parni menandaskan bahwa ganti rugi itu, bila dikabulkan hakim, akan disumbangkannya kepada karyawan Antara.

Mungkinkah gugatannya dimenangkan PTUN? Sebab, selama ini, pengadilan administrasi itu tak pernah berani membatalkan keppres. Contohnya adalah gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia terhadap keppres semasa Soeharto yang mengalihkan ratusan miliar dana reboisasi hutan untuk PT Industri Pesawat Terbang Nusantara dan PT Kiani Kertas milik Bob Hasan.

Sampai pekan lalu, belum diketahui tanggapan Gus Dur atas gugatan itu, mungkin karena persidangannya di PTUN pun belum dimulai. Bahkan, siapa yang akan ditunjuk untuk mewakili Presiden selaku tergugat juga belum terdengar.

Namun, menurut sebuah sumber di lingkungan Istana Negara, keppres tertanggal 17 Maret 2000 itu sudah tepat. "Pengangkatan Parni juga dengan keppres. Dan keppres yang mengatur tata cara pengangkatan pimpinan Antara pun belum dicabut," kata sumber itu. Apalagi, dalam proses persiapan Antara menjadi PT, Gus Dur mengetahui rencana Parni untuk menguasai saham mayoritas calon badan hukum itu.

Sumber tersebut juga menepis dalih bahwa Antara bukan milik pemerintah. Alasannya, selain menikmati subsidi setiap tahun dari pemerintah, Antara memperoleh hak monopoli, antara lain, sebagai agen kantor berita asing yang masuk ke Indonesia. "Ongkos untuk kepergian Parni ke luar negeri juga dari pemerintah," kata sumber yang sama.

Hp.S., Arif A. Kuswardono, dan Tiarma Siboro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum