Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mutasi satu gen diduga berada di balik penyebaran cepat varian virus Covid-19 JN.1 di dunia tahun lalu, termasuk di Indonesia. Temuan itu lagi-lagi menunjukkan betapa cepatnya kemampuan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, beradaptasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hanya satu mutasi gen sudah membuat JN.1 mampu mengelak dari respons antibodi, dan itulah kenapa dia mampu menyebar ke seluruh dunia," kata Emanuele Andreano dari Monoclonal Antibody Discovery Laboratory, Toscana Life Sciences Foundation di Italia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JN.1, subvarian dari Omicron, pertama kali teridentifikasi di Luksemburg pada Agustus 2023. Pada akhir Januari lalu, subvarian itu diketahui telah menguasai 88 persen, 85 persen, dan 77 persen dari jumlah infeksi yang tercatat di Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Australia.
Padahal pendahulunya, varian dari mana dia berasal, yakni BA.2.86, tak pernah terhitung lebih dari lima persen dalam catatan infeksi global.
Dengan JN.1 dan turunannya yang masih menjadi varian Covid-19 paling banyak dilaporkan di dunia, Andreano dan kawan-kawannya ingin mencari tahu bagaimana virus itu bisa sangat berbeda dari varian sebelumnya.
Hasil pengurutan gen sebelumnya menunjuk ke sebuah mutasi tambahan yang dimiliki JN.1 dibandingkan dengan BA.2.86. Satu mutasi tambahan itu ada dalam protein paku, bagian dari virus yang digunakan untuk menginfeksi sel.
Untuk mempelajarinya lebih jauh, Andreano dan timnya menganalisis 899 antibodi dari sampel darah milik 14 orang. Para responden ini seluruhnya telah menerima 2-3 dosis Vaksin Covid-19 jenis mRNA dan terkonfirmasi pula pernah terinfeksi Covid-19.
Para peneliti menambahkan setiap dari antibodi itu, bersama SARS-CoV-2 varian BA.2.86, ke cawan berisi sel-sel monyet. Hasilnya, sel dalam 66 cawan di antaranya tetap aman. Dugaannya, antibodi yang ditambahkan itu mampu mencegah BA.2.86 menginfeksi sel-sel itu.
Ketika tim peneliti mengulangi eksperimen itu dengan JN.1, hanya 23 antibodi yang bisa mencegah infeksi.
Lalu, para peneliti menggunakan sebuah simulasi komputer untuk menguji bagaimana mutasi protein paku JN.1 berperan membantu virus itu mengatasi cegatan antibodi dan tetap bisa menginfeksi sel. Para peneliti menemukan mutasi asam amino yang sebelumnya memiliki untaian panjang (leusin) menjadi lebih pendek atau serin.
Serin itulah yang, kalau tidak melemahkan, sepenuhnya memblokade antibodi sehingga tidak berinteraksi dengan protein paku.
Hanya sedikit antibodi yang mampu mencegah infeksi JN.1 ke sel monyet. Mereka diketahui milik lima dari 14 donor sampel darah.
Menurut Andreano, kelimanya adalah individu dengan imunitas 'super-hibrida'. Imunitas itu terbentuk setelah menerima tiga dosis vaksin mRNA, sekali terinfeksi SARS-CoV-2 orisinal asal Wuhan, dan terinfeksi lagi oleh Covid-19 varian Omicron.
"Antibodinya mungkin mengikat bagian lain dari protein paku, jauh dari lokasi mutasi leusin menjadi serin, dan karenanya mencegah infeksi JN.1," tutur doktor yang menekuni bioteknologi dan imunobiologi itu.
Adreano menyebut hasil studi menunjukkan bagaimana sebuah mutasi telah memberi kemampuan kunci bagi JN.1 untuk menembus kekebalan tubuh seseorang. Meski begitu, Andreano juga mengatakan kalau tidak ada dampak atau gejala infeksi yang lebih parah atau berat daripada yang sudah diketahui disebabkan oleh varian Covid-19 sebelumnya.
Yang terakhir itu kemungkinan karena ada banyak taji lain dari sistem imun tubuh, seperti sel T, yang bekerja menghentikan virus menyebabkan infeksi parah, bahkan jika mereka tidak dapat mencegah infeksi itu. "Secara kolektif, imunitas orang-orang mempertahankan kekuatan," kata Jonathan Ball, profesor virologi molekuler di Liverpool School of Tropical Medicine, Inggris.
Antibodi-antibodi yang dikumpulkan para peneliti mirip dengan yang sebelumnya ditemukan di tengah masyarakat global. "Tapi studi ini masih relatif kecil dan harus direplikasi dalam kelompok-kelompok yang lebih besar," kata Dalan Bailey, peneliti biologi molekuler dari virus RNA di The Pirbright Institute, Inggris.
NEW SCIENTIST