Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Metode melihat hilal merupakan topik pembahasan yang penting menjelang awal Ramadan maupun Hari Raya Idul Fitri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilal adalah bulan sabit. Bila didalami dari kacamata ilmu astronomi, hilal merupakan bulan sabit muda pertama yang terbentuk setelah konjungsi alias bulan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara ilmiah, terdapat dua metode yang digunakan, yaitu metode hisab dan rukyatul hilal. Perbedaan metode penentuan hilal muncul karena riwayat hadits yang memberikan panduan dalam melihat bulan sabit pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masing-masing metode memiliki dasar dan proses penghitungan tersendiri. Perbedaan metode yang kerap membedakan hari pertama puasa maupun Lebaran di berbagai negara. Namun, setiap metode pada dasarnya dikembangkan dari prinsip ilmiah yang telah digunakan secara turun temurun.
Lantas, bagaimana cara melihat hilal?
1. Metode Hisab
Metode hisab berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hisab, yang berarti perhitungan atau pemeriksaan. Mengutip isi buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, yang dimuat di situs resmi Universitas Insan Cita Indonesia, hisab dipakai untuk menghitung posisi bulan dan matahari secara matematis dan astronomis. Dalam ilmu fikih, metode ini digunakan untuk menentukan waktu ibadah, termasuk awal bulan Hijriah.
Kriteria dalam metode hisab adalah terpenuhinya ijtimak, yaitu saat posisi bulan dan matahari sejajar dalam satu garis ekliptika. Ijtimak harus terjadi sebelum matahari terbenam, saat matahari terbenam, serta saat bulan berada di atas ufuk.
Metode hisab telah digunakan secara luas oleh berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, lantaran dianggap lebih praktis. Metode ini tidak tergantung pada kondisi cuaca atau visibilitas bulan sabit.
2. Metode Rukyatul Hilal
Untuk metode rukyatul hilal, bulan sabit diamati secara langsung. Metode ini telah digunakan sejak pertama kali Islam masuk ke Nusantara dan menjadi tradisi untuk menentukan awal bulan Hijriyah. Pada awalnya, pengamatan hanya menggunakan mata tanpa bantuan alat optik.
Seiring perkembangan teknologi, metode rukyatul hilal dijalankan dengan alat bantu optik seperti teleskop. Pengamatan dilakukan saat matahari terbenam di tempat dengan cakrawala terbuka dan minim polusi cahaya.
Metode ini diklaim lebih sesuai dengan hadits yang menganjurkan pengamatan langsung. Meski begitu, cara ini bisa terganggu oleh kondisi cuaca dan lokasi pengamatan.