Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Demi Lenyapnya Kontroversi

Undang-Undang Terorisme hendak direvisi. Penggunaan laporan intelijen dikontrol, tapi kewenangan polisi tetap besar.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SITI Nurlela (bukan nama sebenarnya) sempat kelabakan. Suatu hari suaminya tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi. Tiga hari kemudian, dia baru tahu bahwa sang suami, Jibril, ditangkap polisi, setelah rumahnya digeledah. Tanpa surat geledah, aparat meminta dengan paksa foto Jibril dan salinan surat nikahnya. Kata Siti, suaminya, yang bekerja di Bekasi, dituduh terlibat dalam aksi pengeboman Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta.

Peristiwa sekitar 3 bulan silam itu menuai kontroversi. Apalagi Jibril tidak sendirian. Sebanyak 24 orang yang dituduh terlibat dalam berbagai kegiatan terorisme juga ditangkap secara serampangan. Akhirnya keluarga korban mengadukan hal itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Hasilnya? Ada upaya pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Ini diungkapkan oleh Muladi, ketua tim perumus revisi undang-undang tersebut, Kamis pekan lalu di Jakarta. Tujuannya, kata bekas Menteri Kehakiman ini, adalah menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran, dan memberikan perlakuan yang adil kepada masyarakat.

Hal yang luput dari undang-undang tersebut kini diatur dalam draf revisi. Di antaranya soal memperdagangkan bahan peledak secara melawan hukum yang bisa diancam hukuman 12 tahun penjara. Bila terbukti bahan ini digunakan buat kegiatan terorisme, ancamannya lebih berat, hukuman penjara 15 tahun. Dan orang yang tahu akan terjadi aksi terorisme tapi tidak melaporkannya bisa terkena pidana 12 tahun.

Penggunaan laporan intelijen pun diperjelas. Masalah ini memang sempat menimbulkan pro-kontra. Menurut Mahendradatta dari Tim Pembela Muslim, penangkapan yang terjadi pada suami Siti Nurlela dan kawan-kawannya selama ini lebih didasari laporan intelijen. Landasannya Pasal 26 (ayat 1) Undang-Undang Terorisme. Di situ dinyatakan, untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. Ini menimbulkan kesewenang-wenangan karena sebenarnya data intelijen tidak bisa dijadikan bukti untuk memulai penyidikan.

Nah, dalam revisi undang-undang tersebut, kata "menggunakan" (laporan intelijen) diganti dengan "menganalisa". Dalam pasal itu juga ditambahkan satu ayat sisipan. Intinya, jika laporan intelijen itu berasal dari luar kepolisian, wajib diautentikasi oleh Kepala Kepolisian RI. Ditegaskan pula dalam ayat selanjutnya, penetapan bahwa sudah diperoleh "bukti permulaan yang cukup" (berdasarkan laporan intelijen) itu harus dilakukan lewat proses pemeriksaan hakim pengadilan negeri.

Direktur Imparsial (sebuah LSM), Munir, melihat ada upaya menghilangkan peran intelijen di luar kepolisian dan kejaksaan dalam penyidikan. Ini langkah bagus. Hanya, dia kurang setuju terhadap kewenangan pengadilan untuk menetapkan adanya bukti yang cukup. "Ini sama saja dengan menempatkan hakim pada posisi penyidik," ujarnya.

Hakim Agung Arbijoto pun berkeberatan. Posisi hakim semestinya tetap berfungsi sebagai penengah dan penguji barang bukti di persidangan. Jika mereka turut menilai barang bukti sebelum sidang, kata Arbijoto, hakim telah berpihak.

Reaksi Muladi? Katanya, aturan itu sebetulnya untuk menciptakan kontrol yudikatif terhadap kepolisian.

Khusus tentang penggunaan data intelijen, alasan Muladi mungkin tepat. Tapi dalam pasal 28 yang telah direvisi dinyatakan bahwa polisi bisa menangkap seseorang yang diduga keras terlibat terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 7 x 24 jam. Berbeda dengan sebelum direvisi, aturan ini tak khusus merujuk pada laporan intelijen dan penetapan hakim. Ini membuka penafsiran baru, polisi sendiri bisa menyatakan adanya "bukti permulaan yang cukup" tanpa berdasarkan data intelijen yang memerlukan penetapan hakim.

Ketentuan semacam itu masih akan mengundang kontroversi. Mungkin karena itu pula Munir lebih suka jika Undang-Undang Terorisme memakai hukum acara pidana biasa. Maksudnya gamblang: agar nasib orang seperti Jibril tak terulang.

Endri Kurniawati, Purwanto (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus