Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara Banten dan Jakarta

Sengketa 22 pulau antara Banten dan DKI Jakarta memanas lagi.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI rintangan menghadang, keinginan para petinggi Provinsi Banten untuk mendapatkan 22 pulau di Kepulauan Seribu tak pernah punah. Pekan lalu, Gubernur Banten Djoko Munandar kembali melemparkan harapan itu. "Tuntutan ini tak ada kaitannya dengan potensi ekonomi, tapi lebih pada soal penegasan batas wilayah," katanya.

Djoko bersikeras ingin memasukkan pulau-pulau yang kini dikuasai Provinsi DKI Jakarta itu ke wilayahnya bukan tanpa alasan. Ia mengacu pada Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di situ disebutkan, wilayah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur (tegak lurus) dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.

Perselisihan dimulai ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 34/1999 tentang Pemerintahan DKI Jakarta. Dalam undang-undang yang terbit hanya dua bulan setelah UU Pemerintahan Daerah disahkan ini, Kepulauan Seribu memang dimasukkan dalam wilayah DKI Jakarta. Perseteruan meningkat setelah status Kecamatan Kepulauan Seribu, yang semula berada di Kota Madya Jakarta Utara, ditingkatkan menjadi kabupaten administratif melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2001.

Belakangan ini Banten kembali meradang setelah mendapatkan salinan draf revisi UU Pemerintahan DKI Jakarta. Sebanyak 22 pulau (dari 106 pulau di Kepulauan Seribu) yang dipersoalkan tetap dimasukkan ke dalam wilayah Ibu Kota.

Menurut Rodjil Gufron, anggota panitia khusus revisi undang-undang tersebut di parlemen, sebenarnya fokus perubahan itu mengenai tata cara pemilihan gubernur. Tapi tak tertutup kemungkinan revisi akan masuk ke pasal yang lain, termasuk tentang batas wilayah DKI Jakarta. Anggota parlemen dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ini mengatakan, pihaknya masih mencari masukan dari berbagai pihak untuk menyusun daftar inventarisasi masalah. Gubernur Banten pun juga sudah diundang panitia khusus untuk berbicara mengenai revisi ini.

Ketua tim penanganan kewilayahan Kepulauan Seribu, Chaeron Muksin, menyatakan bahwa Banten masih mencari jalan musyawarah untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi, jika DPR dan pemerintah mengesahkan revisi undang-undang tersebut, pihaknya akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Ini jalan terakhir," kata Chaeron, yang juga Sekretaris Daerah Provinsi Banten. Suara lebih keras muncul dari tokoh Pendekar Banten Chasan Sochib. "Saya tidak rela tanah Banten hilang dengan cara curang," katanya. Dia menyatakan tak segan mengirim ribuan pendekar ke Jakarta.

Bagi DKI Jakarta sendiri, batas wilayah tersebut tampaknya sudah menjadi harga mati. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, Rusdi Yusuf, mengatakan bahwa berdasarkan UU Pemerintahan DKI Jakarta dan Peraturan Pemerintah No. 55/2001, sudah jelas disebut bahwa ke-22 pulau tersebut memang menjadi bagian dari DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung malah sudah merencanakan membuat tata ruang Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Selain itu, katanya, "Kalau penduduk Kepulauan Seribu ditanya, mereka akan memilih Jakarta."

Sikap pemerintah pusat? Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Oentarto Sindung Mawardi, menegaskan bahwa pulau-pulau sengketa itu memang masih milik DKI Jakarta. Dalam Pasal 124 Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebut bahwa pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas, dan ibu kota propinsi daerah tingkat I, daerah istimewa, kabupaten daerah tingkat II, dan kota madya daerah tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, adalah tetap. "Kalau dulu DKI punya batas di situ, sekarang juga tetap di situ," kata Oentarto kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room.

Di mata Andi Mallarangeng, yang pernah terlibat dalam penyusunan undang-undang tersebut, klaim DKI dan juga sikap pemerintah pusat cukup sah. Apalagi ada faktor historisnya. Hanya tuntutan Banten pun juga punya dasar cukup kuat. Itu sebabnya ia menyarankan agar sengketa ini diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi. Ahli hukum tata negara Sri Soemantri juga sepakat. "Salah satu tugas lembaga itu memang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara," katanya.

Hanya dengan cara itu, kata Andi, sengketa bisa diselesaikan secara damai dan beradab. Dan orang Banten pun tak perlu mengirim pendekarnya ke Jakarta.

M. Taufiqurohman, Juli Hantoro, Yandi M.R. (Tempo News Room), Faidil Akbar (Banten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus