Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Ahli Hukum Islam UNAIR Soal Ganja Medis: Boleh untuk Pemeliharaan Nyawa

Simak penjelasan Ahli Hukum Islam UNAIR ihwa ganja medis di sini.

4 Juli 2022 | 14.08 WIB

Pekerja memeriksa kualitas daun ganja di perkebunan ganja Rak Jangdi Nakhon Ratchasima, Thailand, 28 Maret 2021. Thailand sendiri merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mengizinkan penggunaan ganja untuk medis pada 2018 lalu. REUTERS/Chalinee Thirasupa
Perbesar
Pekerja memeriksa kualitas daun ganja di perkebunan ganja Rak Jangdi Nakhon Ratchasima, Thailand, 28 Maret 2021. Thailand sendiri merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mengizinkan penggunaan ganja untuk medis pada 2018 lalu. REUTERS/Chalinee Thirasupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Isu legalisasi ganja untuk keperluan medis menjadi pembahasan hangat belakangan ini. Prawitra Thalib, ahli hukum Islam Universitas Airlangga (UNAIR), ikut menyoroti hal ini dari sudut pandang hukum Islam. Menurut Prawitra, ada lima sebab diturunkannya suatu syariat dalam Islam. Suatu hukum Islam ada untuk memelihara lima aspek yang disebut maqashid syari’at.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Lima aspek itu yakni pemeliharaan agama, pemeliharaan nyawa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta,” jelasnya pada Senin, 4 Juli 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apabila ditujukan untuk memelihara nyawa, Prawitra berpendapat bahwa penggunaan ganja medis diperbolehkan. Di sisi lain, demi memelihara akal, penggunaan ganja untuk tujuan rekreasional diharamkan. “Fatwa ganja medis ini baik. Untuk menegaskan batasan penggunaan ganja untuk kepentingan memelihara nyawa,” terang dosen Fakultas Hukum UNAIR ini.


Fatwa legalisasi ganja, kata dia, juga seharusnya mampu mengakomodasi jangan sampai ada penyalahgunaan. Fatwa itu, menurutnya, juga berfungsi untuk mencegah adanya salah tafsir bahwa ganja dihalalkan sepenuhnya. “Kalau sehat, pakai ganja tetap tidak boleh,” ujar.

Prawitra juga berpendapat bahwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) harus mempertimbangkan aspek urgensi ganja medis jika ingin mengeluarkan fatwa mengenai legalitasnya. “Yang dikedepankan itu hisbunnafs, pemeliharaan nyawa. Jika ganja tidak dipakai maka nyawa terancam, itu bisa (dibenarkan),” terang Prawitra.

Menurutnya, penggunaan ganja harus ditujukan untuk pemeliharaan nyawa tanpa membahayakan pemeliharaan akal. Akan tetapi, Prawitra juga menjelaskan bahwa fatwa MUI bersikap tidak mengikat. Itu berfungsi sama seperti pendapat hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum.

“Pada prinsipnya pendapat hukum itu tidak mengikat,” tuturnya.

Untuk memiliki kekuatan hukum yang mengikat, legalisasi ganja medis harus ditetapkan dalam undang-undang. Sebelumnya, isu ini harus menjadi pembahasan dalam program legislasi nasional terlebih dahulu.

Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus mampu melakukan law enforcement terhadap undang-undang tersebut. "Pertanyaannya sekarang adalah apakah Indonesia mampu mencegah penyalahgunaan ganja apabila nanti dilegalkan dalam undang-undang," ujanya.

Dia khawatir, jika tidak ada kontrol yang baik, ganja yang awal mulanya untuk keperluan medis disalahgunakan untuk kepentingan hiburan semata. Prawitra juga mengimbau agar law enforcement dijalankan dengan baik. Jika instrumen penegakan hukum di Indonesia belum kuat dan law enforcement belum maksimal, Prawitra yakin upaya legalisasi ganja medis sia-sia.

“Pertimbangkan Indonesia siap atau tidak. Jangan sampai niatnya maslahat tapi hasilnya mudharat. Utamakan kemaslahatan untuk menghilangkan kemudharatan. Insyaallah berkah,” katanya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus