Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan populasi orang utan kian mendekati punah. Penyebab terbesar adalah hilangnya habitat asli mereka akibat penebangan pohon liar dan pembukaan lahan pertanian dalam skala besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun ternyata tak hanya itu penyebabnya. Penelitian oleh ilmuwan dari Rutgers University-New Brunswick, New Jersey, Amerika Serikat, menemukan populasi orang utan di Sumatera dan Kalimantan juga terancam punah akibat asap kebakaran hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan penelitian sembarangan dan sudah diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports pada pekan lalu. Intinya, kesehatan orang utan terganggu akibat menghirup asap kebakaran hutan secara berlebihan dalam jangka panjang.
Penelitian berawal pada 2015. Wendy Erb, peneliti di Departemen Antropologi, Rutgers University-New Brunswick, sedang mempelajari orang utan jantan dewasa di hutan Kalimantan, Indonesia. Saat bersamaan, terjadi kebakaran hutan hebat.
Erb dan sejawatnya di Tuanan Orangutan Research Station bahkan harus turut memadamkan api. Beberapa pekan setelah kebakaran, Erb mendengar ada perubahan dalam suara lengkingan panjang orang utan jantan.
Lengkingan itu diyakini sebagai tanda untuk menarik perhatian betina serta memperingatkan pejantan lainnya. "Suaranya terdengar aneh dan tak seperti biasanya. Serak-serak basah dan berat seperti manusia yang banyak merokok," ujar Erb.
Erb lantas memutuskan mencari tahu apakah asap yang dihirup orang utan selama kebakaran mempengaruhi kesehatan mereka. Ia berpikir, manusia yang menghirup asap terus-menerus saja memiliki efek buruk. Hanya, Erb tak tahu apakah sudah ada studi tentang dampak buruk asap terhadap kesehatan orang utan.
Erb pun menganalisis empat orang utan jantan pipi tebal dengan berat sekitar 90 kilogram. Ia mengambil sampel air seni untuk mengetahui kesehatan orang utan tersebut. Selain itu, untuk melihat jenis makanan apa yang dikonsumsi.
Hasilnya, para ilmuwan menemukan pejantan besar melakukan perjalanan lebih sedikit dan beristirahat lebih banyak setelah terjadi kebakaran hutan hebat. Hal ini terlihat dari jenis makanan yang dikonsumsi yang tak terlalu bervariasi.
Tak hanya itu, orang utan yang diteliti juga menghasilkan lebih banyak keton, molekul yang dibuat oleh hati dari asam lemak selama periode asupan makanan rendah. Hal ini ternyata di luar dugaan karena, meski makan lebih banyak, ternyata mereka membakar lemak lebih banyak pula.
Pada 2015, Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah dan pencemaran asap sejak musim kemarau El Nino pada 1997. Kala itu, 24 ribu kilometer persegi lahan gambut, atau 12 persen dari total area gambut, terbakar.
Kebakaran lahan gambut menghancurkan habitat hutan, melepaskan gas rumah kaca, dan menghasilkan partikel berbahaya. Dua studi independen menyebutkan kabut 2015 berdampak buruk pada manusia, tapi hanya sedikit penelitian tentang efek pada populasi satwa liar.
Hilangnya hampir 100 ribu orang utan hutan di Kalimantan antara 1999 dan 2015 menunjukkan bahwa hilangnya habitat saja tidak mendorong penurunan spesies ini. Makin sering terpapar asap beracun dapat memiliki konsekuensi yang parah bagi kepunahan orang utan.
Karena itu, penelitian Erb ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memahami dampak jangka panjang dan tidak langsung dari kebakaran lahan gambut di Indonesia pada orang utan.
Profesor antropologi Erin Vogel dari Tuanan Research Station mengatakan langkah penting selanjutnya adalah menganalisis data orang utan betina dan remaja untuk melihat bagaimana asap kebakaran mempengaruhi kesehatan mereka. "Kami akan melihat berbagai indikator, seperti peradangan di urine," kata Vogel.
Menurut Vogel, timnya akan mencari sitokin, yakni protein bagian dari respons kekebalan, dan kortisol, hormon yang terkait dengan stres. "Ada kemungkinan orang utan jantan membakar lemak lebih banyak karena untuk memperbaiki jaringan," ucapnya. SCIENCE DAILY | SCIENCE NEWSLINE | AFRILIA SURYANIS
Si Bulu Merah
Dikenal karena bulu merahnya yang khas, orang utan adalah mamalia arboreal terbesar di planet ini. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di pepohonan. Mereka membuat sarang di pohon vegetasi untuk tidur pada malam hari atau beristirahat pada siang hari.
Lengan panjang nan kuat serta tangan dan kaki yang dapat menggenggam memungkinkan mereka bergerak lincah melalui cabang-cabang. Kera besar ini berbagi 96,4 persen dari gen manusia. Orang utan termasuk salah satu makhluk cerdas di muka bumi.
Di hutan dataran rendah, orang utan lebih suka hidup menyendiri. Buah-buahan menjadi menu utama mereka, seperti leci, manggis, dan ara. Sedangkan untuk minum, orang utan biasa mencucup air dari lubang di pepohonan.
Berat orang utan jantan dewasa sekitar 90 kilogram dan memiliki bantalan pipi menonjol yang disebut flensa. Mereka memiliki kantong tenggorokan untuk mengeluarkan lengkingan keras dan panjang.
Orang utan Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam klasifikasi spesies terancam punah. Menurut catatan International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi orang utan Sumatera tinggal 4.000 ekor pada 2018. Adapun populasi orang utan Kalimantan 45 ribu ekor pada 2016.
61 ribu orang utan tersisa di dunia, kebanyakan di Kalimantan.
99 persen habitat kera besar terkena dampak laju pembangunan hingga 2030.
70 persen obat-obatan baru yang diperkenalkan di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir berasal dari sumber alam.
2 juta hektare hutan hilang di Indonesia pada 2012, lebih banyak dibanding di tempat lain di mana pun di dunia.
500 juta orang bergantung pada hutan untuk kebutuhan hidup dan penghasilan.
76 persen pendapatan masyarakat miskin pedesaan di Indonesia berasal dari hutan subur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo