Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia cuma gadis biasa yang tinggal di Dusun Koroulon, Kelurahan Bimomartani, Sleman, Yogyakarta. Agnes Widya Putri Wahyu Ndari nama lengkapnya. Tapi, tak seperti anak baru gede lain, Agnes tak suka keluyuran ke mal. Menonton televisi pun dia tidak suka. Gadis 17 tahun ini lebih senang melewatkan malam dengan membaca buku.
Bila bosan di rumah, siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Yogyakarta ini memilih jalan-jalan keluar-masuk kampung. Salah satu tempat favoritnya adalah pabrik tahu di Dusun Joholanang, Desa Leses, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Di sini, dia mengamati, setiap hari ratusan kilogram ampas tahu terbuang percuma.
Biasanya, ampas berbau menyengat itu dijual untuk pakan ternak. Sangat murah, hanya Rp 120 per kilogram. Tapi Agnes tahu, di balik bau menyengat itu, terkandung protein sampai 14,8 persen. "Nah, sayang kan kalau cuma untuk ternak?" kata dia.
Dari sinilah rasa penasarannya bangkit. Agnes pun mengajak dua sohibnya, Lutfi Atika Irmawati dan Nur Rizqi. Bertiga mereka berpikir keras: Bagaimana memanfaatkan ampas tahu itu untuk keripik cemilan. Kok, keripik? "Remaja kan suka keripik," kata Agnes tersenyum.
Ternyata itulah keripik keberuntungan. Hasil utak-atik mereka terpilih sebagai pemenang perta-ma lomba karya ilmiah bertajuk Inovasi Bisnis bagi Pemuda Tingkat Nasional yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, awal November silam. Selain memperoleh trofi, mereka menerima uang Rp 12 juta. Padahal saingan mereka adalah mahasiswa senior dari berbagai universitas ternama Indonesia.
Kepada dewan juri, Agnes dkk. mengajukan makalah berjudul "Pemanfaatan Limbah Padat (Ampas) Tahu sebagai Produk Makanan Baru atau Snack yang Bernilai Ekonomis dan Bergizi Tinggi". Kelihatan sederhana. Tapi Agnes dan dua temannya harus berkutat sejak Januari hingga Juli 2004 untuk bisa menemukan formula keripik yang pas.
Puluhan formula mereka coba, puluhan kali pula gagal. "Kadang keripik terasa tawar. Kadang sangat pahit," kata Agnes. Belakangan, mereka paham, mereka salah memilih bahan pengikat (gelatin) agar keripik tak gampang remuk. "Kami sempat memakai tepung ketela pohon dan tepung beras, tapi kemahalan," kata Nur Rizqi.
Bingung untuk mendapat bahan pencampur yang pas, Rizqi akhirnya mencari-cari ilham di Internet. Di sinilah dia menemukan ide menggunakan umbi suweg (Elephant Yam atau Amorphophallus campanulatus) sebagai bahan pencampur.
Dengan ide baru itu, mereka memulai semua proses dari awal. Memakai alat pres sederhana, ampas tahu mereka peras sampai hampir kering, lalu dijemur sampai berbentuk tepung kekuningan. Proses yang sama mereka lakukan pada umbi suweg. Terciptalah dua jenis tepung: tepung ampas tahu dan tepung umbi suweg.
Kedua adonan ini mereka campur dengan sedikit air, lalu dikukus. "Nah, sebelum dikukus, bisa ditambahkan garam, bawang putih, atau penyedap rasa," kata Agnes. Hasil kukusan ini dipres lagi hingga membentuk lempengan tipis, lalu dipotong-potong. Voila..., jadilah keripik renyah nan lezat yang mereka beri nama SaHuWeg. "Itu singkatan Rasa Tahu Suweg," kata Agnes.
Ternyata keripik SaHuWeg ini laris manis saat dibagi-bagikan ke teman-teman sekolah Agnes. "Mereka mengira keripik potato, kentang. Tak ada yang percaya itu ampas tahu," kata Rizqi dan Lutfi bangga.
Atas nasihat Rudi Prakanta, guru pembimbing mereka, Agnes dkk. diminta menguji kadar gizi temuan mereka. Hasilnya pun tak mengecewakan. Menurut Dr. Ir. Eni Harmayani, Sekretaris Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, keripik itu mengandung serat yang cukup tinggi dan sedikit karbohidrat. "Bagus untuk pencernaan, bisa mencegah sembelit," katanya.
Kini Agnes dkk. mencoba mengenalkan teknik pembuatan keripik ke perajin tahu. Tiga pembuat tahu di Joholanang sudah mencoba meniru jejak Agnes. Jika produk ini laku, keuntungan pembuatnya cukup besar.
Dari hitung-hitungan sederhana, satu kilogram keripik yang sudah siap makan bisa dijual Rp 18.500. Padahal, biaya membeli ampas tahu, umbi suweg, dan ongkos kerja hanya Rp 7.705. "Jadi, keuntungan per kilogram Rp 5.394," katanya. Andai saja satu perajin tahu bisa menjual 50 kilogram keripik sehari, keuntungan di depan mata sudah terbayang. "Jauh lebih untung daripada untuk pakan ternak," kata Agnes.
Tentu semuanya baru hitung-hitungan di atas kertas. Bakal ada kendala pemasaran, juga keterbatasan alat. Agnes dkk. kini bermimpi memiliki alat pres yang lebih cepat dan efisien. Dengan alat pres yang lebih modern, mereka yakin, keripik ini bisa menjadi peluang usaha yang menjanjikan. Nyam, nyam , siapa berminat?
Nurlis E. Meuko dan Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo