Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berhati-hatilah nanti jika hendak memakai kaus bergambar Usamah bin Ladin. Mungkin kaus itu hanya untuk sekadar gaya. Atau jangan-jangan pemakainya bahkan tidak tahu siapa pria tirus berkumis dan janggut yang wajahnya terpampang di sana. Tapi kenal atau tidak wajah gembong Al-Qaidah?organisasi teroris versi PBB?itu, Undang-Undang Antiterorisme yang bakal direvisi tak akan peduli. Kaus itu sudah cukup untuk ditafsirkan sebagai alat bukti tindak pidana terorisme. Dan, ancaman hukumannya sudah menjadi teror tersendiri: 15 tahun penjara.
Materi revisi undang-undang itu sekarang sedang dibahas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Memang, itu baru usulan revisi, belum tentu disetujui. Tapi, bila revisi itu lolos, undang-undang ini bakal menampilkan wajah hukum yang sangat keras.
Tujuan aturan keras itu, seperti dikatakan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono (kala itu), adalah demi melindungi masyarakat. "Undang-undang itu harus direvisi karena kewenangan yang ada bagi pemerintah belum kuat untuk memberantas terorisme itu," katanya, Agustus tahun lalu. UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?atau kerap disebut UU Antiterorisme?dinilai tidak lengkap dan masih terlalu longgar.
Menurut Yudhoyono, aturan keamanan itu harus dilengkapi preemptive action atau kewenangan pemerintah untuk melakukan pencegahan secara lebih efektif. Namun, kata Yudhoyono?yang sekarang presiden?tidak berarti UU No. 15 itu tidak memenuhi standar. "Undang-undang itu sudah memenuhi standar dan harapan, meski termasuk lunak dibanding negara lain," katanya.
Dalam draf revisi yang diperoleh Tempo, kriminalisasi atau pemidanaan baru dalam bentuk delik terorisme diatur cukup ketat. Seseorang bisa dijaring tindak pidana terorisme dalam rentang perbuatan konkret (atau material) yang panjang. Jangkauan pasal-pasal yang ada mulai dari tuduhan sebagai penganjur aksi teror?seperti memakai kaus Bin Ladin tadi?sampai pelaku konkret.
Karena menganut pendekatan yang lazim disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Plus, undang-undang ini memiliki hukum acara tersendiri. Untuk soal jangka penahanan bagi pelaku terorisme, misalnya, seorang tersangka bisa ditahan guna pemeriksaan sampai 30 hari. Selain itu, total penahanan untuk penyidikan dan penuntutan mencapai 240 hari (sekitar 8 bulan). Bahkan, bila digabung dengan RUU Intelijen (Tempo, 5 November 2004), total penahanan bisa mencapai 9 bulan. Ketentuan itu memang jauh lebih berat dibanding naskah undang-undang sebelum revisi, yang menetapkan penahanan untuk pemeriksaan hanya selama 7 x 24 jam, dan penahanan untuk penyidikan dan penuntutan yang hanya 6 bulan.
Dalam soal acara persidangan, aturan teleconference (sidang menggunakan fasilitas konferensi elektronik) juga disempurnakan. Sebelumnya, kesaksian menggunakan teknologi komunikasi ini bisa menjadi perdebatan hukum yang sengit karena tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Ini, misalnya, terlihat ketika persidangan bom Bali dengan tersangka Abu Bakar Ba'asyir menghadirkan dua saksi yang memberikan kesaksian jarak jauh dari Malaysia. Dengan revisi, debat hukum seperti itu tak perlu lagi terjadi. Kesaksian dengan teleconference bisa sah (pasal 34 A) dan menjadi alat bukti baru karena sifat kejahatan terorisme yang menembus batas-batas negara.
Keabsahan laporan intelijen sebagai alat bukti awal juga diperkuat (pasal 26). Bahkan, kelak, laporan tak harus datang dari Badan Intelijen Negara (BIN), tapi bisa juga dari Departemen Dalam dan Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, TNI, serta Kejaksaan Agung. Pendeknya, aturan yang bolong pada versi lama kini dijahit lebih rapi.
Menurut konsultan tim penyusun revisi UU Antiterorisme, Muladi, UU Antiterorisme dan revisinya menjadi "keras" karena dibuat dengan filosofi represif atau memerangi aksi terorisme. Semangat revisi itu adalah terorisme dianggap sebagai kejahatan yang berkarakter random dalam korban, sifat berbahaya yang tinggi, dan terorganisasi rapi. "Karena bahayanya, tindakan penanganannya juga harus luar biasa," kata Muladi.
Meski demikian, tim penyusun revisi menolak meniru pendekatan preventive detention (penahanan preventif), seperti bisa dilakukan di Malaysia dan Singapura. Di kedua negara tersebut, seseorang bisa ditangkap tanpa perlu diadili, bahkan sampai dua tahun, jika disangka terlibat aksi atau jaringan teroris. "Itu kezaliman eksekutif namanya," ujar Muladi. Dan untuk mencegah undang-undang baru itu melanggar hak asasi manusia, pasal 2 revisi menyebut pemberantasan terorisme harus menjunjung tinggi hukum dan hak asasi. "Dalam jangka panjang, materi yang ada dalam undang-undang tersebut juga akan dimasukkan ke KUHP baru," ujar Muladi.
Ketua tim revisi, Abdul Gani Abdullah, yang juga Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum, juga membantah kekhawatiran bahwa revisi itu menafikan aspek hak asasi. "Kita tengah memerinci pasal per pasal agar tidak jadi pasal karet," katanya. Ia mengakui ada dilema antara melindungi hak asasi pelaku terorisme atau korban terorisme. "Nah, kita mau pilih yang mana." Perdebatan tersebut tentu saja masih membuka peluang mengubah pasal-pasal peka. "Ini belum final. Kalau banyak yang tidak setuju, akan diubah," ujarnya.
Namun kekhawatiran toh tetap muncul. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, misalnya, mengkritik rencana revisi itu. "Yang diperlukan adalah kemampuan teknis strategis aparat menangkal dini aksi teror. Bukan regulasi baru," katanya. Menurut dia, dari sisi regulasi, undang-undang yang ada sudah cukup. "Malah terjadi duplikasi," tuturnya.
Ia menyebut contoh pasal tentang peredaran bahan peledak. Soal ini sebetulnya sudah diatur dalam UU No. 12 Drt Tahun 1955 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, atau pasal tentang kejahatan di pesawat udara, yang sudah diatur dalam KUHP. "Bukan begitu caranya melindungi masyarakat," ujarnya.
Jika revisi itu lolos, menurut Munarman, UU Antiterorisme yang ketat ini justru bisa mencederai masyarakat yang tidak terlibat aksi terorisme. "Semata hanya karena aparat ingin gampang mengusut," katanya.
Arif A. Kuswardono, Sutarto
Jika Jaring Makin Rapat
Pasal 9A
- Barang siapa memperdagangkan bahan peledak (diancam 12 tahun penjara )
- Bahan peledak yang dijual terbukti digunakan aksi terorisme (15 tahun)
Pasal 13 A
- Barang siapa mengetahui tindak teroris dan tidak melaporkannya (12 tahun)
- Tindak pidana teror yang diketahui akhirnya terjadi (15 tahun)
Pasal 13B (minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun)
- Barang siapa menjadi anggota organisasi teroris
- Mengenakan pakaian atau perlengkapan organisasi teror di muka umum
- Meminta atau meminjam uang dan/atau barang dari organisasi teroris
Pasal 14 ayat 2
- Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk kegiatan terorisme (pidana mati atau seumur hidup)
- Apabila kemudian rencana tindak terorisme akhirnya terjadi (min. 3 tahun, maks. 15 tahun)
Pasal 17 Tindak terorisme oleh korporasi, tanggung jawab dibebankan pada pengurus
Pasal 25
- Penahanan tersangka teroris oleh penyidik paling lama 120 hari
- Penahanan untuk kepentingan penuntutan maksimal 60 hari, bisa diperpanjang 2 x 30 hari dengan izin ketua pengadilan negeri
Pasal 26
- Laporan intelijen bisa dijadikan alat bukti dengan pemeriksaan hakim pengadilan negeri, yang dilakukan secara tertutup maksimal 3 hari setelah pengajuan
- Bila bukti dianggap cukup, hakim bisa memerintahkan penyidikan
Pasal 27 huruf d Alat bukti tindak pidana terorisme
- Alat bukti sesuai KUHAP
- Informasi elektronik dengan optik atau serupa itu
- Data, rekaman, atau informasi, yang bisa dilihat, dibaca dan didengar di kertas atau selain kertas
- Laporan intelijen selama penyidikan dan penuntutan
Pasal 28 Penyidik dapat menangkap tersangka terorisme dengan bukti permulaan yang cukup maksimal 30 hari
Pasal 31 ayat 2a
- Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berhak:
- Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman pos atau jasa pengiriman lain
- Menyadap pembicaraan telepon atau alat komunikasi lain
- Penyadapan dilakukan dengan penetapan hakim pengadilan negeri dalam tenggang waktu tertentu
- Penetapan hakim paling lambat 3 hari setelah permintaan diterima
- Tindakan pemeriksaan surat dan penyadapan harus dilaporkan ke atasan penyidik
Pasal 43 A Ketentuan Peralihan
- Penahanan yang dilakukan berdasarkan undang-undang lama disesuaikan dengan ketentuan baru
- Pemeriksaan perkara bom Bali yang sedang berjalan dilaksanakan dengan ketentuan lama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo