Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK seperti ketika menggarap Tesaurus Bahasa Indonesia (2006), Eko Endarmoko tak bekerja sendiri saat menyelesaikan Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua (2016). Ada 18 orang yang "mengeroyok" buku baru ini. Mereka berasal dari bermacam latar belakang, seperti linguis, pengajar, penyunting, penulis, dan penerjemah. Mereka tergabung dalam Gerombolan Tesamoko—sebutan yang dicetuskan anggota tim dan pakar linguistik dari Universitas Indonesia, Multamia Lauder.
Eko juga melibatkan ahli teknologi informasi yang mengerti linguistik, Ivan Lanin. Dialah yang merancang pembuatan aplikasi online Tesamoko—tempat Gerombolan bekerja bersama dalam wadah yang berbasis Internet. Wadah ini mengubah total cara kerja Gerombolan dari manual ke digital.
Dengan banyak kepala dan perubahan cara kerja, Gerombolan bisa mengumpulkan 29.865 lema dan sublema—4.105 di antaranya tambahan atau baru—yang disusun berdasarkan hubungan makna antara satu dan lainnya. Hubungan makna itu tampak dalam wujud sinonim (padanan makna), antonim (lawan makna), hipernim (kata umum), dan hiponim (kata khusus).
Mereka juga sepakat memberi nama tesaurus edisi kedua yang dikerjakan Eko dan teman-temannya itu Tesamoko. "Tesamoko boleh dibaca sebagai akronim dari tesaurus Eko Endarmoko," kata Eko dalam peluncuran Tesamoko pada Mei lalu.
Lantaran didiskusikan secara beramai-ramai, tak urung perdebatan satu kata bisa memakan waktu yang sangat panjang. Ketika membahas lema wacana dan diskursus, misalnya, Gerombolan berdebat selama sepekan sebelum bersepakat. Neneng Nurjanah, anggota Gerombolan yang menjadi pengajar linguistik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, bercerita bahwa beberapa anggota berpendapat bahwa dua lema tersebut memiliki spektrum makna yang berbeda sehingga harus dipisah. Pendapat itu ditentang anggota yang lain. Mereka pun akhirnya setuju menyatukan kedua lema itu sebagai sinonimi. "Karena makna keduanya cukup dekat," ujar Neneng kepada Tempo pada pertengahan Agustus lalu.
Penyusunan Tesamoko masih mengacu pada dua kriteria Tesaurus (2006). Pertama, kata yang memiliki sinonim. Kedua, sudah tercatat dalam kamus bahasa Indonesia. Namun ketentuan ini tak mutlak. Sebab, geruduk dan ciamik, misalnya, tetap masuk sekalipun belum tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (2005).
"Mereka masuk karena kami jumpai ada dalam korpus," kata Eko. Korpus yang Eko dan Gerombolan pakai kebanyakan berasal dari ragam jurnalistik, seperti kompas.com, tempo.co, jawapos.com, pikiran-rakyat.com, waspada.co.id, dan mcp.anu.edu.au.
Tesamoko juga merevisi Tesaurus edisi pertama yang dianggap masih memasukkan lema yang melanggengkan budaya patriarki. Misalnya "orang belakang", yang dalam Kamus Besar masih dipadankan dengan "istri", atau "junjungan" yang mengacu pada "suami". "Lema yang bias gender seperti itu juga diperdebatkan, tapi akhirnya semua sepakat untuk menghapusnya," ujar Uu Suhardi, Redaktur Bahasa Tempo yang juga anggota Gerombolan.
Amri Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo