KETIKA gedung Metro di Pasar Baru, Jakarta, terbakar pertengahan Juli ini, masalah keselamatan gedung tinggi kembali menarik perhatian. Terutama dari segi kemampuan daya capai alat penyemprot api, yang sering kali tidak berdaya menggapai lantai-lantai atas. Toh, gedung tinggi tetap bermunculan bagai jamur di musim hujan. Pada Januari 1885, tepat seratus tahun lalu, berdirilah pencakar langit yang pertama di Chicago, AS. Gedung itu, Home Insurance Building, hanya berlantai sepuluh. Namun, itulah canang revolusi besar di bidang konstruksi dan arsitektur. Semuanya berkat gagasan seorang insinyur, William Le Baron Jenny. Beban gravitasi gedung itu diletakkan pada kerangka baja, dan dinding-dinding beton "disangkutkan" pada kerangka baja tersebut. Sebelumnya, semua gedung hanya menggantungkan kekuatan pada dinding-dinding kukuh, hingga dua meter tebalnya, untuk dapat mendukung lantai-lantai di atas. Inovasi Jenny disertai pengembangan lift. Setelah itu, bermunculanlah pencakar langit di kota lain, baik di dalam maupun di luar AS. Namun, Chicago dan New York tetap merupakan pelopor gedung jangkung. Apalagi, di kedua kota itu, harga tanah naik dengan kecepatan yang luar biasa. Pada 1891, di Chicago berdiri Masonic Temple, pencakar langit bertingkat 20. Pada 1909, di New York berdiri Metropolitan Life Insurance Tower, bertingkat 50. Empat tahun kemudian, masih di New York, berdiri gedung Woolworth, bertingkat 60. Kemudian, berturut-turut di kota yang sama, tegaklah gedung Crysler berlantai 77 (1929), dan Empire State Building berlantai 102 (1931). Pada 1956, Frank Lloyd Wright mengusulkan desam baru untuk gedung setinggi 1,6 km. Setelah itu, belum muncul gagasan baru. Hingga kini, gedung tertinggi di dunia adalah gedung Sears di Chicago, dengan lantai 110, yang didirikan pada 1973. Dengan penemuan bahan-bahan baru, terutama yang lebih ringan dan kuat, arsitektur dan teknologi bangunan sudah slap menggapai langit. Lift berkecepatan tinggi secara teknis sudah mengizinkan orang membuat gedung berlantai 150 sampai 200. Di Chicago dan New York, cetak biru gedung Jems itu memang sedang disiapkan. Chicago, misalnya, menyiapkan sebuah gedung bertingkat 210. New York merencanakan empat gedung berlantai 200. Tetapi, kelayakan ekonomis dan dampak lingkungan pencakar langit itu masih harus dipersoalkan. Jangan lupa: gedung demikian bisa menampung sekitar 100 ribu manusia - sebuah kota kecil dalam bentuk Yertikal. Kota Canberra saja hanya berpenduduk 150 ribu, Stockholm 400 ribu, dan Oslo 450 ribu. Gedung itu, dengan sendirinya, harus memiliki sendiri sistem pembangkit listrik, telepon, dan kode pos. Bagaimana sistem pengadaan air, serta pembuangan sampah dan limbah? Dari segi teknis, setiap faset pencakar langit akan berlipat ganda pada gedung bertingkat 200 itu. Termasuk gerak goyang oleh angin, serta pemuaian dan pengerutan dengan berubahnya suhu. Masalah logistik- merupakan hal tersendiri. Tetapi, soal terbesar ialah aspek rasio perbandingan antara tinggi dan luas dasar. Kebanyakan pencakar langit sekarang memiliki tinggi yang tidak lebih dari 6-8 kali lebar. Gedung Sears mempunyai aspek rasio 6,4 (dasar 75 m, tinggi 484 m). Gedung World Trade Center dengan aspek rasio 6,5. Sebuah gedung setinggi 800 m kini dengan gampang bisa dibuat dengan dasar hanya sekitar 400 kaki persegi. Para insinyur kini ingin mencapai aspek rasio 10. Hidup di dalam gedung setinggi 800 m tentulah memerlukan budaya tersendiri. Terutama untuk anak-anak, yang lahir dan besar di "awang-awang" itu. Bentuk kejahatan pun tentu berbeda. Jadi, bukan sekadar mengatasi tekanan angin dan beban. Masalah lain yang sangat relevan ialah pengamanan dari api. Adakah mobil kebakaran dengan tangga 800 m? Kalau ada, siapakah yang berani memanjat tangga itu sampai ke pucuknya? Dari segi ini, berbahagialah Jakarta, yang belum membutuhkan gedung setinggi hampir satu kilometer itu. M. T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini