SEBUAH makalah menarik muncul dalam Seminar Nasional Biokimia VI di Bogor. Satu-satunya yang berbicara tentang genetika manusia di tengah seminar yang dihadiri sekitar 300 ahli biokimia itu dua minggu lalu, makalah ini merupakan bagian hasil penelitian selama tiga tahun, dengan pendataan 2.091 sampel darah 14 suku bangsa Indonesia, mulai Jawa sampai Asmat. "Penelitian seperti ini belum pernah dilakukan di Indonesia," ujar Prof. Dr. Teuku Jacob, rektor UGM, Yogyakarta. Adalah Abdul Salam M. Sofro, 44, yang berdiri di belakang penelitian ini. Makalah berjudul Variasi Genetik 6-PGD pada Penduduk Indonesia itu merupakan bagian sebuah telaah genetika manusia Indonesia, yang dipertahankannya ketika meraih gelar doktor di Universitas Nasional Australia (ANU), dua tahun lalu. "Yang saya teliti ialah genetic marker pada darah manusia Indonesia," tutur Salam kepada Farid Gaban dari TEMPO, pekan lalu. Genetic marker itu diterjemahkannya penanda genetis (pg). Dalam bahasa genetika, pg disebut phenotype, dan merupakan pengejawantahan gen (genotype) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Gen, seperti kita ketahui, adalah material pembawa sifat yang herediter - diturunkan dari generasi ke generasi melalui kelahiran. Lalu, apa gunanya penelitian seperti ini? Pertama, dengan meneliti pg dapat diketahui hubungan manusia dengan penyakit. Artinya, seberapa besar kemungkinan seseorang, atau sekelompok orang, terhadap penyakit tertentu. "Dalam penelitian saya, misalnya, bisa disimpulkan bahwa orang Indonesia termasuk peka terhadap endemitas malaria," ujar Salam, lulusan FK UGM, 1974. Faedah kedua penelitian gen ini ialah di bidang medical forensic - kedokteran kehakiman. Misalnya untuk mengidentifikasikan hubungan bapak dan anak yang, pada masyarakat tertentu, bisa kacau oleh, antara lain, melembaganya "kumpul kebo". Selama ini, hubungan itu dicari melalui golongan darah. Tetapi, bagi para biokimiawan, pendekatan seperti itu dipandang lemah. Soalnya, "Dalam golongan darah, yang diteliti hanya satu gen, yaitu antigen di dalam sel darah merah," kata Salam, yang pernah mengikuti latihan teknik riset kimia dan biokimia di Universitas New South Wales, Sydney, 1977. Manfaat ketiga ialah melihat struktur genetik suatu populasi, untuk membantu menjelaskan evolusi mikromanusia, yang berkaitan dengan bidang antropologi. Dan inilah fokus penelitian Salam, dosen S-1 dan S-2 jurusan biokimia UGM itu. Kasus evolusi mikro, misalnya, ialah migrasi manusia dari suatu kawasan ke kawasan lain. Selama ini, para ahli antropologi ragawi menjawab persoalan itu dengan mengumpulkan peninggalan fisik di kedua kawasan, bisa berupa tengkorak dan tulang belulang nenek moyang, bisa pula berupa perkakas, kesamaan teknologi, atau kesamaan bahasa. Nah, penelitian biokimia terhadap pg dapat lebih memastikan jawaban itu. Sampel darah yang dikumpulkan Salam meliputi suku Jawa, Sasak, Bima, Flores, Sawu, Roti, Timor, Alor, Makassar, Bugis Ternate, Makian, Galela, dan Asmat. Semuanya dikumpulkan sendiri, kecuali 163 sampel suku Asmat, yang diterima dari Bagian Biologi Manusia, John Curtin School of Medical Research, ANU, Canberra. Dari 14 suku tadi, tiga berbahasa non-Austronesia Asmat, Galela, dan Ternate. Sisanya berbahasa Austronesia. Di lapangan, sel darah merah langsung dipisahkan dari plasma, dengan alat sentrifugal berkecepatan 3.000 rpm: Kemudian, dalam keadaan beku, sampel itu diterbangkan lewat Jakarta ke Canberra, dan ditilik di laboratorium sana. "Untuk penelitian pg, saya memeriksa 21. macam enzim dalam sel darah merah, tiga macam protein dalam serum darah merah, haemoglobin darah, dan bentuk sel darah merah," tutur Salam. Satu di antara jenis enzim yang ditelitinya adalah 6-PGD (6-phosphogluconate dehydrogenase), yang dipresentasikan pada seminar di Bogor itu. Enzim ini diidentifikasikan secara elektroforesis. Mula-mula, sel darah merah ditanamkan ke dalam gel pati - tepung kentang yang dihidrolisa. Kemudian "dicat" dengan zat pewarna khusus. Dari situ segera bisa diketahui phenotype-nya. Kalau hal ini sudah terungkap, jenis gennya (genotype) sekaligus bisa dikenali. Berkaitan dengan phenotype PGD, ilmu genetika mengenal dua allele - pasangan kromosom, material pembawa gen. Yaitu PGDA dan PGDC. kedua jenis gen itu muncul pada semua populasi yang diteliti Salam. Dalam frekuensi, kemunculan gen per suku bervariasi antara 3,5% (terendah, pada suku Galela) dan 29% (tertinggi, pada suku Asmat). Secara umum, makin ke barat, frekuensi kemunculan gen jenis ini kian kecil. Yang menarik, frekuensi kemunculan gen PGDC pada suku Galela, yang paling dekat dengan suku Asmat, justru kecil. Secara linguistik, seperti halnya suku Ternate dan Asmat, Galela berbahasa non-Austronesia. Padahal, tipikal suku-suku berbahasa non-Austronesia mengandung frekuensi PGDC yang tinggi. Kenyataan ini masih membutuhkan penjelasan. Dari analisa jarak genetis (genetic distance analysis), Salam membuktikan, meski memiliki afinitas ke bahasa non-Austronesia, suku Galela dan Ternate seyogyanya terisap ke dalam kelompok suku berbahasa Austronesia seperti Timor, Alor, Roti, dan Flores. Karenanya, jika perbedaan pemakaian dua bahasa merepresentasikan perbedaan genetis dua populasi, bagi suku Galela dan Ternate, penetrasi gen Austronesia ternyata tidak menjamin lakunya pemakaian bahasa Austronesia. Arti penting penelitian Salam, menurut Teuku Jacob, "Untuk lebih mengenali konstelasi populasi di Indonesia, baik asal usulnya, penyebarannya, maupun percampurbaurannya." Jacob menilai penelitian ini penting. "Penanganannya pun baik karena sampelnya merata," ujar ahli antropologi ragawi itu. Salam sendiri, yang menghabiskan 19 ribu dolar Australia dari dana yang disponsori ANU untuk penelitian ini, mengharapkan kesimpulannya bisa dikembangkan untuk bidang pengetahuan lain. Tetapi, "Dana penelitian seperti ini biasanya besar," ujar wakil ketua IDI cabang Yogyakarta itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini