PERAGAAN busana yang satu ini memang tidak biasa. Tanpa peragawati yang meliuk-liuk, dan diselenggarakan bukan di hotel mewah, acara ini mengambil tempat yang punya gengsi tersendiri: Museum Nasional, Jakarta. Karena itu, penyelenggaranya lebih suka menyebutnya "pameran busana". Memang lebih mirip pameran: 47 potong baju bergantungan di dinding, atau disangga tiang, hingga sekilas tak bisa dibedakan dari pameran lukisan atau pameran patung. Acara yang dibuka Selasa pekan lalu dan akan berlangsung satu bulan ini mengantarkan buah karya 24 seniman busana Amerika Serikat. Sponsornya Museum Kerajinan Amerika, New York, yang menyelenggarakan perjalanan keliling ke Asia Tenggara - Jepang, Korea, Hong Kong Indonesia, Filipina. Kurator museum itu sendiri menyebut koleksi itu sebagai: "Busana seni, pakaian hasil kerajinan tangan kreasi baru Amerika Serikat." Konsepsi yang merangkum banyak hal itu - kerajinan, seni rupa, desain busana, dan desain tekstil - tak segera akrab dengan masyarakat yang diharapkan jadi pengunjung pameran. Pada acara pembukaan, hampir tak ada senirupawan yang nongol. Yang segera tertarik malah desainer busana. Poppy Dharsono, umpamanya, muncul dengan kaca pembesar di tangan, dan dengan teliti "meneropong" baju-baju. Desainer lain di antaranya Peter Sie. Padahal, benar desain busanakah yang dimaksud dikemukakan lewat baju-baju yang bergantungan itu? "Kami bukan desainer pakaian," ujar Yoshiko Iwamoto Wada, ahli busana seni yang mengawal pameran. "Kami seniman yang menuangkan ekspresi ke bentuk pakaian. Sama seperti seniman keramik yang mewujudkan ide mereka ke material tanah liat, atau pelukis yang berdialog dengan warna-warna di kanvas." Kata-kata Wada, 41, agaknya bukan sekadar retorika yang sering cuma bikin bingung: Desainer busana yang mengaku bekerja seperti pelukis? Pada Wada, ada latar belakang. Ia, dan sejumlah seniman busana Amerika yang lain, tergabung dalam sebuah gerakan kerajinan yang berusaha memopulerkan gagasan yang mereka sebut Art to Wear - atau seni rupa yang dapat dipakai. Wada tak bisa menunjuk persis kapan gagasan itu muncul karena merupakan gabungan pemikiran baru dalam desain tekstil di sekitar 1976 dan kencederungan memperhatikan busana tradisional Asia dan Afrika di tahun 1970-an. Tapi yang pasti gerakan itu mula muncul di tahun 1980-an, khususnya 1983. Para kritisi mencatatnya sebagai suatu kemungkinan yang punya arti besar: prinsip kerajinan yang mampu membuahkan media baru di bidang seni rupa dan memang bukan desam busana. Seorang kritikus Amerika menyebutnya sebagai alternatif perkembangan seni rupa modern yang di masa kini semakin ekstrem menjauhi fungsi. Misalnya Conseptual Art dan Performance kecenderungan yang berdasarkan pada "perkembangan teoretis" pemikiran seni rupa, yang singkatnya dikenal sebagai "seni untuk seni". Busana seni yang ditampilkan di Museum Nasional itu memang menampilkan potensi kerajinan - keterampilan tangan dari khazanah kesenian masa lalu- dalam pemberian kemungkinan itu. Sejumlah teknik kerajinan masa lalu, seperti teknik menenun, merajut, dan mencelup warna, terlihat menggantikan teknik-teknik dan media konvensional. Pada kenyataannya, dialog antara seniman dan medianya tetap bisa terjadi, dan ekspresi bisa pula terekam. Maka, pendapat yang mengatakan bahwa kerajinan adalah media usang yang sudah tak lagi bicara boleh dinilai sebagai pendapat yang prejuratif - bercuriga dan merendahkan. Randall Darwall, yang menyajikan baju yang diberi nama Ruana, misalnya, menggunakan teknik tenunan tangan. Material yang dipakai juga bahan yang biasa diambil kaum perajin tradisional: sutra, wol dan benang-benang serat, yang warnanya dibuat dengan proses celup. Busana yang mirip jubah Afrika itu, kendati memang tak istimewa dari sisi struktur baju, mampu menampilkan kekayaan permukaan. Jauh dari imaji kain yang umumnya rata dengan warna yang menempel, tenunan Darwall menyajikan susunan benang-benang berwarna yang keseluruhannya membentuk kurai (tekstur). Kurai agaknya memang hal dominan disini menunjukkan tekanan pembuatan baju bukan terletak pada rancangannya, yakni desain, tapi pada pengolahan materialnya, dari benang kekain. Pengolahan itu, seperti yang dikatakan Wada, sama seperti kerja seorang pematung mengolah tanah liat atau material lain. Pada proses semacam ini kurai sering muncul sebagai hasil akhir. Coat, karya Tim Harding, tak lain dari gambaran "kurai sekujur tubuh". Busana ini, menurut Wada, terbuat dari benang katun yang dipotong kecil-kecil, kemudian diberi warna. Potongan-potongan itu diikat menjadi satu pada ujungnya, sementara ujung lainnya dibiarkan tergantung ke luar tak teratur. Hasilnya: busana yang mirip bulu biri-biri kusut. Sangat ekspresif. BERBEDA dari desain busana yang sangat mementingkan rancangan, dan umumnya beranjak hanya dari material kain, pengolahan material pada pameran busana seni ini praktis tak bisa terpaku pada rancangan. Perubahan bentuk akan terjadi terus-menerus: material yang diolah terus-menerus itu menyediakan pula kemungkinan - yang baru terlihat pada pengolahan dalam seni lukis, inilah yang dikenal sebagai dialog - ketika reaksi individual terhadap material diyakini bisa pula merekam ekspresi seniman. Muncul, misalnya, sebagai kualitas permukaan dan komposisi warna. Kimono Cape karya Judith Content menampilkan dengan jelas gejala itu. Karya ini hampir tak bisa dibedakan dari lukisan. Pakaian yang memunculkan warna-warna biru bernuansa, cokelat dan putih kusam, juga kurai yang lahir akibat kerut jahitan, membangun imaji benda yang usang dan tua lagi-lagi sangat ekspresif. Pengolahan material yang sangat intensif membuat pameran ini tidak menampilkan struktur-struktur bentuk yang canggih. Karena itu, struktur baju yang banyak muncul adalah struktur jubah dan kimono yang sederhana dan melebar - memudahkan pengolahan permukaan. Padahal, struktur bentuk sebenarnya cukup kaya untuk diolah, khususnya bagi ungkapan dalam bentuk tiga dimensi. Pengolahan ini merupakan idiom yang banyak digunakan para pematung. Namun, inilah barangkali bagian yang masih belum disentuh para seniman busana yang berpameran kali ini, kendati beberapa di antaranya tampak mencoba. Norma Minkowitz, dalam karyanya Coat of Square Roots, mencoba memasukkan unsur tali pada pinggiran busana buatannya yang punya struktur jubah. Bila tali yang membentuk jala itu dibuat lebih banyak, struktur jubah mestinya akan berubah. Jean Williams beranjak lebih jauh. Baju yang dibuatnya, Grey Petals, sangat mendekati bentuk patung. Busana ini terbangun dari kepingan-kepingan berbentuk daun, dipersatukan seperti atap genting. Bila dibandingkan, struktur bentuk inilah, yang dalam pameran ini kurang dijamah, yang kini banyak diolah dunia desain busana aliran mutakhir. Sejumlah desainer garda depan, seperti Issey Miyake, Yohji Yamamoto, dan Rei Kawakubo, mulai menampilkan struktur-struktur baju aneh - yang juga mulai mendekati bentuk patung- dan meninggalkan sama sekali struktur konvensional. Namun, barangkali peluang perkembangan desain busana memang cuma itu - mengingat kecilnya kemungkinan mengolah material kain yang sudah merupakan produk industri. Hal yang patut dikaji dari gagasan Art to Wear adalah semangat mengolah kemungkinan kerajinan. "Busana seni adalah gabungan dari kemungkinan-kemungkinan kerajinan rakyat dengan pemikiran dan teknologi masa kini," ujar Yoshiko Iwamoto Wada. Karena itu, para seniman busana lebih suka menelusuri berbagai pelosok terpencil di sejumlah negara berkembang yang memiliki potensi kerajinan- yang tak ada di Amerika ketimbang melihat peragaan busana di Paris. "Termasuk batik Indonesia kami pelajari, dan kami olah di Amerika," ujar Wada, yang pernah menulis skripsi tentang tenun ikat. Sementara itu, desainer busana kita - Indonesia cukup potensial dalam bidang kerajinan - lebih suka jalan-jalan ke Paris. Memang, masih perlu ditunggu munculnya seniman busana di Indonesia, yang bekerja mengikuti pola kerajinan tapi dengan pemikiran dan citra seni rupa masa kini. Dan bukan sekadar menempelkan ornamen kerajinan pada desain busana. Padahal, bila dipikir hampir semua baju yang muncul di peragaan busana toh dibuat satu-satu, tak beda dari produksi kerajinan. Bedanya cuma gaya. Jim Supangkat Laporan Didi Prambadi & Rini P.W.I Asmara (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini