Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Insiden pilot dan kopilot Batik Air yang tidur bersamaan dalam penerbangan sehingga pesawat terbang melenceng dari tujuan tanpa disadari tengah menjadi perbincangan hangat. Salah satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kenapa itu bisa terjadi sementara pesawat jet seluruhnya dilengkapi sistem penerbangan autopilot?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat juga konsultan penerbangan, Gerry Soejatman, membagikan informasi bahwa saat kejadian, 25 Januari lalu, sistem autopilot pesawat jenis Airbus A320 itu sedang dalam mode manual heading (Heading Select, HDG SEL). Dia mengutip kronologi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang menyebut pesawat dengan nomor penerbangan ID6723 dari Kendari menuju Jakarta itu sedang menghindari cuaca buruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tadinya, begitu clear dari cuaca buruk, autopilot-nya akan di-sett untuk nerusin rute yang sudah diprogram," kata Gerry menjelaskan via akun media sosial X. Tapi, yang terjadi adalah kopilot yang mestinya berjaga--karena sang pilot sudah lebih dulu tidur--ikut tertidur satu menit setelah meminta izin berubah arah.
Seorang pilot maskapai penerbangan nasional menjelaskan, tanpa pesawat pindah ke mode heading select, sistem autopilot bisa membawanya terbang menerabas awan tebal karena hanya akan mengikuti input awal arah ke bandara tujuan, saat pesawat sudah berada di ketinggian jelajah. Jika pun itu yang terjadi, mode LNAV/VNAV akan membantu mengendalikan navigasi lateral dan vertikal pesawat agar tak hilang arah.
Tapi, jika memutuskan untuk menghindari guncangan turbulensi dalam awan atau cuaca buruk di hadapannya, pilot akan mengubah mode autopilot ke HDG SEL, untuk bisa mengubah arah pesawat sesuai yang diinginkan atau dibutuhkannya. Dia menambahkan, pilot akan mengembalikan arah terbang kembali setelahnya.
Penerbangan Batik Air (BTK673) nomor pesawat PK-LUV pada 25 Januari 2024. Pilot dan kopilot tertidur hampir setengah jam sehingga pesawat yang mestinya mendarat di Cengkareng sempat nyasar sampai sekitar langit Cianjur-Sukabumi. Sumber: KNKT.
Seluruh perubahan, dia menuturkan, tetap melibatkan komunikasi dengan ATC dan navigasi penerbangan yang terkomputerisasi yang disebut Flight Management System.
Dikutip dari situs termaviation, FMS adalah bagian kritikal dari sistem autopilot di Airbus A320. FMS menerima input dari pilot, termasuk rute, ketinggian, dan kecepatan yang diinginkan kemudian mengkalkulasi parameter yang dibutuhkan untuk diikuti sistem autopilot dan autothrust. Dalam kalkulasi FMS itu termasuk faktor performa pesawat, kondisi cuaca, batasan rute, dan bantuan navigasi.
Apa Risiko yang Mengancam Pesawat Batik Air?
Pilot senior ini juga menegaskan pesawat Batik Air tidak kesasar atau tersesat akibat insiden ketiduran pilot dan kopilot selama sekitar 28 menit tersebut. Alasannya, pesawat masih dalam pantauan ATC dan pilot mengetahui di mana keberadaannya sebelum memutar arah. Menurutnya, risiko terburuk dari insiden ini adalah waktu yang terbuang, juga avtur yang lebih banyak terbakar karena rute menjadi lebih panjang.
Batik Air. Dok. Lion Air
Senada dengan Gerry, dia menepis kemungkinan pesawat akan celaka. Dia menerangkan sistem autopilot yang didukung komputerisasi penerbangan sudah dimiliki semua pesawat jet. Selain juga ada ATC yang menuntun atau mengawal pergerakannya. Dia merujuk kepada pertanyaan berulang ATC kepada pesawat Batik, seperti yang ada dalam kronologi KNKT: berapa lama anda akan bertahan di arah ini?
Sebelumnya, Gerry, dalam postingannya yang lain, mengatakan risiko pesawat bakal bertabrakan jika ditinggal tidur pilot dan kopilotnya meningkat, tapi tidak terlalu banyak. "Kan masih terpantau ATC dan ATC bisa ngarahin pesawat yang lai untuk menghindari jauh-jauh," kata Gerry.