PERHATIANNYA terhadap masalah pertanian dan tanaman mungkin
tergugah oleh ayahnya, seorang karyawan perkebunan di Bogor.
Tapi ia juga menyadari bahwa banyak orang Jawa Barat memang suka
makan sayuran mentah sebagai lalap. Sedang petani sayur-mayur
dilihatnya selalu menggunakan insektisida untuk melindungi
tanaman dari serangan hama.
Maka Gregory Djaja, siswa kelas 3 IPA, SMA Regina Pacis di
Bogor, melakukan penelitian. Hasilnya dikirim hanya kepada
panitia Lomba Karya Penelitian Ilmiah bagi Remaja tahun 1980
(TEMPO 30 Agustus). Berdasarkan karya tulisnya itu yang berjudul
"Insektisida dan Bahayanya", ia terpilih sebagai salah satu di
antara sepuluh finalis lomba itu.
Ia sempat jalan-jalan ke Cipanas dan menyaksikan para petani di
kebun kubis sedang menyemprot tanaman. "Saya melihat tetesan
insektisida menempel di sayuran itu," tuturnya. "Padahal 3-4
hari lagi sayur itu akan dipetik."
Para petani menyemprotkan insektisida itu berkali-kali, tidak
sesuai dengan aturan memakainya. Pengamatan ini baginya
menimbulkan dua hipotesa. Pertama, cara pemakaian insektisida
semacam itu bakal membahayakan bagi konsumen sayuran itu. Zat
racun yang terdapat dalam insektisida tetap terkandung pada
tanaman dengan kadar yang cukup tinggi. Kedua, cara seperti itu
bakal menimbulkan hama yang resisten terhadap insektisida itu.
Hingga setiap saat dibutuhkan insektisida yang lebih kuat. Ini
berakibat bertambah besar pula bahaya bagi manusia dan
lingkungan.
Untuk membuktikan hipotesanya itu ia melakukan penelitian selama
dua bulan. "Wah, saya tidak pernah berhitung berapa biaya
penelitiannya," jawab Gregory atas pertanyaan TEMPOO.
"Paling-paling buat ongkos pulang pergi ke Cipanas." Sedang
penelitian di laboratorium ia lakukan di sekolah. Cregory banyak
dibantu L.I. WendiKazif, gurunya.
Ia mulai dengan menghimpun semua data tentang insektisida yang
beredar di Indonesia. Berdasarkan itu ia memperoleh sejumlah
kriteria pembanding bagi pemakaian obat anti hama itu.
Cukup Mengejutkan
Kemudian ia meneliti mekanisme penyerapan oleh daun tanaman itu
sendiri. Dan ia mengadakan berbagai tes untuk mengukur
pengendapan (residu) insektisida. Untuk itu ia mengumpulkan
berbagai sample dari petani yang sayurnya baru disemprot, sedang
dipanen atau yang sedang dijual di pasar. Juga ia membagi sample
itu dalam tiga golongan. sayur yang dicuci, dimasak dan yang
tidak dicuci.
Dari Cipanas ia kumpulkan kol dau bunga kol. Dari Lembang juga
kol dan bunga kol ditambah sawi, sedang dari Sukabumi kol dan
sawi. Hasilnya cukup mengejutkan.
Sayuran dari Lembang dan Sukabumi mengandung kadar endapan
insektisida fosfor organik yang relatif rendah, namun semua
angka menunjukkan jauh di atas nilai ambang yang diizinkan,
sekalipun bagi sayuran yang dicuci atau dimasak. Nilai ambang
ini, misalnya, bagi tiap 500 gr contoh hanya diizinkan 0,25 -
0,5 mg. Tapi kol dari Cipanas sebanyak itu yang sudah dimasak
masih menunjukkan angka endapan setinggi 38,75 mg, atau 75 kali
lebih di atas nilai ambang. Kol yang dari Lembang dan Sukabumi
tidak begitu gawat, meskipun untuk contoh yang dimasak
menunjukkan angka 15,5 mg dan 14,5 mg. Bayangkan, betapa lebih
besar bahayanya bagi orang yang suka makan lalap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini