IBUNYA tukang cuci pakaian. Ayahnya berjualan kopi dan pisang goreng. Tapi Rusli, anaknya, dengan gigih masuk universitas -- dan lulus dokter. Pulang sekolah biasanya ia duduk mencangkung menunggui kedai rokok ayahnya. Sambil membolak-balik pelajaran SMP-nya ia sering memperhatikan mahasiswa yang keluar masuk asrama di seberang jalan. Niat pun timbul ia harus seperti mereka. Tapi ia hanya seorang anak miskin -- satu di antara tujuh orang anak dari ayah-ibu yang bekerja berat. Toh, Rusli dengan gigih berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, dan Agustus lalu dilantik sebagai dokter. Seminggu sebelumnya ia mengadakan selamatan -- sekaligus merayakan pernikahannya dengan Sopanita boru Tarigan, 21 tahun. Mereka menikah September tahun kemarin. Rektor USU sendiri, Dr. Adi Putra Parlindungan SH, menyempatkan hadir. "Semangatmu patut menjadi teladan," ujar sang rektor tersendat. "Cucuran peluh ibumu sebagai tukang cuci, jangan kaulupakan." Dokter Rusli, 27 tahun, menyeka air matanya. Ibu, ayah dan istrinya turut terisak. Rusli yang berperawakan jangkung dan berambut ikal ini berkata tentang orangtuanya "Tanpa mereka, saya tak akan jadi begini." Ia juga berterima kasih kepada teman-temannya yang banyak memberi bantuan. Peralatan praktek, termasuk stetoskop, katanya, "teman yang membelikan." Keluarga Sugarno ayah Rusli yang asli Pekalongan itu, 55 tahun, semula menetap di Aceh. Tahun 1956 mereka hijrah ke Medan, menghindari gerombolan DI/TII. Sugarno mendapat pekerjaan sebagai juru masak di sebuah asrama Brimob, dan memperoleh sebuah kamar untuk keluarganya. Penghasilannya tak cukup. Sang istri lalu menjadi tukang cuci pakaian di asrama mahasiswa USU. Berhenti jadi juru masak, Sugarno membuka kedai kopi di depan asrama mahasiswa itu. Rektor USU waktu itu Brigjen dr. S. Harnopijati, lalu membolehkannya mengolah tanah di pinggiran kampus untuk ladang dan sawah. Dan padi di sawah belum tua betul ketika Rusli --anak ke-3 -- tamat SMA Negeri 8 (1973). Lalu ia ikut testing FK-USU, dan lulus. Kesulitan baru timbul ia mesti bayar uang pendaftaran Rp 20.000. Orangtuanya, untunglah, punya ide bagus. Hari itu juga Sugarno anak-beranak turun ke sawah, menuai padi yang baru mulai menguning. Alhamdulillah, hasilnya cukup. Tapi rasa was-was tak lalu hilang. "Sekolah dokter 'kan perlu banyak biaya. Kami jadi ngeri," tutur Sa'diah, sang ibu, mengenang masa lalu. Untuk membayar uang kuliah sekarang Rusli tiap malam membantu membuat kue yang dijual di kedai esoknya. Pada musim mengerjakan sawah, kata Sa'diah, "kami sekeluarga turut mencangkul dan menanam. " Beban agak berkurang ketika di tahun 1975 Rusli mendapat beasiswa Super Semar. Rektor USU waktu itu, Brigjen Herry Soewondo SH, bahkan menyuruh Rusli tinggal di asrama. Sebelumnya ia menginap di kedai dan belajar di bawah lampu teplok. "Matamu bisa rusak nanti," komentar sang rektor. Beasiswa tetap diterima Rusli sampal ia duduk di tingkat terakhir. "Dia memang pandai. Patut disebut mahasiswa teladan," komentar beberapa rekan. Rusli sendiri beranggapan "Banyak yang lebih pandai dari saya." Di samping beasiswa, Rusli juga berusaha membayar uang kuliah antara lain dengan memberi les. Untuk buku-buku, kalau tak sanggup membeli, ia pinjam dari teman di samping memanfaatkan perpustakaan kampus. Dengkul Setelah jadi dokter, Rusli mengaku bingung. "Mau buka praktek saya tak punya peralatan. Modal saya cuma dengkul," katanya. Ia tak keberatan jadi dokter Inpres, dan bersedia ditempatkan di mana saja. Ada juga tawaran untuk jadi staf pengajar di USU. Tapi bila ada kesempatan belajar lagi, "saya ingin jadi ahli bedah atau ahli penyakit dalam." Apa lagi istrinya sudah bekerja pula, sebagai perawat. Sopanita adalah anak bungsu (delapan bersaudara) dari keluarga petani. Ia lulusan SMP I Tanjungkarang yang masuk sekolah perawat kesehatan di Medan. Dan kompleks sekolah perawat itu persis di depan kompleks Fak. Kedokteran USU -- itulah. Tapi pertemuan intim mereka dimulai ketika Rusli berpraktek di Rumah Sakit Dr. Pirngadi. Dua kakak Rusli sendiri, yang telah berkeluarga, hanya lulusan SD. Tapi adiknya yang kembar seorang duduk di Fak. Hukum tingkat III, yang lain di Fak. Ekonomi tingkat II, sementara yang bungsu di kelas III SMA. Sekolah tinggi memang bukan satu-satunya cara untuk jadi manusia. Sedang Rusli bukan pula satu-satunya orang yang sukses menempuh segala rintangan. Tapi tekad yang besar selalu menjadi contoh. Dan pekan ini Menteri P&K, dalam acaranya menghadiri Dies Natalis USU, sempat pula memberi hadiah kepada si teladan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini