PERUSAHAAN Ericsson menjanjikan lagi-produk baru untuk orang-orang yang sibuk: telepon saku. Alat komunikasi canggih yang dirancang perusahaan pembuat telepon dari Swedia itu diharapkan sudah bisa dipasarkan pada 1991 nanti. Kabar itu disampaikan Olle Ulvenholm, Penasihat Eksekutif PT Erindo Utama, perwakilan Ericsson di Indonesia, di depan sekitar 300 insinyur peserta seminar Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia (PATI) di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu pekan lalu. Tapi rancangan telepon saku yang disorotkan Ulvenholm di layar peragaan ternyata belum betul-betul berukuran kantung baju. Ukurannya masih hampir sebesar gagang telepon biasa, dan beratnya sekitar 630 gram. "Berat dompet Anda 'kan juga sekitar itu," seloroh Ulvenholm. Bagaimana sistem jaringan penyalur telekomunikasinya? Menurut Ulvenholm, sistem ini berupa jaringan pemancar ulang (repeater) - seperti 1aringan telepon mobil yang terdapat pada setiap jarak 30--100 m. Bedanya, pemancar ulang pada jaringan telepon mobil cellular ditempatkan pada jarak 5-30 km. Sama seperti sistem telepon mobil, penyaluran suara telepon saku dilakukan melalui gelombang radio. Pemendekan jarak antarrepeater pada telepon saku itu agar pesawatnya dapat diperkecil dan diperingan. Akibat diperkecilnya ukuran pesawat itu, daya pancar radionya Jadi rendah, sehingga daya jangkaunya juga berkurang. Sebab, yang membuat ukuran pesawat telepon menjadi besar, dan juga berat, adalah pemancar radionya, terutama ukuran baterenya. Faktor lain yang diperhitungkan Ericsson adalah penghematan penggunaan frekuensi radio. "Bila daya jangkau setiap pemancar diperpendek, berita frekuensi gelombang yang sama dapat digunakan di daerah lain secara lebih sering," kata Ulvenholm. Itu berarti bisa lebih banyak telepon saku dapat disambungkan oleh jaringan telekomunikasi yang tersedia. Kelemahannya adalah harus lebih banyak stasiun repeater disediakan. Diperkirakan sistem im mampu menampung 60 ribu telepon saku setiap km2 sekitar 37,5 juta pesawat untuk wilayah Jakarta. Bandingkan dengan sistem jaringan kapasitas telepon mobil Jakarta-Puncak-Bandung yang cuma mampu menampung 10 ribu pesawat. Sistem telepon saku ini dalam bentuk yang sederhana sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Ericsson, yakni melalui apa yang disebut on site paging system (OSPS) - gabungan antara sentral telepon perkantoran (PABX) dan radio pager. Alat komunikasi sederhana ini berupa perangkat penerima radio berukuran sebesar kartu kredit. Kartu itu akan berbunyi bila ada panggilan telepon untuk pemiliknya. Setelah itu, pemiliknya tinggal mengambil sembarang telepon yang terdapat di tempat terdekat, dan memijit nomor tertentu untuk menjawab panggilan yang ditujukan kepadanya. Sistem ini, menurut Ulvenholm, sangat populer di Eropa dan Australia. Setiap tahun terjual sekitar setengah juta unit di kedua kawasan itu. Namun, di kawasan lain barang ini kurang populer. Maka, Ericsson merancang telepon saku, yang merupakan perpaduan antara sistem OSPS dan telepon mobil. "Saya yakin barang ini sudah tersedia secara komersial pada 1991," kata Ulvenholm. Tapi, bukan berarti pula telepon saku itu akan menjadi sebesar ukuran KTP. Panjang telepon itu minimal harus 12 cm. "Itu adalah jarak antara telinga dan mulut," kata Ulvenholm. Nah, agar barang itu dapat dimasukkan ke kantung, salah satu caranya adalah dengan melipatnya. Maka, nanti ukuran panjang dan lebarnya mungkin sebesar KTP, tapi tebalnya akan beberapa kali lipat - kira-kira setebal mesin hitung saku. Teknik telepon saku ini adalah pengembangan sistem telepon cellular - sistem yang sudah dipakai untuk telepon mobil - yakni mengandalkan jaringan yang terdiri atas banyak repeater gelombang radio yang dikontrol oleh komputer. Dan, pada dasarnya, pesawat telepon adalah pesawat pemancar dan penerima gelombang radio yang berhubungan lewat jaringan repeater tersebut. Kunci keberhasilan sistem ini bertumpu pada kemampuan pesawat telepon untuk selalu berhubungan dengan repeater yang terdekat. Apabila pesawat telepon saku itu berpindah tempat, repeater yang dihubunginya akan berganti pula tanpa memutus hubungan. Tentu saja selalu ada perbedaan antara teori dan penerapannya. Kelemahan penggunaan gelombang radio adalah dalam daya tembus terhadap hambatan. "Kalau di daerah sekitar gedung tinggi seperti di Jalan Thamrin atau Jalan Sudirman, hubungan bisa tiba-tiba terputus," keluh Dokter Rosita Noer, pengusaha yang sejak 1986 memakai telepon mobil. Selain itu, biaya pemakaiannya cukup mahal: uang langganan Rp 75 ribu per bulan ditambah biaya pemakaian pulsa yang seharga Rp 300 per pulsa. Tak heran jika penjualan telepon mobil tak begitu berhasil (lihat Ekonomi - Bisnis). Masalah lain yang jadi hambatan adalah perihal standar. Kendati setiap jenis pesawat telepon menggunakan frekuensi gelombang radio yang sama--sekitar 800 MHz--setiap merk biasanya punya cara bekerja yang berbeda. Bahkan satu pesawat telepon dengan merk yang persis pun belum tentu dapat digunakan untuk dua daerah yang berbeda. Contohnya, sistem telepon mobil Ericsson yang sekarang dipakai di Jakarta tak dapat digunakan di Malaysia. "Soalnya, alokasi frekuensi yang dipakai berbeda," dalih Ulvenholm. Selain hambatan - hambatan teknis dan ekonomis, masih ada lagi hambatan psikologis. Bila semua orang sudah mengantungi telepon saku, ke mana lagi mencari ketenangan? Namun, Ulvenholm tak menganggap hal ini sebagai rintangan berat. "Sekali orang terbiasa memilikinya, akan sulit hidup ,tanpa telepon saku," kilahnya. "Lagi pula, bila sedang tak mau diganggu, gampang saja mengatasinya. Matikan saja teleponnya." Harga telepon saku ini, menurut Ulvenholm, sekitar US$ 200. Anda berminat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini