Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dan mereka menjadi tumbal

Dua kepala SD, Ganda Priatna dan Emen Rustaman yang diturunkan pangkatnya dan dimutasikan gara-gara surat untuk PGRI kodya Bandung sulit ditemui. Pengelolaan SD oleh dua departemen menimbulkan masalah.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANDA Priatna dan Emen Rustaman, dua guru SD yang paling banyak dibicarakan sekarang ini, tiba-tiba "menghilang". Ganda Priatna, 52 tahun, bekas Kepala SD Tunas Harapan I Perumnas Cijerah, dan Emen Rustaman, 49 tahun, bekas Kepala SD Caringin I - keduanya di Bandung Kulon - sebenarnya sudah menandatangani pernyataan bersedia bertugas di tempat yang baru. Tapi Senin lalu, ketika murid SD kembali ke sekolah setelah libur seminggu, Ganda dan Eman tak nongol di tempatnya mengajar. Ganda Priatna kini mengajar di SD Pasir Indah, Kabupaten Subang, dan Emen Rustaman mengajar di SD Cimaranggi, Kabupaten Bandung. Di rumahnya pun, kedua pak guru ini sulit ditemui. "Pagi-pagi Bapak sudah pergi, pulangnya sering larut malam. Kalau ditanya, katanya banyak urusan," kata Nyonya Waliyah, istri Ganda Priatna. Padahal, banyak tamu yang ingin menemuinya. Maklum, Pak Ganda, bekas santri di pesantren Cikonene. Majalaya. Juga dikenal sebagai khatib salat Jumat dan suka diundang dalam resepsi pernikahan untuk memberikan nasihat-nasihat kepada pengantin. "Setelah musibah itu, Bapak kelihatan sangat murung," tutur Nyonya Waliyah. Musibah yang dimaksud adalah hukuman kontroversial yang diterima kedua guru ini. Dalam kedudukannya sebagai ketua dan sekretaris PGRI Bandung Kulon, Ganda Priatna dan Emen Rustaman mengirim surat kepada PGRI Kodya Bandung. Isi surat menceritakan keresahan umum guru-guru SD Kecamatan Bandung Kulon. Lalu disinggung soal penanganan SD oleh dua departemen, yang dinilainya bahwa pelaksanaannya di lapangan sering tidak harmonis. Surat itu oleh Kepala Dinas P dan K Jawa Barat, Edie Sufyan, S.H., dianggap menyerang kebijaksanaan pemerintah. Dua guru itu dimutasikan ke tempat terpencil, dan statusnya diturunkan menjadi guru biasa (TEMPO, 6 Februari). "Ketika musibah itu datang, seisi rumah semua menangis," tutur Nyonya Waliyah lagi. "Kalau soal mutasi, mah biasa, walau ke daerah terpencil juga. Tapi soal diturunkannya itu yang bikin kami sedih." Ini berarti gaji yang diterima berkurang Rp 18 ribu, yaitu tunjangan jabatan. Itu besar artinya bagi keluarga Ganda, yang bergaji pokok Rp 168.400,00 dan menanggung 9 anak ini. Ke mana pak guru ini? Adakah sekadar menghindar dari wartawan atau justru ditekan untuk tidak berbicara? "Mungkin karena mereka segan saja, apalagi masalahnya sudah dilimpahkan ke PGRI Jawa Barat. Yang jelas, organisasi tak melarang mereka berbicara," kata Ketua PGRI Jawa Barat, H.R. Taman Sastradikarna. PGRI Ja-Bar, yang terpukul oleh kasus ini - karena surat intern PGRI dijadikan alasan Dinas P dan K untuk menindak anggotanya - bersikap menunggu. "Karena kami mengetahui pasti masalah ini sedang ditinjau Pemda Ja-Bar," kata Taman. Drs. R.M. Machdi, Pjs. Humas Pemda Jawa Barat, membenarkan bahwa kasus ini sedang ditinjau kembali. "Tapi masalahnya sudah dilimpahkan oleh Gubernur ke Mendagri," kata Machdi. Sedang Kepala Dinas P dan K Ja-Bar, Edie Sufyan, menyerahkan urusan ini kepada Pemda Ja-Bar. Tapi Edie kini menyanggah kalau pemindahan Ganda dan Emen itu sebagai hukuman. "Itu sebenarnya rencana mutasi 110 kepala SD se-Jawa Barat yang sudah direncanakan sejak 1 September lalu. Pertimbangannya kebutuhan dinas, penyegaran, dan peningkatan karier," katanya. Tentang isi surat yang jadi asal-muasal itu, Edie tetap berkesimpulan, "Membuat keresahan dan menyinggung integritas serta kewibawaan pemerintah." Bagian surat yang paling "panas" bagi Edie memang soal dualisme penanganan SD oleh Departemen P dan K dan Depdagri. Ganda dan Emen menulis bagian itu dengan mengawali kata-kata "kalau boleh kami mengemukakan pendapat". Setelah menguraikan bagaimana kacaunya penanganan SD oleh dua departemen - antara lain birokrasi kepangkatan dan gaji guru - mereka menulis: "Kami ingin seperti kakak kami dan adik kami yaitu SMTP/SMTA dan TK, diurus oleh Departemen P dan K langsung, karena tampaknya semuanya lancar dan tidak terjadi dualisme pengurusan." Di Jakarta, surat kedua guru ini justru ditanggapi positif. Selasa pekan lalu, dalam dengar pendapat antara Komisi IX DPR dan Menteri P & K, masalah ini dibicarakan panjang lebar. Fuad Hassan sendiri mengakui, pengelolaan secara ganda itu membawa masalah. Kebijaksanaan yang muncul, katanya, justru sering menimbulkan kesimpangsiuran, mengakibatkan kebingungan para pelaksana di lapangan, dan bahkan sering menimbulkan keresahan di kalangan guru SD. Fuad memang tak merinci kasus-kasus. "Menurut saya, sebaiknya pengelolaan SD itu tidak di dua departemen," kata Fuad. Sekarang ini, Departemen P dan K menangani masalah pendidikannya, sedang Depdagri menangani admistrasinya. Fuad ingin agar SD itu pengelolaannya tunggal, seperti TK, SLTP, dan SLTA. "Tapi tunggalnya di mana, bersabarlah. Barangkali ada baiknya pemecahan masalah menunggu undang-undang pendidikan dulu," kata Fuad. Pengelolaan ganda SD ini dasarnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65, Tahtm 1951, tentang pelaksanaan penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat dalam lapangan pendidikan kepada daerah tingkat I. Menurut Drs. Feisal Tamin, juru bicara Depdagri, tidak ada yang salah, karena berpijak pada peraturan yang ada. "Karena aparat pemerintah daerah punya orang sampai ke pelosok desa. Bagaimana Departemen P dan K bisa mengurus lebih baik sementara tangannya tidak sampai ke desa," kata Feisal Tamin, yang juga staf ahli Mendagri ini. Mutasi kedua guru itu pun, menurut Feisal Tamin, tidak ada yang salah. "Lho, guru itu 'kan pegawai negeri. Sebelum menjadi pegawai negeri sudah menandatangani pernyataan siap ditempatkan di mana saja," katanya. Memang, tapi persoalan ini tentu tak sesepele itu. Ini menyangkut aspirasi dan bawah, seorang guru yang berbicara tentang dunia yang dikenalinya betul, dengan prosedur yang benar, tiba-tiba dihukum. Sri Indrayati, Hedy Susanto (Bandung), Sidartha P. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus