Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bisnis kecil-kecilan

Perguruan tinggi negeri harus berhemat karena anggaran dari pemerintah menyusut. Timbul ide dikelola secara bisnis. Hasilnya harus dimasukkan dulu ke kas negara. Ada yang sudah punya perusahaan.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGURUAN tinggi negeri (PTN) menghadapi dilema dengan menciutnya anggaran pendidikan. Kegiatan akademis tak boleh mandek dan mutu pendidikan harus tetap ditingkatkan, sementara dana yang diperoleh dari pemerintah tidak mencukupi. Itu yang menyebabkan rektor-rektor PTN sekarang ini melaksanakan kebijaksanaan mengencangkan ikat pinggang. Misalnya yang terjadi di Universitas Indonesia (UI) awal bulan ini, ketika merayakan dies natalis ke-39. Acara diisi dengan seminar dan pidato ilmiah. Dalam, suasana berhemat Wisuda mahasiswa juga di kampus tidak lagi di Balai Sidang. seperti dahulu. Pembiayaan dies pun, kata Rektor UI, Prof. Sujudi, tidak menggerogoti anggaran yang diterima dari pemerintah. Karena anggaran itu sudah sangat kecil. Menurut Sujudi, 80% dari jumlah anggaran, atau sekitar Rp 8 milyar, diperuntukkan gaji. Sementara itu, di kampus Depok biaya listrik saja mencapai Rp 20 juta per bulan. Pengetatan ekstrahemat terjadi di semua universitas negeri. Di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,'."Anggarannya susut 52% dibandingkan tahun sebelumnya," kata Purek II Unpad, Dr. Emuch Hermansoemantri. Anggaran sekarang sekitar Rp 7,5 milyar, hampir Rp 7 milyar untuk belanja pegawai. Bidang lainnya semua mengalami defisit. "Ambil contoh dana telepon. Setahun dianggarkan Rp 9 juta, kenyataannya habis untuk satu setengah bulan," kata Emuch. "Subsidi yang berkaitan dengan kegiatan akademis bahkan sama sekali kosong." Dalam situasi beginilah dilontarkan ide, universitas sebaiknya dikelola secara bisnis. Universitas diberi hak otonomi untuk mencari dana, dan mengelola dana itu secara mandiri. Ide ini dilontarkan Rektor Universitas Tarumanagara, Jakarta, D. Khumarga, S.H. Walau itu datang dari rektor perguruan tinggi swasta, Rektor UI sependapat, dengan catatan bisnis yang dimaksudkan bukan mencari keuntungan, tetapi pengelolaan secara manajemen modern. Sujudi mengusulkan, dana yang diperoleh sendiri oleh universitas tidak usah dimasukkan ke kas negara. Dalam hal PTN mencari dana sendiri Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Soekadji Ranuwihardjo sependapat juga. "Biaya perguruan tlnggi itu mahal. Kalau hanya menggantungkan diri pada anggaran pemerintah yang amat terbatas, ya nggak mungkin," katanya. Tapi Soekadji tetap ingin menegakkan peraturan yang telah ada, dana yang diperoleh itu dimasukkan ke kas negara terlebih dahulu. Ketentuan yang mengharuskan dana itu disetor ke kas negara membuat universitas tak gesit "menjual jasa". Padahal, beberapa PTN sudah lama memulainya, meski kecil-kecilan. Di UI, misalnya, hampir setiap fakultas punya lembaga yang menghasilkan "uang jasa". Fakultas Psikologi punya Lembaga Psikologi Terapan, Fakultas Kedokteran punya klinik-klinik, Fakultas Ekonomi punya LPEM, dan sebagainya. "Kegiatan akademis di fakultas, bila tidak dibantu usaha-usaha itu, tidak akan lancar jalannya," kata Sujudi. Unpad bahkan punya Yayasan Padjadjaran. Berdiri sejak 1969, yayasan ini semula bertujuan untuk kesejahteraan karyawannya. Kini yayasan tersebut mampu menyumbang 10% dari biaya pengelolaan Unpad. Selain itu, tahun anggaran yang lalu, yayasan ini menyumbang 12 unit komputer, 30 mesin ketik, 3 kendaraan, pengadaan buku perpustakaan senilai Rp 10 juta, pembangunan asrama putri, perbaikan jalan, dan banyak lagi. Universitas Airlangga (Unair) Surabaya punya Yayasan Dana Universitas Airlangga. Yayasan ini punya "cabang" di semua fakultas, dan tugasnya mencari dana untuk fakultas masing-masing. Selain itu 10 fakultas yang ada di Unair punya badan-badan nonstruktural yang bisa menghimpun dana dari luar. Menurut Rektor Unair, Prof. Soedarso Djojonegoro, baik yayasan maupun badan-badan itu secara otonomi mengatur dirinya sendiri, tapi laporan keuangannya dipertanggungjawabkan ke rektor. Apa hasilnya mencukupi? "Ibarat seorang suami yang ngobyek untuk kebutuhan rumah tangganya, ya, paling buat nambah-nambah saja," kata Prof. Soedarso Djojonegoro. Sementara itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogya punya PT Pagilaran. PT in bukan perguruan tinggi tetapi perseroan terbatas. Perusahaan perkebunan yang, dikelola Fakultas Pertanian ini memiliki lahar seluas 1.100 hektar di Batang, Jawa Tengah Keuntungannya ditaksir Rp 100 juta pe tahun. Sebagian besar diinvestasikan kembali, dan 10% disumbangkan ke UGM. Namun, perkebunan ini tak sepenuhnya komersial, karena juga tempat praktek maha siswa. Komisaris dan direksi perusahaar perkebunan ini semuanya dari Fakultas Ekonomi UGM. Ketua dewan komisaris adalah dekan FE. Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, yang hingga kini belum punya sebuah lembaga pun yang berfungsi memasukkan dana tambahan, akan segera mencontoh UGM. USU tengah bersiap mengelola lahan pertanian seluas 600 hektar di Kabupaten Langkat, 80 km dari Medan. Separuh luas itu untuk kebun praktek mahasiswa, separuhnya lagi dikelola secara komersial. Itu diharapkan memasukkan dana ke USU. "Sekarang ini kami hanya memanfaatkan dana yang ada darl pemerintah saja," kata Rektor USU, Prof. Jusuf Hanafiah. Bagi Soekadji Ranuwihardjo, langkah-langkah yang ditempuh perguruan tinggi itu oke-oke saja. Bahkan ia mengharapkan Dewan Penyantun lebih gesit mencari dana atau universitas "menjual jasa" kepada masyarakat. Tapi ia kembali menegaskan, "Hasilnya harus diserahkan dahulu ke kas negara." Kalau dana itu dicari dan dikelola secara mandiri, bisa tergelincir, perguruan tinggl yang bergerak di bidang pendidikan mencari keuntungan. "Sebab, misi pendidikan adalah nonprofit, bukan bisnis," kat bekas rektor UGM ini. Memasukkan uang ke kas negara itu yang dirasakan berbelit-belit oleh sejumlah pimpinan universitas. Karena keluarnya akan repot dan melewati birokrasi yang rumit. Harus mengajukan rencana proyek dahulu, kalau rencana anggarannya meleset dan biaya bertambah, tambahan dananya menunggu lagi. Bisa-bisa proyek itu terbengkalai, padahal dananya sudah dicari. "Akhirnya, tak banyak yang menolong di tengah menciutnya anggaran resmi seperti sekarang ini, ujar seorang rektor. Agus Basri dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus