AMERIKA Serikat sangat maju di bidang pengembangan pesawat tempur. Sebutlah, misalnya, F-14, F-15, F-16, F-18, atau pesawat tempur super yang disiapkan untuk masa depan. Demikian pula di bidang pengembangan kapal induk, atau kapal selam nuklir. Tetapi, dalam hal perkeretaapian, negara itu lumpuh. Tumpangilah kereta api AS, dan bandingkan dengan Shinkansen di Jepang, atau TGV di Prancis, yang meluncur dengan kecepatan 255 km per jam. Kini, keberhasilan sistem kereta api Jepang dan Eropa menggerakkan kalangan perkeretaapian AS untuk ikut berpacu. Di Jepang, Shinkansen telah mengangkut 2 milyar penumpang selama 20 tahun terakhir. TGV (Traina Grande Vitesse) mencatat sukses besar sudah sejak tahun pertama, awal 1980-an. Kini jaringannya diperluas sampai ke Brussels (Belgia) dan Frankfurt (Jerman Barat). Para peneliti Jerman Barat dan Jepang sekarang sudah berhasil menjinakkan gaya-gaya magnetik untuk mengapungkan, memandu, serta mendorong kereta-kereta eksperimen dengan kecepatan melebihi 375 km per jam. Mereka yakin, dengan penemuan baru yang disebut Maglev (magnetic leviation) ini, akan terbuka era baru perkeretaapian, terutama di daratan Eropa dan Jepang. Keadaannya sangat berbeda dengan di Amerika Serikat. Di negara ini, kepadatan penduduk tidak menyebar secara merata di seluruh benua, melainkan terpencar-pencar. Lagi pula, sistem jalan raya AS sudah demikian meluas, dan praktis mencapai segala sudut permuklman. Itu masih dirambah dengan kemajuan jaringan penerbangan, yang memungkinkan biaya angkutan dan perjalanan udara bisa ditekan. Sementara itu, jurus baru di bidang perkeretaapian pada tahap pertama memerlukan modal besar dan investasi jangka panjang. Jika AS berniat menggunakan jaringan kereta api berkecepatan tinggi, mungkin lebih baik baginya mengandalkan teknologi dari luar. Misalnya, memanfaatkan teknologi Shinkansen dan TGV, untuk kawasan seperti California, Texas, atau bagian timur laut Amerika Serikat. Di Eropa dan Jepang, orang menyenangi kereta api cepat, karena mereka bisa berangkat dari tengah kota, dan tiba di tengah kota juga. Ini menghemat perjalanan ke dan dari pelabuhan udara. Juga meniadakan faktor pembatalan atau pengunduran oleh pengaruh cuaca. Jam menunggu di stasiun kereta api cepat pun tidak selama di pelabuhan udara. Sekarang, tentang hari depan Maglev. Setiap kereta api, selama ia menggunakan roda baja dan meluncur di atas rel baja, mempunyai batas tertentu. Selain drag (helaan) aerodinamis yang harus dialami benda bergerak, ia juga menanggung gaya gesek antara roda dan rel. Tiap kali kecepatan ditingkatkan, rel menerima beban tinggi yang mempercepat kerusakan. Karena itu, kereta api biasa sukar sekali mencapai kecepatan di atas 270-375 km per jam. Karena pembatasan yang bersifat melekat pada sistem kereta api itulah, para ahli melihat Maglev sebagai satu-satunya jembatan menembus hambatan tadi. Teori dasar untuk memacu kereta api dengan Maglev, sebetulnya, sudah muncul sejak beberapa dasawarsa lalu. Tetapi, kemungkinan menerapkannya secara teknis dan ekonomis baru tampak 10-15 tahun silam. Menurut para pendukungnya, kereta Maglev akan ekonomis bila mencapai kecepatan 300 - 600 km per jam. Pada sistem itu, kereta tidak lagi bergerak di atas rel, sehingga gejala aus oleh gesekan bisa dihindarkan. Teknologi ini juga mengatasi masalah kebisingan yang, selama ini, ditimbulkan oleh gesekan antara roda dan rel. Keuntungan lainnya, Maglev memungkinkan kereta api "mendaki" lereng lebih dari 10. Untuk menghilangkan drag aerodinamis, para pemuka perkeretaapian Maglev membayangkan sesuatu yang terdengar fantastis. Kereta itu, kelak, akan bergerak di dalam semacam tabung hampa udara, dari satu kota ke kota lainnya. Teknologi Maglev didukung dua hal. Pertama, desain elektromagnetis, atau sistem tarik. Kedua, desam elektrodinamis atau sistem tolak. Keduanya, memang, masih memerlukan penjelasan. M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini