DI gerbang pintu masuk pameran, terentang sehelai kulit hewan.
Di situ Rektor ITB menuliskan terimakasihnya kepada badan-badan
yang telah membantu terlaksananya pameran. Kemudian pada panel
pertama terlihat potret dunia berwarna ungu menyala. Potret ini
diambil pada tanggal 10 Nopember 1976 dari ketinggian 35,8 ribu
dengan kamera satelit ATS-III. Kemudian mulailah deretan panel
yang bicara dengan data dan angka. Dari potret perempuan tua
menganyam bambu, sampai grafik rumit dan warna-warni. Begitulah
suasana pameran tekno 77 di kampus ITB jalan Ganesha, Bandung,
pekan lalu. Tidak ada yang mengejutkan di sana, walaupun Rektor
Prof. Iskandar Alisyahbana sebelumnya sesumbar bahwa ITB akan
mengadakan "kejutan teknologi". Tapi tak berarti bahwa pameran
ini tidak mengagumkan -- setidaknya dari segi sikap yang
mendasarinya.
"Kita ingat pada potret Indonesia pada 20 tahun lalu", kata Dr.
ir. Filino Harahap, Ketua Tim Perumus Pameran "Waktu itu masih
ada desa-desa dengan pemandangan indah dan hijau, anak-anak
riang bermain dan kehidup.n sangat dalnai. Tapi kemudian,
tirnbullah kesadaran kita untuk mengejar ketinggalan dari negara
maju".
Lalu apa yang terjadi? Dinamika sosial yang paling sulit diatasi
adalah pertambahan penduduk yang sangat cepat. "Dulu, pulau Jawa
bisa dengan aman memberi makan penduduknya yang berjumlah 30
juta", kata Filino. "Tapi sekarang, di mana jumlah penduduk itu
sudah menjadi 63 juta, tanah terasa makin tandus dan sukar
ditanami". Lalu orang pun lebih senang jadi gelandangan di kota
besar hidup bagai tikus di celah Banjir Kanal Jakarta, ketimbang
jadi petani melarat tanpa memiliki sejengkal tanah.
Akibat meningkatnya penduduk Indonesia sebanyak 2,7% tiap tahun,
tumbul masalah rumit di bidang pendidikan. Panel-panel dalam
parneran Tekno 77 memperagakan angka-angka yang mencemaskan.
Sampai tahun 1999 anak usia sekolah kita yang tidak tertampung
di sekolah masih tetap jauh lebih besar dari yang bersekolah.
Panel lain menyoroti timpangnya tenaga peneliti yang ada dengan
kebutuhan sesungguhnya. Ini tentu saja tergantung pada anggaran
yang begitu minim. Bahkan di antara sesama ASEAN, Indonesialah
yang terkecil anggaran penelitiannya, yakni 0,10% dari GNP.
Setelah angka-angka yang membuat kening kita mengkerut itu kita
cerna, lalu bagaimana?
"Kita sadar akan ketinggalan kita dari negara-negara modern",
kata Filino pada Abdullah Mustappa dari TEMPO, "tapi kita tidak
pernah mempertanyakan ketinggalan terhadap apa?" Filino Harahap
yang memimpin Development Technolo Center (DTC) ITB,
menambahkan, "elite intelektuil kita terlalu mengejar pola
modern yang sangat konsumtif terhadap energi. Padahal kita tak
mungkin mengejar pola yang berlebihan seperti itu".
Ia tak lupa menyebut pula anjuran Carter agar rakyat AS
menghemat pemakaian energi yang makinhari terasa makin mahal dan
langka. Biasanya, di desa enerji diperoleh melalui tenaga air,
bermacam bahan bakar fosil dan terutama kayu bakar. Tapi Tekno
77 ITB mencoba menyodorkan alternatif. Bukan tenaga nuklir yang
mahal dan rawan pencemarannya. Bukan pula berpacu dengan
meninggikan ketergantungan kita pada hanya bahan bakar fosil
yang kian langka. Tapi memanfaatkan sumber enerji yang ada di
mana-mana, murah, bersih dan lestari. Yakni enerji surya, angin,
kotoran binatang dan limbah sisa) pertanian.
Dalam Tekno 77 DTC-ITB yang dipimpin Filino sejak berdiri di
tahun 1974 ini memperlihatkan kebolehan mereka. Sebuah unit
pemanas air enerji surya ditempatkan di samping gedung pameran.
Benda yang tampaknya sangat sederhana ini bertujuan untuk
memanfaatkan enerji-surya untuk menghasilkan air panas
temperatur rendah antara 60ø sampai 80ø C.
Pemanas air ini bisa dilengkapi dengan pompa getar (bisa juga
tidak), dikembangkan bersama oleh DTC, Departemen Mesin dan
Departemen Elektro. Sebuah kolektor yang luasnya 0,8 m x 1,05 m
terbuat dari tembaga engan permukaan selektif dengan tembaga
oksida, ditempatkan menghadap matahari. Di bawah kolektor ini
terletak bak penampungan air hangat, sementara air dingin
terletak lebih di bawah lagi. Lewat sebuah pompa getar yang
berkapasitas satu liter/menit dengan daya 20 Watt, air dipompa
ke atas. Setelah melalui kolektor di mana ia memperoleh
pemanasan, air panas ini kemudian turun ke dalam bak atau drum
yang telah disediakan. Siap untuk dipakai.
Alat yang berkapasitas rata-rata menaikkan temperatur 45ø C untuk
60 liter air/hari ini, harganya berkisar antara Rp 70 - 75 ribu.
"Angka ini bahkan masih bisa ditekan lagi", kata mahasiswa mesin
yang bertugas di pameran tersebut. Dr Filino sendiri katanya
sudah mempergunakan pemanas air ini di rumahnya.
Pameran Tekno 77 ITB juga memperagakan pengolahan dan
pemanfaatan gas bio: gas disimpan dalam sebuah ban, dialirkan ke
sebuah lampu atau kompor untuk kemudian dinyalakan Gas ini
diolah dari kotoran ternak yang tersedia. Dari data yang ada,
diperoleh Rambaran betapa banyaknya- kotoran yang tersedia.
Populasi ternak (termasuk manusia) kita pada tahun 1974 saja,
menghasilkan kotoran hampir 312 ribu ton per hari. Di tangan
Filino sekarang sudah siap seberkas petunjuk praktis pembuatan
peralatan yang berhubungan dengan gas bio ini. Dengan Rp 2.000
berkas setebal 40 halaman ini bisa diperolehsiapa saja.
Bukan hanya kotoran ternak saja yang dicoba dimanfaatkan oleh
Filino dan kawan-kawan. Dalam pameran ini, DTC-ITB juga
menampilkan Konverter Pirolitik. Alat itu dimaksudkan untuk
mengolah kembali limbah (sisa) pertanian yang selama ini kita
abaikan. Dengan konverter pirolitik itu ternyata limbah
pertanian ini bisa menghasilkan arang, minyak dan gas. Tanpa
pencemaran lingkungan.
Setiap tahun, tersedia limbah pertanian kita sebanyak 17 juta
ton lebih, seperti sekam padi, serbuk gergaji dan ampas tebu.
Pendeknya, untuk menanggulangi masalah krisis enerji, proses
pirolitik ini menarik juga untuk diperhatikan. Dan alatnya bis
dibikin di Bandung, tanpa perlu pesan dari Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini