Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Biarpun Tanpa Kejutan

Pameran teknologi ITB '77 di Bandung bertema hemat energi. Alat yang dipamerkan: unit pemanas air energi surya, pengolah gas bio dan pengolah kembali limbah pertanian. Konverter pirolitik.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI gerbang pintu masuk pameran, terentang sehelai kulit hewan. Di situ Rektor ITB menuliskan terimakasihnya kepada badan-badan yang telah membantu terlaksananya pameran. Kemudian pada panel pertama terlihat potret dunia berwarna ungu menyala. Potret ini diambil pada tanggal 10 Nopember 1976 dari ketinggian 35,8 ribu dengan kamera satelit ATS-III. Kemudian mulailah deretan panel yang bicara dengan data dan angka. Dari potret perempuan tua menganyam bambu, sampai grafik rumit dan warna-warni. Begitulah suasana pameran tekno 77 di kampus ITB jalan Ganesha, Bandung, pekan lalu. Tidak ada yang mengejutkan di sana, walaupun Rektor Prof. Iskandar Alisyahbana sebelumnya sesumbar bahwa ITB akan mengadakan "kejutan teknologi". Tapi tak berarti bahwa pameran ini tidak mengagumkan -- setidaknya dari segi sikap yang mendasarinya. "Kita ingat pada potret Indonesia pada 20 tahun lalu", kata Dr. ir. Filino Harahap, Ketua Tim Perumus Pameran "Waktu itu masih ada desa-desa dengan pemandangan indah dan hijau, anak-anak riang bermain dan kehidup.n sangat dalnai. Tapi kemudian, tirnbullah kesadaran kita untuk mengejar ketinggalan dari negara maju". Lalu apa yang terjadi? Dinamika sosial yang paling sulit diatasi adalah pertambahan penduduk yang sangat cepat. "Dulu, pulau Jawa bisa dengan aman memberi makan penduduknya yang berjumlah 30 juta", kata Filino. "Tapi sekarang, di mana jumlah penduduk itu sudah menjadi 63 juta, tanah terasa makin tandus dan sukar ditanami". Lalu orang pun lebih senang jadi gelandangan di kota besar hidup bagai tikus di celah Banjir Kanal Jakarta, ketimbang jadi petani melarat tanpa memiliki sejengkal tanah. Akibat meningkatnya penduduk Indonesia sebanyak 2,7% tiap tahun, tumbul masalah rumit di bidang pendidikan. Panel-panel dalam parneran Tekno 77 memperagakan angka-angka yang mencemaskan. Sampai tahun 1999 anak usia sekolah kita yang tidak tertampung di sekolah masih tetap jauh lebih besar dari yang bersekolah. Panel lain menyoroti timpangnya tenaga peneliti yang ada dengan kebutuhan sesungguhnya. Ini tentu saja tergantung pada anggaran yang begitu minim. Bahkan di antara sesama ASEAN, Indonesialah yang terkecil anggaran penelitiannya, yakni 0,10% dari GNP. Setelah angka-angka yang membuat kening kita mengkerut itu kita cerna, lalu bagaimana? "Kita sadar akan ketinggalan kita dari negara-negara modern", kata Filino pada Abdullah Mustappa dari TEMPO, "tapi kita tidak pernah mempertanyakan ketinggalan terhadap apa?" Filino Harahap yang memimpin Development Technolo Center (DTC) ITB, menambahkan, "elite intelektuil kita terlalu mengejar pola modern yang sangat konsumtif terhadap energi. Padahal kita tak mungkin mengejar pola yang berlebihan seperti itu". Ia tak lupa menyebut pula anjuran Carter agar rakyat AS menghemat pemakaian energi yang makinhari terasa makin mahal dan langka. Biasanya, di desa enerji diperoleh melalui tenaga air, bermacam bahan bakar fosil dan terutama kayu bakar. Tapi Tekno 77 ITB mencoba menyodorkan alternatif. Bukan tenaga nuklir yang mahal dan rawan pencemarannya. Bukan pula berpacu dengan meninggikan ketergantungan kita pada hanya bahan bakar fosil yang kian langka. Tapi memanfaatkan sumber enerji yang ada di mana-mana, murah, bersih dan lestari. Yakni enerji surya, angin, kotoran binatang dan limbah sisa) pertanian. Dalam Tekno 77 DTC-ITB yang dipimpin Filino sejak berdiri di tahun 1974 ini memperlihatkan kebolehan mereka. Sebuah unit pemanas air enerji surya ditempatkan di samping gedung pameran. Benda yang tampaknya sangat sederhana ini bertujuan untuk memanfaatkan enerji-surya untuk menghasilkan air panas temperatur rendah antara 60ø sampai 80ø C. Pemanas air ini bisa dilengkapi dengan pompa getar (bisa juga tidak), dikembangkan bersama oleh DTC, Departemen Mesin dan Departemen Elektro. Sebuah kolektor yang luasnya 0,8 m x 1,05 m terbuat dari tembaga engan permukaan selektif dengan tembaga oksida, ditempatkan menghadap matahari. Di bawah kolektor ini terletak bak penampungan air hangat, sementara air dingin terletak lebih di bawah lagi. Lewat sebuah pompa getar yang berkapasitas satu liter/menit dengan daya 20 Watt, air dipompa ke atas. Setelah melalui kolektor di mana ia memperoleh pemanasan, air panas ini kemudian turun ke dalam bak atau drum yang telah disediakan. Siap untuk dipakai. Alat yang berkapasitas rata-rata menaikkan temperatur 45ø C untuk 60 liter air/hari ini, harganya berkisar antara Rp 70 - 75 ribu. "Angka ini bahkan masih bisa ditekan lagi", kata mahasiswa mesin yang bertugas di pameran tersebut. Dr Filino sendiri katanya sudah mempergunakan pemanas air ini di rumahnya. Pameran Tekno 77 ITB juga memperagakan pengolahan dan pemanfaatan gas bio: gas disimpan dalam sebuah ban, dialirkan ke sebuah lampu atau kompor untuk kemudian dinyalakan Gas ini diolah dari kotoran ternak yang tersedia. Dari data yang ada, diperoleh Rambaran betapa banyaknya- kotoran yang tersedia. Populasi ternak (termasuk manusia) kita pada tahun 1974 saja, menghasilkan kotoran hampir 312 ribu ton per hari. Di tangan Filino sekarang sudah siap seberkas petunjuk praktis pembuatan peralatan yang berhubungan dengan gas bio ini. Dengan Rp 2.000 berkas setebal 40 halaman ini bisa diperolehsiapa saja. Bukan hanya kotoran ternak saja yang dicoba dimanfaatkan oleh Filino dan kawan-kawan. Dalam pameran ini, DTC-ITB juga menampilkan Konverter Pirolitik. Alat itu dimaksudkan untuk mengolah kembali limbah (sisa) pertanian yang selama ini kita abaikan. Dengan konverter pirolitik itu ternyata limbah pertanian ini bisa menghasilkan arang, minyak dan gas. Tanpa pencemaran lingkungan. Setiap tahun, tersedia limbah pertanian kita sebanyak 17 juta ton lebih, seperti sekam padi, serbuk gergaji dan ampas tebu. Pendeknya, untuk menanggulangi masalah krisis enerji, proses pirolitik ini menarik juga untuk diperhatikan. Dan alatnya bis dibikin di Bandung, tanpa perlu pesan dari Australia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus