Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Terlupakan tapi bertimah

Desa pekajang, satu diantara 147 desa di kab. riau tidak terjangkau bantuan dan pembinaan pemerintah, karena terpencil. usaha patungan indonesia-belanda akan mengeksploitasi timah kekayaan desa tersebut.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara 147 desa di Kabupaten Kepulauan Riau, sebagian besar masih sulit dijangkau. Karena terpencil, maupun karena langkanya hubungan. Seperti desa Pulau Laut di Laut Cina Selatan, atau desa Pekajang yang terkucil di Selatan. Tentu saja ini membuat repot para pejabat Pemerintah Daerah untuk menjamah dan membenahnya. Tak usahkan langsung bupati atau para Kepala Dinas Kabupaten, malahan camatnya sendiri hampir-hampir tak pernah sampai ke sana. Paling banyak hanya menyadap apa yang dilaporkan kepala desanya. Sehingga tak heran kalau bagaimana persisnya keadaan desa itu, banyak pejabat yang tak tahu menahu. Seperti halnya desa Pekajang yang belakangan agal menarik perhatian. Desa ini cuma terdiri dari 7 buah pulau kecil-kecil dengan penduduk tak lebih dari 174 nyawa. Terletak antara Pulau Singkep dan Bangka di selat Karimata. Entah bagaimana awal mulanya sampai desa ini masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Sebab melihat letaknya, jauh lebih baik dan mudah kalau masuk Kabupaten Bangka atau Belitung, yang bisa dicapai sekitar 3 jam perjalanan perahu motor. Sedang dengan induknya di Kepulauan Riau yaitu Kecamatan Lingga, diperlukan waktu hampir 10 jam. Bupati Kepulauan Riau, Firman Eddy SH, yang sempat juga menjejakkan kakinya ke desa itu bulan April 77 lalu, pun tak bisa menuturkan duduk soalnya. Strukturnya, "sudah sejak zaman Belanda dulu" jelas Bupati Firman. Namun yang pasti, di zaman kemerdekaan sekarang ini, kehadiran sang Bupati di desa itu cukup mengagetkan. Bukan saja buat penduduk desa itu, tapi buat Bupati sendiri. Sebab ternyata, desa Pekajang dengan setumpuk penduduk di pulau Cibia itu, "hampir-hampir luput dari pembinaan tangan aparatur pemerintah dan program pembangunan" begitu keluh Bupati Firman Eddy kepada TEMPO. Terperangah Contohnya soal Bantuan Desa saja. Sejak proyek itu berangka Rp 100 ribu sampai Rp 350 ribu tiap tahun, ternyata tak pernah secara langsung dinikmati masyarakat desanya. Satu-satunya bangunan yang ditemui Bupati di sana, cuma sebuah balai desa. Itupun hasil kerja masyarakat setempat dari pungutan produksi kelapa. Jadi ke mana larinya Inpres Bantuan desa yang setiap tahun dikucurkan sejak tahun anggaran 70/71 itu? Camat Lingga, Adam Jailani, yang membawahi desa itu, sempat juga terperangah. Meski bisa berkelit. "Dijadikan proyek gabungan" begitu hujjah Camat Adam. Alasannya, konon mengingat bantuan itu tak seberapa, ditambah kermampuan swadaya masyarakatnya pun tak bisa diharapkan banyak, maka dirasa sulitlah Inpres Desa itu mau diapaapakan di desa itu. Sehingga dengan berkongsi dengan desa-desa lain di Lingga, uang itu dimanfaatkan untuk beberapa proyek gabungan. Seperti peternakan sapi, proyek listrik desa, dan perahu motor. "Tapi hak mereka tetap ada dan keuntungan dibagi" kata Adam lagi. Buktinya, sekarang ada 2 ekor sapi milik Desa Pekajang yang dipelihara di Daik. Bupati Firman Eddy tampak kecewa. Soalnya, setelah langsung melihat dan mendengar keluhan masyarakat Pekajang itu, sang Bupati faham kalau selama ini oleh para bawahannya, termasuk Camat Adam, "tidak dilaporkan keadaan yang sebenarnya tentang desa itu". Maka bupati segera memerintahkan agar Bantuan Desa tahun 76/77 dan 77/78 diujudkan langsung buat kepentingan desa dengan pilihan sebuah perahu motor dan sebuah balai desa. Sasarannya: perahu motor itu diharapkan bisa menjadi sarana hubungan utama untuk mencapai daerah-daerah terdekat, seperti Bangka. Hingga hasil-hasil setempat, seperti kelapa, ikan, sarang burung dan hasil laut lainnya bisa dipasarkan. "Tahun ini akan segera diselesaikan" begitu janji Bupati. BEMI Balai desa yang lama segera akan dipermak untuk dijadikan SD. Selama ini desa itu tak pernah mengenal sekolah, apalagi, balai pengobatan dan lain-lain fasilitas kesejahteraan masyarakat. Sampai-sampai dr. Nadiar yang menyertai rombongan bupati kewalahan memberi bantuan kesehatan di sana, terutama jenis penyakit kulit yang konon menggerayangi hampir semua warga terpencil itu. Tapi niat Bupati Firman membenahi desa itu, terang tak luput dari bertiupnya angin segar lainnya yang lebih memungkinkan memacu desa itu lebih hidup. Ini tak lain dengan ditemukannya cadangan biji timah di perairan desa itu dalam jumlah yang cukup besar dan siap diolah. Sebuah usaha patungan antara Indonesia dan Belanda yaitu Belliton Maschappaj (BEMI) Juli 77 ini mulai memancangkan kakinya di desa itu. oengan berpangkalan di pulau Cibia, usaha penambangan timah lepas pantai ini akan menggunakan kapal keruk yang termoderen dan terbesar di Indonesia. Ini berarti, seperti harapan Bupati, penduduk desa itu akan segera bertambah. Segala fasilitas yang dibangun di desa itu, seperti air minum, listrik dll, termasuk sekolah dan rumah sakit akan ikut dinikmati para penduduk. "Pihak BEMI sudah menjanjikan" ungkap bupati lega. Artinya, di hari-hari mendatang, desa itu tak bakal terus terpencil dan dilupakan. Dan tentu akan semakin sering pejabat pemerintah berkunjung ke mari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus