DI antara 147 desa di Kabupaten Kepulauan Riau, sebagian besar
masih sulit dijangkau. Karena terpencil, maupun karena langkanya
hubungan. Seperti desa Pulau Laut di Laut Cina Selatan, atau
desa Pekajang yang terkucil di Selatan. Tentu saja ini membuat
repot para pejabat Pemerintah Daerah untuk menjamah dan
membenahnya. Tak usahkan langsung bupati atau para Kepala Dinas
Kabupaten, malahan camatnya sendiri hampir-hampir tak pernah
sampai ke sana. Paling banyak hanya menyadap apa yang dilaporkan
kepala desanya. Sehingga tak heran kalau bagaimana persisnya
keadaan desa itu, banyak pejabat yang tak tahu menahu.
Seperti halnya desa Pekajang yang belakangan agal menarik
perhatian. Desa ini cuma terdiri dari 7 buah pulau kecil-kecil
dengan penduduk tak lebih dari 174 nyawa. Terletak antara Pulau
Singkep dan Bangka di selat Karimata. Entah bagaimana awal
mulanya sampai desa ini masuk wilayah Kabupaten Kepulauan Riau.
Sebab melihat letaknya, jauh lebih baik dan mudah kalau masuk
Kabupaten Bangka atau Belitung, yang bisa dicapai sekitar 3 jam
perjalanan perahu motor. Sedang dengan induknya di Kepulauan
Riau yaitu Kecamatan Lingga, diperlukan waktu hampir 10 jam.
Bupati Kepulauan Riau, Firman Eddy SH, yang sempat juga
menjejakkan kakinya ke desa itu bulan April 77 lalu, pun tak
bisa menuturkan duduk soalnya. Strukturnya, "sudah sejak zaman
Belanda dulu" jelas Bupati Firman. Namun yang pasti, di zaman
kemerdekaan sekarang ini, kehadiran sang Bupati di desa itu
cukup mengagetkan. Bukan saja buat penduduk desa itu, tapi buat
Bupati sendiri. Sebab ternyata, desa Pekajang dengan setumpuk
penduduk di pulau Cibia itu, "hampir-hampir luput dari pembinaan
tangan aparatur pemerintah dan program pembangunan" begitu keluh
Bupati Firman Eddy kepada TEMPO.
Terperangah
Contohnya soal Bantuan Desa saja. Sejak proyek itu berangka Rp
100 ribu sampai Rp 350 ribu tiap tahun, ternyata tak pernah
secara langsung dinikmati masyarakat desanya. Satu-satunya
bangunan yang ditemui Bupati di sana, cuma sebuah balai desa.
Itupun hasil kerja masyarakat setempat dari pungutan produksi
kelapa. Jadi ke mana larinya Inpres Bantuan desa yang setiap
tahun dikucurkan sejak tahun anggaran 70/71 itu?
Camat Lingga, Adam Jailani, yang membawahi desa itu, sempat juga
terperangah. Meski bisa berkelit. "Dijadikan proyek gabungan"
begitu hujjah Camat Adam. Alasannya, konon mengingat bantuan itu
tak seberapa, ditambah kermampuan swadaya masyarakatnya pun tak
bisa diharapkan banyak, maka dirasa sulitlah Inpres Desa itu mau
diapaapakan di desa itu. Sehingga dengan berkongsi dengan
desa-desa lain di Lingga, uang itu dimanfaatkan untuk beberapa
proyek gabungan. Seperti peternakan sapi, proyek listrik desa,
dan perahu motor. "Tapi hak mereka tetap ada dan keuntungan
dibagi" kata Adam lagi. Buktinya, sekarang ada 2 ekor sapi milik
Desa Pekajang yang dipelihara di Daik.
Bupati Firman Eddy tampak kecewa. Soalnya, setelah langsung
melihat dan mendengar keluhan masyarakat Pekajang itu, sang
Bupati faham kalau selama ini oleh para bawahannya, termasuk
Camat Adam, "tidak dilaporkan keadaan yang sebenarnya tentang
desa itu". Maka bupati segera memerintahkan agar Bantuan Desa
tahun 76/77 dan 77/78 diujudkan langsung buat kepentingan desa
dengan pilihan sebuah perahu motor dan sebuah balai desa.
Sasarannya: perahu motor itu diharapkan bisa menjadi sarana
hubungan utama untuk mencapai daerah-daerah terdekat, seperti
Bangka. Hingga hasil-hasil setempat, seperti kelapa, ikan,
sarang burung dan hasil laut lainnya bisa dipasarkan. "Tahun ini
akan segera diselesaikan" begitu janji Bupati.
BEMI
Balai desa yang lama segera akan dipermak untuk dijadikan SD.
Selama ini desa itu tak pernah mengenal sekolah, apalagi, balai
pengobatan dan lain-lain fasilitas kesejahteraan masyarakat.
Sampai-sampai dr. Nadiar yang menyertai rombongan bupati
kewalahan memberi bantuan kesehatan di sana, terutama jenis
penyakit kulit yang konon menggerayangi hampir semua warga
terpencil itu.
Tapi niat Bupati Firman membenahi desa itu, terang tak luput
dari bertiupnya angin segar lainnya yang lebih memungkinkan
memacu desa itu lebih hidup. Ini tak lain dengan ditemukannya
cadangan biji timah di perairan desa itu dalam jumlah yang cukup
besar dan siap diolah. Sebuah usaha patungan antara Indonesia
dan Belanda yaitu Belliton Maschappaj (BEMI) Juli 77 ini mulai
memancangkan kakinya di desa itu. oengan berpangkalan di pulau
Cibia, usaha penambangan timah lepas pantai ini akan menggunakan
kapal keruk yang termoderen dan terbesar di Indonesia.
Ini berarti, seperti harapan Bupati, penduduk desa itu akan
segera bertambah. Segala fasilitas yang dibangun di desa itu,
seperti air minum, listrik dll, termasuk sekolah dan rumah sakit
akan ikut dinikmati para penduduk. "Pihak BEMI sudah
menjanjikan" ungkap bupati lega. Artinya, di hari-hari
mendatang, desa itu tak bakal terus terpencil dan dilupakan. Dan
tentu akan semakin sering pejabat pemerintah berkunjung ke mari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini