SORE itu hujan masih sempat-sempatnya menyiram Jakarta. Tanggal
21 Mei padahal. Di Teater Terbuka TIM harga karcis telah ditekan
jadi Rp 750 untuk kelas utama. Toh pengunjung tak banyak.
Padahal biasanya penampilan grup musik selalu menyibukkan para
remaja. Mungkin karena yang ditampilkan adalah kelompok
tuna-netra.
Anda masih ingat tentu kita pernah membicarakan kelompok Panbers
repot menyelenggarakan festival band tunanetra di Senayan.
Memang ada semacam rasa kemanusiaan terselip bila orang
menghadiri kerepotan macam ini. Lain halnya kalau kita
mendengarkan seorang tuna-netra seperti Ray Charles-tentunya
soal ketunanetraan sudah tidak penting, karena musiknya memang
hebat. Jadi mengapa penonton di TIM berkurang? Apa karena mereka
menyangka hanya akan bersedih-sedih, berhubung diduga kelompok
tuna-netra kita lebih menonjolkan sedihnya tinimbang musiknya?
Seorang wanita dituntun ke depan untuk meraih mikrofon. Usianya
25 tahun, memakai kaca mata bening. Ia menyanyikan lagu
Kehancuran. Menjelang refrain suaranya bergetar hebat. Mungkin
terlalu pahit untuk membuka luka lama. Farida Sangun, nama
wanita ini, baru saja ditinggal pacarnya seorang sarjana hukum.
Ia pernah menjadi juara I lomba menyanyi pop tuna-netra di
Bandung. Tahun 1975 ia tercatat juga sebagai finalis penyanyi
pop tingkat Jakarta --tapi kemudian ia digasak oleh Margie dan
Melky.
Panbes
Malam itu juga tampil penyanyi Rachman dengan baju merah dan
celana krem. Tidak lupa sebuah kaca mata. Ia buta karena
cacingan, sejak usia menjelang 7 tahun. Tak suka jadi tukang
pijat, lantaran badannya terlalu kurus, ia berniat menjadi
penyanyi.
Lewat band pengiring bernama Tuna Netra's asuhan Panbers, juga
keluar penyanyi Poerwanto yang tinggi semampai membawa lagu
Habis Manis Sepah Dibuang. Para penyanyi ini memang amat
menonjol potensinya dalam menjiwai lagu. Mereka bisa begitu
perasa. Lagu dapat peluang besar pada mereka, untuk jadi saluran
berdialog. Segi yang unggul ini pantas diperhatikan
penyanyi-penyanyi lain. Meskipun kwa teknik kadang kala memang
perlu ditingkatkan.
Dalam puncak acara, di panggung terlihat layar menggambarkan
suasana pertempuran. Kemudian kelompok Panbers yang kini lebih
terkenal sebagai penhuni studio itu, keluar dengan lagu Let Us
Dance Together. Berikutnya empat bersaudara ini mencoba
mengungkapkan masa gemilang dengan lagu Hidup Terkekang -- tapi
saat itu pula hujan mulai rintik. Para pengunjung terpaksa
undur. Beberapa anak-anak baru menghambur kembali tatkala Benny
turun membagikan segenggam foto kelompoknya.
Terasa sesuatu loyo dalam diri Panbers kini. "Yah itu soal
selera saja", jawab mereka. "Nggak bisa dong penonton kita ajak
histeris, meskipun kita sudah nyanyi lagu rok. Anda harus ingat
spontanitas penonton itu sukar didapat". Tapi Panbers sudah
berusia 7 tahun kini. Sambil membawa serta saudara-saudara
tuna-netra, mungkin kelompok ini perlu ingat bahwa mereka tidak
hanya perlu bertahan, tetapi juga maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini