Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hidup terkekang, hujanpun rintik hidup terkekang. hujanpun rintik

Pertunjukan musik populer di teater terbuka tim oleh panbers tanggal 21 mei. pemusiknya tuna netra. para penyanyi berpotensi dan menjiwai lagu, penonton kurang apresiasi.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu hujan masih sempat-sempatnya menyiram Jakarta. Tanggal 21 Mei padahal. Di Teater Terbuka TIM harga karcis telah ditekan jadi Rp 750 untuk kelas utama. Toh pengunjung tak banyak. Padahal biasanya penampilan grup musik selalu menyibukkan para remaja. Mungkin karena yang ditampilkan adalah kelompok tuna-netra. Anda masih ingat tentu kita pernah membicarakan kelompok Panbers repot menyelenggarakan festival band tunanetra di Senayan. Memang ada semacam rasa kemanusiaan terselip bila orang menghadiri kerepotan macam ini. Lain halnya kalau kita mendengarkan seorang tuna-netra seperti Ray Charles-tentunya soal ketunanetraan sudah tidak penting, karena musiknya memang hebat. Jadi mengapa penonton di TIM berkurang? Apa karena mereka menyangka hanya akan bersedih-sedih, berhubung diduga kelompok tuna-netra kita lebih menonjolkan sedihnya tinimbang musiknya? Seorang wanita dituntun ke depan untuk meraih mikrofon. Usianya 25 tahun, memakai kaca mata bening. Ia menyanyikan lagu Kehancuran. Menjelang refrain suaranya bergetar hebat. Mungkin terlalu pahit untuk membuka luka lama. Farida Sangun, nama wanita ini, baru saja ditinggal pacarnya seorang sarjana hukum. Ia pernah menjadi juara I lomba menyanyi pop tuna-netra di Bandung. Tahun 1975 ia tercatat juga sebagai finalis penyanyi pop tingkat Jakarta --tapi kemudian ia digasak oleh Margie dan Melky. Panbes Malam itu juga tampil penyanyi Rachman dengan baju merah dan celana krem. Tidak lupa sebuah kaca mata. Ia buta karena cacingan, sejak usia menjelang 7 tahun. Tak suka jadi tukang pijat, lantaran badannya terlalu kurus, ia berniat menjadi penyanyi. Lewat band pengiring bernama Tuna Netra's asuhan Panbers, juga keluar penyanyi Poerwanto yang tinggi semampai membawa lagu Habis Manis Sepah Dibuang. Para penyanyi ini memang amat menonjol potensinya dalam menjiwai lagu. Mereka bisa begitu perasa. Lagu dapat peluang besar pada mereka, untuk jadi saluran berdialog. Segi yang unggul ini pantas diperhatikan penyanyi-penyanyi lain. Meskipun kwa teknik kadang kala memang perlu ditingkatkan. Dalam puncak acara, di panggung terlihat layar menggambarkan suasana pertempuran. Kemudian kelompok Panbers yang kini lebih terkenal sebagai penhuni studio itu, keluar dengan lagu Let Us Dance Together. Berikutnya empat bersaudara ini mencoba mengungkapkan masa gemilang dengan lagu Hidup Terkekang -- tapi saat itu pula hujan mulai rintik. Para pengunjung terpaksa undur. Beberapa anak-anak baru menghambur kembali tatkala Benny turun membagikan segenggam foto kelompoknya. Terasa sesuatu loyo dalam diri Panbers kini. "Yah itu soal selera saja", jawab mereka. "Nggak bisa dong penonton kita ajak histeris, meskipun kita sudah nyanyi lagu rok. Anda harus ingat spontanitas penonton itu sukar didapat". Tapi Panbers sudah berusia 7 tahun kini. Sambil membawa serta saudara-saudara tuna-netra, mungkin kelompok ini perlu ingat bahwa mereka tidak hanya perlu bertahan, tetapi juga maju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus