Seperti ada kesepakatan, beberapa gunung api di sepanjang Pasifik meletus. Bisakah disusun rumus umum yang bisa meramalkan kapan gunung akan meledak? CENDAWAN raksasa setinggi 30.000 meter muncul menjulang di atas puncak Gunung Pinatubo, di antara suara-suara letusan yang menggeledek. Hitam dan menakutkan. Pinatubo, 90 km di utara Manila, pekan silam marah besar. Bau, kerikil, debu disemburkan, dan lahar panas pun dimuntahkan. Sekitar 50 ribu penduduk yang tinggal di sekitarnya mengungsi. Tapi, belasan jiwa telah telanjur jadi tumbal, dan puluhan lainnya luka-luka. Padahal, Pinatubo telah tertidur pulas selama 611 tahun hingga dia dianggap telah mati. Dua pekan sebelum Pinatubo murka, Gunung Unzen di Nagasaki, Jepang, juga mengamuk. Tatkala kawahnya memanas dan mengepulkan asap tebal, dua orang ahli gunung berapi Amerika dan Prancis, disertai 14 orang wartawan TV, mendaki gunung setinggi 1.360 meter itu, untuk menyaksikan aktivitasnya dari dekat. Sungguh malang, mulut Unzen mulai memuntahkan lahar dan awan panas, 4 Juni lalu, ketika rombongan itu masih ada di puncaknya. Mereka tewas. Sekitar 40 orang yang tinggal di kaki Unzen juga menjadi korban. Unzen telah 200 tahun tidur tenang. Seperti ada kesepakatan saja, sebelum Unzen menggeliat, Gunung Gede di Jawa Barat telah menunjukkan gejala keaktifan. Pos pengamatan di daerah Cipanas mencatat gerak seismogram yang lebih kencang. Artinya, "Ada lava yang sedang bergerak naik, dari ruang magma ke kepundan," kata Prof. J.A. Katili, ahli gunung berapi kawakan yang pernah menjadi Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral. Pengamatan terhadap Gunung Gede pun dilakukan ekstrasaksama. Penduduk yang bermukim di dekat daerah berbahaya diberi tahu agar sewaktu-waktu cepat mengungsi. Pendakian untuk sementara disetop. Namun, belakangan, napas Gunung Gede normal sehingga pendakian akan diizinkan mulai akhir Juni ini. Gunung Gede, Pinatubo, dan Unzen memang berjauhan letaknya. Namun, mereka sering disebut sebagai anggota Pacific Ring of Fire. Deretan gunung ini membentuk busur sepanjang 35 ribu km, dari Indonesia, Filipina, Jepang, Alaska, terus ke selatan menuju California dan pantai barat Amerika Selatan. Pacific Ring of Fire itu berada pada satu zone geologis, yang proses pembentukan gunungnya belum berhenti. Daerah ini punya sumber magma yang besar dan meletup-letup. Sewaktu-waktu, magma bisa meletup dan menciptakan gunung api baru, atau muncul lewat gunung api yang sudah ada. Prof. Katili menolak adanya kemungkinan satu kegiatan gunung api mempengaruhi gunung api yang lain. "Aktivitas sebuah gunung api itu ditentukan oleh faktor lokal," ujarnya. Di antara faktor lokal tadi adalah sumber magma setempat, komposisi dan jenis batuan gunung, serta sumbatan di mulut gunung itu. Tak ada pola yang khas, kata Katili, dalam urutan letusan gunung. Di Indonesia, misalnya, Gunung Galunggung meletus 1982/83, Colo (di Sulawesi Tengah) 1983, Sangeang Api di Flores 1985, Anak Ranakah (Flores) 1987, Banda Api (Maluku) 1988, Kei Besi (Maluku) 1988, dan Kelut (Jawa Timur) 1990. "Apa ini ada polanya?" ujar Katili. Di antara gunung yang bertetangga dekat pun tak terbukti ada saling pengaruh. Masing-masing punya karakter dan temperamen sendiri. "Maka, kalau Merapi aktif, Gunung Merbabu yang ada di sebelahnya tak perlu ikut bergolak," tutur Katili. Di Indonesia terdaftar ada 400 buah gunung api, tapi hanya 129 buah yang dinyatakan aktif. Di antara mereka, menurut Barry Voight, ahli vulkanologi dari Universitas Pennsylvania, Amerika, Merapi di utara Yogyakarta yang paling istimewa. "Kalau harus dipilih gunung berapi yang paling berbahaya di dunia, Merapi adalah calon kuat," ujarnya, seperti dikutip majalah Discover edisi Juni 1991 ini. Voight sempat mendaki ke puncak Merapi tahun lalu. Setelah melihat kondisi Merapi, dia yakin bahwa gunung itu sewaktu-waktu bisa meledak. "Sayang, para geolog baru bisa meramalkan datangnya letusan beberapa jam sebelumnya," ujarnya. Idealnya, ledakan di puncak gunung itu bisa diramalkan beberapa pekan sebelumnya. Barry Voight menawarkan teknik ramalannya, yang didasari teori mekanika. Voight melihat batuan gunung sebagai material masif, semacam baja atau beton, yang mengalami tegangan ketika perut gunung mulai aktif. Tegangan itu, menurut Voight, punya akselerasi yang terukur, dan bisa diformulasikan dalam rumus matematika sederhana, yang berlaku umum untuk semua jenis gunung. Dengan rumus itu, datangnya puncak tegangan (letusan) bisa dicari. Namun, Katili menolak teori Voight. "Saya tak ingin mengatakannya omong kosong. Tapi teori itu terlalu menyederhanakan soal," ujarnya. Vulkanolog kawakan itu menganggap variasi satu gunung dengan gunung yang lain terlalu besar. "Jadi, setiap gunung harus dilihat sebagai satu kasus," ujarnya. Bahwa Merapi berbahaya, Katili setuju. Maka, di Merapi kini dipasang alat-alat canggih, termasuk kamera TV yang mengamati kepundan, serta Electronic Distant Measurement (EDM), perkakas canggih yang meneliti gerak batuan dengan sinar laser. "Merapi adalah gunung yang paling dijaga di dunia," kata Katili. Putut Trihusodo dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini