Jepang membangun lab antigravitasi yang paling canggih di dunia. Lebih murah daripada harus terbang ke angkasa luar. TIDAK ada modal dibiarkan terbuang percuma di Jepang. Bekas galian tambang batu bara di Sunagawa, kota 60 km di utara Sapporo, Jepang, pun sejak Mei lalu telah diubah menjadi lorong antigravitasi. Mitsui Coal Mining Co. Ltd. terpaksa menutup usaha penambangan itu pada 1987. Deposit batu baranya masih bertumpuk. Tapi, ongkos penggalian sudah tak dapat ditutup dengan harga jualnya, setelah batu bara tak mampu bersaing dengan diesel dan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Namun, tambang sedalam 710 meter itu tak dibiarkan lama menganggur. New Energy and Industrial Technology (NEDO), badan yang dibentuk Departemen Perdagangan Luar Negeri dan Industri (MITI), mengambil alihnya pada 1989, dan dana Rp 68 milyar ditanamkan. Lalu tempat itu kini berganti nama menjadi Jamic (Japan Microgravity Center). Di atas lorong tambang itu telah dibangun menara drop shaft, berdampingan dengan sebuah bangunan megah, berlantai empat. Lift, yang dulunya dipakai untuk lalu lintas naik turun batu bara dan buruhnya, telah dibongkar. Lorong vertikal selebar 4,8 meter itu kini punya rel di sepanjang kedua sisinya. Eksperimen di lab Jamic itu bertumpu pada kapsul aluminium, mirip peluru pistol, yang berukuran panjang 7,8 m, bergaris tengah 1,8 m, dan beratnya lima ton. Di bagian atasnya terdapat thruster module, berisi udara mampat, yang berfungsi seperti roket. Di dalam kapsul itu terdapat kapsul lain yang berukuran 90 X 90 X 140 cm. Kapsul kecil itu disediakan untuk mengangkut material percobaan sampai satu ton. Pada saat hendak dioperasikan, kapsul itu diangkat ke menara drop shaft, lalu dilepas. Pada saat yang sama, thruster module menyala, udara menyembur keras, dan menghasilkan tenaga dorong. Maka, kapsul canggih ini akan meluncur deras, semakin lama semakin kencang, hingga mencapai kecepatan maksimun 360 km per jam, pada kedalaman 490 m. Lewat dari angka itu, sistem rem hidraulis bekerja. Alhasil, kapsul mengalami perlambatan, dan bisa berhenti tanpa guncangan di ujung lorong. Kalaupun sistem perlambatan itu gagal, masih ada rem darurat, berupa bola-bola polipropilen sebesar kepalan tangan, yang ditumpuk 20 m tingginya. Alhasil, kapsul tak perlu jatuh terempas keras. Uniknya, selama dalam perjalanan, kapsul itu akan mengalami kondisi nyaris tanpa bobot selama sepuluh detik. Gravitasi masih bekerja, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil- hanya 0,0001 g, mirip keadaan pada pesawat ulang-alik yang mengorbit 300 km di atas permukaan bumi. Kondisi miskin gravitasi itu kini jadi penting karena banyak pekerjaan besar yang dianggap hanya mungkin dilakukan di ruang miskin gaya gravitasi. Di antaranya meracik adonan logam, mencampur bahan superkonduktor, semikonduktor, kristal-kristal, atau percobaan bioteknologi. Dalam soal rekayasa logam baru itu bisa dicontohkan pencampuran aluminium dan litium. Pada kondisi alamiah, kedua logam itu tak mau berbaur secara merata, homogen. Dalam kondisi tanpa bobot, kedua bahan itu diharapkan bisa bercampur secara merata. Cara semacam ini, konon, dapat memberikan logam yang liat, tahan benturan, tidak mudah retak, tapi ringan. Dengan cara yang sama, proses dalam kapsul antigravitasi itu bisa menghasilkan superkonduktor (material penghantar panas atau listrik), semikonduktor (chip), dan kristal bermutu jempolan. Proses pemisahan material-material di tingkat sel (hidup), diharapkan pula bisa dibantu kondisi miskin gravitasi (microgravity) itu. Ada jalan lain untuk mendapatkan suasana microgravity. Yang paling mudah ialah terbang ke luar angkasa. Kondisi miskin gravitasi yang diperoleh di situ bisa berhari-hari. Tapi, biaya program semacam itu mahal, dan daya angkut pesawat semacam Columbia itu kecil. Membuat sumur antigravitasi memang menjadi pilihan yang jauh lebih murah. Amerika dan Jerman memang lebih dahulu memiliki fasilitas semacam itu, tapi lebih kecil. Stasiun microgravity milik NASA, misalnya, telah dibangun di Ohio, dalamnya tak lebih dari 150 meter, dan memberikan kondisi miskin gravitasi hanya lima detik. Dan beban yang bisa dibawa kapsulnya tak boleh lebih dari 500 kg. Milik Jerman, di Bremen, lebih kecil, kemampuannya 4,5 detik, dan daya angkut kapsulnya hanya 200 kg. Lab microgravity di Sunagawa ini dibuka untuk umum. Siapa pun boleh bermain-main dengan kapsul canggih itu asalkan membayar. Tarifnya cukup mahal, sekitar Rp 6,5 juta untuk sekali menjatuhkan. "Ini jauh lebih murah. Kalau Anda mau menyewa Columbia atau Discovery, ongkosnya bisa bermilyar yen sekali terbang," kata seorang staf NEDO, bergurau. Kondisi antigravitasi di dalam lorong bekas galian tambang itu, menurut staf NEDO itu, tak lahir dari peristiwa yang rumit. Ketika kapsul meluncur di sepanjang rel, dia dikenai percepatan gravitasi yang arahnya ke titik pusat bumi. Setelah dikalikan massa kapsul, menurut rumus fisika sederhana, akan diperoleh gaya gravitasi. Pengereman memberikan efek perlambatan. Jika perlambatan itu nilainya sebanding dengan gravitasi, resultannya nol. Pada kondisi itu, kapsul bergerak ke bawah dengan kecepatan konstan, hampir tanpa percepatan. Kondisi itu dirasakan sebagai keadaan microgravity. Selama perjalanan, tugas-tugas mengolah material percobaan itu bisa dijalankan dari ruang kontrol. Semua serba otomatis. Bahkan. ada kamera khusus yang memonitor ruang di dalam kapsul itu. Hubungan antara ruang kontrol dan kapsul dijalin lewat serat-serat optis. Meski sudah ada lab microgravity di Sunagawa, kini Jepang sedang membangun lab serupa tak jauh dari Nagoya, dengan membuat sumur vertikal sedalam 150 meter. Kelak sumur ini akan memberi kondisi tanpa gravitasi selama 4,5 detik. Dana yang disiapkan sekitar Rp 18 milyar. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini