DI zaman Ketua Mao Tse-tung melancarkan Lompatan Besar Ke Depan,
dari RRC sering terdengar berbagai angka yang mengesankan.
Tujuannya ialah menunjukkan betapa program pemerintah itu sukses
sekali. Ternyata banyak data itu sengaja digelembungkan untuk
keperluan propaganda politik, dan Lompatan Besar itu akhirnya
gagal.
Walaupun tidak dipolitikkan, statistik bisa juga membingungkan.
Suatu negara ASEAN konon pernah merasa produksi berasnya
meningkat, berdasarkan suatu sensus pertaniannya. Tapi sesudah
pemerintah menyiarkan angka sensus itu, harga beras justru
meningkat, sedang kemudian impor beras bahkan dilakukan secara
besar-besaran.
Mungkin waktu itu, menurut Ippei Sugiura, ahli statistik Jepang,
agak kelebihan orang menaksir (over-estimate) kenaikan produksi
beras. Dan mungkin pula produksi beras benar meningkat, tapi
produksinya per kapita tidak naik. Sedang angka penduduk waktu
itu -- yang diketahui meningkat -- tidak jelas berapa
sebenarnya.
Prof. Sugiura dari Universitas Wakayama yang menulis untuk
berkala bulanan Look Japan, Tokyo, nomor bulan ini tidak
menyebut spesifik negara ASEAN itu. Ia sekedar hendak menyatakan
betapa pentingnya infrastruktur statistik dibina. Investasi
negara berkembang umumnya untuk infrastruktur statistik, seperti
pusat komputer yang bisa cepat berhitung dan mengolah data,
belum memadai.
Statistik kini dianggap "alat" untuk perencanaan. Suatu negara
berkembang seperti Indonesia yang melaksanakan pembangunan
ekonominya dianggap sudah berjalan di atas rel yang tepat. Namun
tanpa sistem statistik ia akan sukar mengambil keputusan tepat
mengenai bagaimana mengolah kekayaan alam dan melaksanakan
program pembangunan secara efisien.
Mempelajari statistik, walaupun ilmu dasarnya, suatu keharusan
di banyak fakultas perguruan tinggi. Tapi menjadi ahli
statistik, masih sedikit orang Indonesia yang tertarik. Padahal
permintaan pasaran tenaga kerja akan tenaga statistik sangat
besar.
Statistik kini makin menjadi persoalan internasional. Tanpa
membaca statistik, misalnya, Bank Dunia tak akan memberikan
pinjaman. Dengan bantuan stastik, sesuatu negara baru bisa
menetapkan prioritas proyeknya atau menyatakan Repelitanya
berhasil.
Kerjasama antar-negara sudah dimulai untuk pembinaan statistik.
Antara lain di Tokyo (5-7 Agustus) berlangsung pertemuan para
pejabat statistik ASEAN dan Jepang. Seminar serupa direncanakan
berlangsung di Indonesia setahun lagi.
Jepang tergolong paling maju di dunia dalam bidang statistik.
Dari seminar Tokyo itu, H.M. Abdul-madjid, Kepala BPS (Biro
Pusat Statistik) Indonesia terutama tertarik pada pengalaman
Jepang menggunakan Grid Square system yang, katanya, akan
berfaedah juga bagi ASEAN. Sistem itu makin banyak dipakai untuk
menilai kondisi lokal dan manfaat yang diperoleh dari berbagai
proyek yang ada pengaruhnya pada kehidupan rakyat melarat.
Tapi berapa per kapita? Jawaban lndonesia pun dalam banyak hal
masih ngawur, sebelum diketahui jumlah penduduk. Ada yang
menaksir 135 juta, atau 140 juta, atau 145 juta penduduk
Indonesia sekarang. Taksiran itu umumnya bertolak dari hasil
sensus penduduk 1961 dan 1971. Waktu itu BPS masih bekerja
secara kuno.
BPS diserahi lagi tugas melaksanakan sensus penduduk Indonesia
mulai pekan ini (lihat box). Sekali ini BPS sudah dilengkapi
dengan pusat komputer modern -- bantuan pemerintah Jepang.
Kemampuannya mengolah data meningkat sekitar 20 kali. Dan
dirinya sudah siap untuk mengolah data sensus penduduk yang
masuk nanti.
Dengan pusat komputer itu, tentu saja, BPS melakukan suatu
lompatan besar ke depan. Informasinya diduga tak akan ngawur,
insyaallah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini