MASYARAKAT Jepang sejak masa pasca-perang merupakan masyarakat yang senantiasa mencari suatu identitas baru. Kekalahan Jepang dalam perang tersebut, dan hancurnya lembaga-lembaga sosial dan politik, menyebabkan masyarakat ini seperti kehilangan sesuatu yang mengikat mereka sebagai suatu bangsa. Ini bukan berarti mereka lantas begitu saja melepaskan simbol-simbol yang mencirikan Jepang. Tapi lebih merupakan usaha menyesuaikan diri dengan suatu keadaan baru, yaitu masa pascaperang dan perkembangan-perkembangan yang menyusul kemudian. Ke dalam konteks inilah harus kita jelaskan gejala solidaritas masyarakat Jepang terhadap kesehatan Kaisar Hirohito yang dikabarkan terus memburuk. Mungkinkah kita menghubungkan cerita sukses perekonomian Jepang atau sikap masyarakat yang pasifis, bahkan usaha meluaskan peran internasional Jepang dengan lembaga kekaisaran? Bagaimana menjelaskan sikap prihatin rakyat Jepang terhadap kesehatan kaisarnya, yang bahkan sampai menunda pesta-pesta dan perayaan-perayaan sosial? Apakah ini menunjukkan bahwa kelangsungan lembaga ini memang dianggap relevan untuk menghadapi tahun 1990? Mereka yang menjelaskan solidaritas masyarakat dari segi sosial mungkin menceritakan sifat kekeluargaan yang begitu dijunjung tinggi dan terdapat pada hampir semua kehidupan sosial di Jepang. Cerita tentang seorang buruh yang diperlakukan sebagai anggota keluarga besar yang bernama perusahaan, atau hubungan sebuah perusahaan kecil yang menjadi subkontraktor sebuah perusahaan besar dengan gampang dihidangkan untuk mendukung penjelasan semacam itu. Akan tetapi kita tahu, buruh Jepang dengan teratur mengadakan demonstrasi musim semi. Lagi pula, subkontraktor selalu lebih dahulu dikorbankan jika kesulitan ekonomi terjadi. Sebenarnya, yang lebih punya potensi untuk menjelaskan adalah pengaruh tekanan internasional, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara besar lain, terhadap kemajuan ekonomi serta tuntutan internasional yang diharapkan dari perkembangan ekonomi Jepang ini. Satu catatan penting di sini adalah bahwa kisah sukses Jepang ini harus juga diikuti dengan usaha para pemimpin yang telah mengkompromikan ambisi politik dengan kenyataan baru masa pasca-perang. Banyak dari mereka yang terpengaruh oleh "Jalan Yoshida". Istilah ini diambil dari nama bekas perdana menteri yang cekatan mengadakan manuver dalam membangun Jepang kembali di tengah-tengah pengaruh Jenderal MacArthur dan kebijaksanaan Washington dalam suasana Perang Dingin. Peranan Kaisar dengan tidak mencampuri kebijaksanaan para pemimpin ini, karena pertimbangan konstitusi maupun realita politik, ikut merupakan sumbangan, betapapun kecilnya. Jalan Yoshida ini lebih menekankan pembangunan ekonomi kembali dan sikap merendah dalam kebijaksanaan strategi dan politik luar negeri. Mengambil keuntungan dari kesempatan ekonomi yang tersedia dalam Pax Americana yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Jalan Yoshida terbukti memang manjur dan telah meroketkan Jepang menjadi kekuatan ekonomi besar kelas dunia. Namun, sukses ekonomi ini bukan tanpa pengaruh kepada politik, ekonomi, dan sosial di Jepang. Dalam politik, yang menonjol adalah dominasi satu partai, yaitu Liberal Demokrat dengan struktur kekuasaan yang dipengaruhi oleh persaingan antarfraksi-fraksi dengan koneksi ke bisnis dan birokrasi. Dalam ekonomi, yang menonjol adalah pengaruh swasta konglomerat dan strategi pengembangan industri besar yang dengan teknologi mutakhir cenderung mengabaikan infrastruktur sosial. Ungkapan bahwa "Jepang adalah negeri yang kaya, tapi rakyat yang merasa miskin" ada benarnya dan merupakan harga yang harus dibayar oleh pembangunan model Jepang. Di bidang sosial, nilai-nilai lama yang mengagungkan orientasi ke keluarga, hubungan patron-klien ikut terkikis sedikit demi sedikit walaupun akan tetap hidup sampai waktu yang lama nanti. Sementara itu, masyarakat masih mencari nilai-nilai baru yang relevan untuk menjawab kenyataan dan tantangan sekarang. Reaksi terhadap pengaruh Barat, terutama Amerika, biasanya menumbuhkan sikap nasionalisme Jepang, sementara tidak kurang pula yang mencari akar-akar kebudayaan Asia yang bisa di-Jepangkan. Ini bukan suatu gejala kemunduran, tapi gejala biasa yang justru memperkaya kehidupan sosial Jepang sendiri. Sementara itu, dunia internasional, khususnya Amerika Serikat, mengkritik Jepang yang hanya menjadi free rider dari sistem internasional Pax Americana. Kritik ini dilancarkan sejak tahun-tahun 1960 dan kemudian 1970. Kecaman itu kini menjadi suatu tekanan yang tidak mungkin lagi dihindari, sebab pemimpin ekonomi dunia, Amerika Serikat, juga sedang gering. Tentu tidak bisa para anggota Pax Americana lantas berbondong-bondong menulis belasungkawa di sebuah buku tamu, sebab yang dituntut dalam hubungan internasional sekarang adalah menyelamatkan sistem internasional itu sendiri. Jepang dan banyak bangsa lain ikut menikmati keuntungan dari Pax Americana, hingga Jepang berkepentingan untuk menyelamatkan sistem internasional. Tekanan pemerintah kepada masyarakat, dalam usaha memperluas pasar domestik bagi produk Jepang agar tidak terlalu tergantung kepada ekspor, harus dilihat dari konteks ini. Tidak bisa tidak, tekanan baru ini ikut membangkitkan kesadaran nasionalisme Jepang yang baru. Bersamaan dengan keprihatinan bangsa ini akan kritik internasional yang meningkat, Kaisar gering. Berita ini seolah-olah memperkuat solidaritas masyarakat Jepang menghadapi sikap internasional yang dipandang semakin tidak ramah. Tampaknya, hal ini meneguhkan dukungan terhadap "Jalan Yoshida" yang konservatif moderat. Walau masyarakat Jepang masih terus mencari bentuk, mereka agaknya menganggap bahwa kelangsungan lembaga kekaisaran menjadi bagian dari sukses Jepang masa pasca-perang. Maka, setiap pihak yang menolak kenyataan ini agaknya akan berakhir dengan ketidakpopuleran, kalau tidak suatu kekalahan. Karena itu, tidak mengherankan bila kesehatan Kaisar lebih memburuk, rakyat Jepang akan lebih berbondong-bondong mengisi buku tamu, berdoa, dan kalau bisa -- siapa tahu -- menemukan teknologi untuk menghentikan detik waktu sejenak. Sementara itu, mereka harus terus berpikir juga untuk mencari upaya guna menyelamatkan raja lain yang gering, yaitu Amerika Serikat, sesuai dengan kepentingan Jepang sendiri. * Pengajar di FISIP Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini