Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STEVE Sugita bukan pria perkasa. Tubuhnya bungkuk dan sebagian jarinya cacat serta sulit digerakkan. ”Tapi saya tetap merasa bersyukur karena tidak mati,” ujar pria 68 tahun ini. Kendati bertubuh cacat, ke mana-mana ia tak memerlukan ”pengawal”. Ia tetap berani pergi seorang diri, kendati jalannya bungkuk dan tertatih-tatih.
Pekan-pekan ini Steve berurusan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebagai korban ledakan tabung bahan bakar gas, ia kini sedang menggugat sejumlah pihak yang dianggapnya bersalah dan membuat tubuhnya cacat. Mereka antara lain PT Gas Biru dan PT Pertamina. Untuk ”bertempur” di pengadilan, Steve didampingi pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Cerita ini bermula pada 1995, tatkala pemerintah gencar berkampanye Program Langit Biru. Steve pun berkeinginan mengganti bahan bakar mobilnya dari bensin ke gas. Untuk itu ia lalu menghubungi PT Gas Biru di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Pada 14 Oktober 1995, mobil Toyota Kijang Steve pun dipasangi tabung gas. ”Proses pemasangannya dua minggu, biayanya Rp 3,5 juta,” ujar Steve. Dua buah tabung compressed natural gas (CNG) merk Faber buatan Italia berikut converter bermerk Landi Renzo dipasang di mobilnya yang baru dibelinya dua bulan sebelumnya.
Semuanya berjalan lancar. Pada pertengahan Januari 1997, salah satu tabung di mobilnya sempat bocor. Tabung bocor ini lalu dilepas dan ditukar dengan tabung dengan merk sama di PT Supergasindo, dealer pemasangan tabung CNG merk Faber yang ditunjuk PT Elnusa, anak perusahaan Pertamina.
Musibah muncul pada 5 Februari 1999. Saat mengendarai mobilnya di kawasan Depok, mobilnya tiba-tiba meledak lalu terbakar. Pengusaha penyewaan alat berat ini sempat terpanggang di kobaran api. Selama dua tahun ia harus menjalani pengobatan. ”Luka bakarnya 68 persen,” kata Nurkholis Hidayat, salah satu pengacara Steve dari LBH Jakarta. Steve pun mengalami cacat permanen.
Berbagai upaya dilakukan Steve untuk meminta pertanggungjawaban PT Gas Biru. Ia juga melaporkan kasus ini sebagai pelanggaran tindak pidana perlindungan konsumen ke Polres Jakarta Selatan. Merasa tak digubris, pada 2003 ia mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan memenangkan Steve dan mewajibkan polisi meneruskan penyidikan kasus mobil Steve itu. ”Tapi sampai sekarang polisi tidak menindaklanjutinya,” kata Nurkholis.
Sejumlah bukti sudah dikantongi Steve untuk menguatkan alasan bahwa dirinya memang jadi korban tabung gas. Di antaranya, hasil analisis Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri. Menurut Puslabfor, tabung yang meledak itu tak sesuai dengan Standar Selandia Baru (standar manual tabung sejenis).
Misalnya, unsur sulfur yang ditemukan ternyata mencapai 0,12 persen. Padahal, menurut standar, tak boleh lebih dari 0,035 persen. Selain itu, dalam tabung yang meledak itu tak ditemukan unsur molybdenum, unsur wajib dalam material tabung untuk mencegah korosi. ”Tabung yang dibeli Pak Steve tak memenuhi syarat standar,” kata Nurkholis.
Steve juga rajin mendatangi sejumlah pihak untuk meminta keadilan, dari DPR, Pertamina, sampai Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Bahkan lembaga yang terakhir ini mengeluarkan SK pencabutan tabung CNG merk Faber itu. Ia juga mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan meminta Presiden mendesak polisi mengusut kasus ledakan itu. ”Empat kali saya menyurati Presiden,” ujarnya.
Pada Juli 2006 Steve menengok anaknya di Canberra, Australia. Di sana ia pun memburu info tentang tabung gas merk Faber. Steve mendapat petunjuk. Ada sebuah perusahaan taksi yang menggunakan tabung merk Faber. Dari perusahaan itu, dia mendapat informasi toko yang menjual tabung gas itu. Steve lantas membeli tabung itu Rp 6 juta. Ternyata tabung itu memiliki sertifikat lulus uji keamanan. Di situ tercantum jelas batas waktu penggunaannya.
Inilah bukti Steve untuk berperang di pengadilan. Menurut Steve, penjualan tabung gas di Indonesia jelas menyalahi prosedur. ”Bukti ini yang membuat saya berani mengajukan gugatan,” ujarnya. Selain menggugat Gas Biru dan Pertamina, Steve juga menggugat Dirjen Perhubungan Darat dan Menteri Perdagangan. Mereka dianggap lalai karena tidak melakukan pengawasan semestinya. Nilai gugatan yang diajukannya Rp 51 miliar.
Menurut juru bicara Pertamina, Toharso, kasus ini sudah lama selesai. ”Tapi kami akan menghadapi,” ujarnya. Pertamina, ujar Toharso, bukan pihak yang langsung berhubungan dengan Steve sebagai konsumen. ”Gasnya memang dari Pertamina, tapi Pertamina bukan pembuat tabungnya.”
Direktur Utama PT Gas Biru, Mintarsih A. Latief, juga menyatakan siap menghadapi Steve. Mintarsih menuding kebakaran di mobil Steve bukan karena ledakan tabung. ”Karena ada kebakaran pada mobilnya, maka tabung meledak,” ujarnya. ”Saya punya bukti untuk itu,” ujarnya. Ia juga menegaskan tak akan berdamai untuk kasus ini.
Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo