Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ciplukan Penangkal Kanker

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI banyak orang, ciplukan mungkin hanya perdu yang tumbuh liar, yang tak dirawat. Namun, di tangan Ameilinda Monikawati, Inna Armandari, dan Sofa Farida, tanam­an pekarangan itu demikian bermanfaat. Tiga mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada itu memanfaatkannya untuk menangkal dan menyembuhkan kanker.

Ameilinda mengatakan pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi pemberian senyawa kimia untuk mengurangi, menghilangkan, atau menghambat pertumbuhan parasit—kurang efektif. Pasalnya, bisa timbul resistensi serta beberapa efek samping, seperti mual, muntah, dan keracunan pada jaringan normal atau jantung. Karena itu, dibutuhkan alternatif yang lebih aman dan efektif. Nah, di antara alternatif jawabannya, tersebutlah ciplukan.

Menurut dia, timnya meneliti secara intensif kegunaan tumbuhan dengan nama Latin Physalis angulata itu sejak tahun lalu. Mereka tergerak melihat kanker payudara begitu berbahaya bagi perempuan. ”Jenis kanker dengan prevalensi tinggi, peringkat kedua di dunia penyebab kematian pada wanita, setelah kanker serviks,” ujar Ameilinda.

Dia mengatakan, dalam ciplukan, terdapat senyawa seco-steroid physalin dan withanolide. Senyawa tersebut mempunyai efek sitotoksik, yaitu penghancur sel. Dalam penelitian laboratorium (in vitro), senyawa itu melakukan aktivitas antikanker dengan menghambat pertumbuhan sel kanker payudara. Juga dapat menangkal tumor paru dan sel kanker leukemia.

Untuk memanfaatkan ciplukan, semua bagian tanaman kecuali akar dicuci, lalu dikeringkan. Setelah itu, dibuat serbuk dan diekstraksi dengan cara dimaserasi atau direndam dengan etanol. Perendaman sampel menggunakan pelarut organik sesuai dengan temperatur ruangan. Sisa pelarut diuapkan dengan rotary evaporator—alat yang menggunakan prinsip vakum destilasi—sehingga diperoleh ekstrak kental.

Ekstrak kental ini dapat dibentuk jadi kapsul, pil, atau tablet, bergantung pada desain formulasi atau kemasan yang diinginkan. Namun, kata Ameilinda, karena belum masuk industri obat, karya mereka baru bisa dikembangkan berupa jamu. Untuk membuat ekstrak sampai seperti itu, butuh waktu sepekan dengan peralatan sederhana tersebut.

Pertengahan April lalu, olah karya mereka meraih Gold Prize dalam Engineering Invention and Innovation Exhibition di Malaysia. Dalam ajang itu, mereka juga menyabet penghargaan terbaik kategori Chemical and Health.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus