Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sepak Terjang Makelar Anggaran

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKELAR itu istilah netral. Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan istilah yang diserap dari bahasa Belanda—makelaar—ini sebagai ”perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual); orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli”. Dalam frasa ikutannya terdapat ”makelar devisa”, ”makelar ekspor”, ”makelar impor”, bahkan ”makelar luar”—yakni makelar yang bukan anggota bursa tapi bekerja dengan perantara anggota bursa. Untuk hal terakhir ini biasa dipakai istilah pialang.

Kelemahan Kamus Besar di mana pun adalah keleletannya menangkap tanda-tanda zaman. Secara tekstual, istilah ”makelar” masih duduk manis di wilayah netral. Tapi, secara faktual, istilah itu sudah mengalami pemiuhan dramatis, sehingga kemudian muncul frasa ”makelar kasus” atawa ”makelar perkara”. Sampai di sini, posisinya tak lagi netral, tapi mulai menyerempet wilayah busuk. Kini ada ”makelar anggaran”!

Penyusunan anggaran ternyata lahan basah bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Proses persetujuan ini, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bisa dipelintir dengan cara yang ndak karu-karuan demi memperoleh keuntungan finansial. Sulit dibayangkan, misalnya, betapa para anggota Dewan menghubungi kepala-kepala daerah, menawarkan anggaran dalam jumlah tertentu, dengan catatan: sang anggota Dewan akan mengutip biaya. ”Fee” ini berkisar antara lima persen dan tujuh persen, harus dibayar di muka—dan tunai.

Cerita ini makin menjijikkan setelah, melalui informasi yang dikumpulkan majalah ini, proses seperti itu ternyata dilakukan oleh politikus dari hampir semua partai. Ada contoh sederhana. Seorang wali kota dari sebuah provinsi di Sulawesi, misalnya, menghubungi ketua fraksi partai besar yang juga pernah menjadi anggota Badan Anggaran Dewan. Untuk memperoleh anggaran Rp 50 miliar, sang wali kota perlu menyiapkan Rp 3 miliar sebagai ”fee”.

Dalam contoh lain, seorang anggota Dewan menghubungi seorang bupati di Jawa Barat. Melalui proses negosiasi, staf bupati sepakat menyetorkan sepuluh persen anggaran yang dijanjikan kepada sang anggota Dewan. Karena ”fee” itu harus dibayarkan di muka, bupati kemudian meminta para kepala dinas dan pejabat di kantornya mengumpulkan ”iuran”. Seorang pejabat sampai meminjam uang deposito ibunya untuk menggenapi iuran itu.

Proses ini tentu berbuntut panjang. Bupati terpaksa mengikat konsensus dengan para pengusaha di daerahnya dalam hal pemenangan tender. Sebagian keuntungan pemenang tender akan disetorkan kepada bupati, dan dengan uang itulah bupati mampu membayar ”utang”-nya kepada para kepala dinas dan pejabat yang dulu ikut ”bantingan”. Lahirlah trisula saka-guru korupsi yang sangat fundamental, yaitu persekutuan politikus-pejabat-pengusaha. Korupsi jenis ini memang merupakan korupsi yang paling kuno dan, karena itu, paling berbahaya. Sebab, yang dikorbankan pasti uang rakyat.

Dengan pendapatan anggota Dewan yang rata-rata Rp 55 juta per bulan, mereka sebetulnya tak perlu menistakan diri menjadi calo istilah lain untuk makelar. Tapi masalahnya bukan semata-mata pada kesejahteraan individual atau keluarga. Ada ”kewajiban politik” yang harus mereka lunasi seraya menikmati kursi empuk dewan perwakilan itu. Kalau mau jujur, mereka sesungguhnya tak patut dijuluki wakil rakyat. Mereka diusung partai melalui seleksi yang ketat. Seleksi itu antara lain bergantung pada kompensasi yang bisa mereka janjikan kepada partai.

Jika korupsi sudah berakar pada kepentingan partai, jalan menumpasnya semakin terjal. Pemilihan Umum 2014 sudah di depan mata. Subsidi pemerintah kepada partai politik tidak akan cukup digunakan menggalang massa, apalagi di masa kampanye. Donasi juga ada batasnya. Jadi, bukanlah aneh bin ajaib jika partai kemudian menjadikan para kadernya di legislatif dan eksekutif sebagai sumber dana. Sulit membantah betapa pemilu yang akan datang itu akan menjadi pemilu yang lebih mahal dan juga lebih ketat tingkat kompetisinya dibandingkan dengan pemilu-pemilu yang lalu.

Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi memasuki wilayah kemakelaran ini tentu tetap masuk akal. Tapi, menghadapi keberingasan para politikus Dewan dalam permainan percaloan ini, rakyat juga bukannya tak bisa bertindak. Cara paling praktis adalah menghidupkan lembaga-lembaga pemantau dan pengawas, dari pusat sampai daerah, di seluruh pelosok Tanah Air. Untuk jangka panjang, rakyat sesungguhnya bisa menghukum mereka pada pemilihan umum yang akan datang. Jangan lagi menjatuhkan pilihan pada wajah-wajah tamak dan khianat itu. Jangan lagi terpukau pada janji dan ilusi. Jadilah pemilih yang dewasa, rasional, dan bermartabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus