MENCARI seekor ikan emas beridentitas "galur murni" di kolam atau sungai sama sulitnya dengan mencari emas murni di timbunan sampah. Padahal, galur murni merupakan stok genetik yang berharga, untuk dikawinsilangkan demi memperoleh ikan unggul. Galur murni sesungguhnya bisa diciptakan pada ikan emas dengan mengawinkan sesama mereka, hingga 14 generasi. "Pekerjaan itu memerlukan waktu sampai 14 tahun," kata Ir. Rudhy Gustiano, 27 tahun, peneliti dari Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Balitkanwar) Bogor. Namun, Rudhy punya cara untuk memangkas waktu yang panjang itu. Dengan penyinaran ultraviolet atas sperma pejantan, "Galur murni bisa diperoleh hanya dengan perkawinan dua-tiga generasi," kata Atmadja Hardjamulia, Kepala Balitkanwar Bogor. Teknik yang lazim disebut ginogenesis itu, pekan lalu, dibahas pada seminar tentang pembenihan ikan dan udang, di kampus Universitas Padjadjaran Bandung. Ikan dengan status galur murni tidak harus punya sifat serba unggul. Cukup dengan satu-dua, atau beberapa, sifat unggul yang herediter, mewaris. Salah satu ciri yang khas pada galur murni adalah komposisi kromosomnya yang homozigot. Jika disilangkan sesama mereka, keturunannya persis sama dengan tetuanya. Tak ada variasi genetik. Untuk menciptakan varietas unggul, pada lele dumbo misalnya, galur murni memegang peranan penting. Sifat unggul pada diri lele itu sesungguhnya merupakan hasil comotan sana-sini dari beberapa galur lele, melalui serangkaian kawin silang dan seleksi. Bibit ikan unggul bisa juga berupa hibrida, yang merupakan kawin silang antara dua galur murni. Hanya saja, sifat unggul hibrida tak bisa diwariskan pada keturunan berikutnya. Prospek itulah yang menggoda Rudhy untuk menekuni ginogenesis sejak tiga tahun lalu, ketika mengerjakan tugas akhirnya di Fakultas Perikanan, IPB. Salah sebuah penelitiannya menunjukkan bahwa ginogenesis bisa dilakukan secara sederhana. Penyinaran ultra-ungu diperoleh dari lampu germidical 15 watt yang didekatkan sampai jarak 15 cm dari sejumlah besar sperma ikan. Setelah disinari selama 15 menit, sperma itu dibuahkan pada sel telur yang baru diambil dari ikan betina. Sebagian dari pasangan-pasangan telur-sperma itu langsung ditempatkan di baki pemijah. Sebagian yang lain dimasukkan ke dalam lemari pendingin, hingga suhunya 4 derajat Celsius selama 60 menit. Dari 3.074 telur pada perlakuan pertama, 57% menetas menjadi larva yang semuanya abnormal. Sedangkan perlakuan kedua, hanya 23% dari 2.564 telur yang dibuahi menetas. Rupanya, dari 23% yang tersisa, hanya 1% yang tumbuh normal. Yang lain, seperti pada perlakuan pertama, mengalami kelainan pada mata, salah bentuk pada kepala, tubuh, maupun pembuluh darah. Satu persen yang tersisa itu adalah ikan-ikan yang berkromosom homozigot, galur murni. Radiasi ultra-lembayung itu sesungguhnya bersifat merusakan, dan itu memang dikehendaki. Kehadiran sperma jantan memang tidak dimaksudkan untuk mewariskan sifat-sifat yang ada pada tetua jantan, melainkan sekadar untuk memacu terjadinya pembuahan. Namun, problemnya, tanpa kehadiran kromosom jantan, sel telur yang dibuahi itu akan tumbuh dengan kromosom tunggal (haploid), dan menghasilkan larva ikan tak normal. Problem itu ditanggulangi dengan pendinginan. Perlakuan suhu 4 derajat Celsius itu bisa mencegah pengurangan kromosom ketika terjadi proses pembelahan sel. Pada kondisi alamiah, pengurangan kromoson di akhir pembelahan tak terhindarkan. Maka, kombinasi sinar ultra-lembayung dan suhu dingin itu bisa menghasilkan ikan-ikan ber komrosom ganda (haploid), dan beridentitas galur murni (homozlgot). Di Indonesia ginogenesis baru belakangan saja digumuli para peneliti, tertinggal hampir 20 tahun dibanding penemunya, sarjana-sarjana biologi Rusia. Namun, bagi Rudhy, tak ada istilah terlambat. Rudhy mengambil contoh lele dumbo, hasil tangkaran sarjana Afrika itu. "Kita hanya bisa menikmati dagingnya, tanpa tahu bagaimana membuat bibitnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini