BERMACAM-macam upaya dipikirkan pemerintah untuk memerangi korupsi. Senin sampai Rabu pekan lalu, misalnya, Kejaksaan Agung mengadakan simposlum untuk menyelamatkan uang negara yang ada di tangan koruptor, tapi tak bisa dijaring dengan sanksi pidana. Caranya, dengan menggugat si koruptor ke peradilan perdata. Jika si koruptor telah meninggal, misalnya, maka negara diharapkan bisa mendapatkan miliknya dengan menggugat ahli waris almarhum. Meskipun undang-undang korupsi Undang-Undang No. 3/1971 -- sudah menentukan si pelaku bisa dihukum badan seumur hidup, denda maksimum Rp 30 juta, dan uang pengganti atas kerugian negara, toh dalam pelaksanaannya terasa sulit. Sebab, hakim pidana ternyata tak gampang mengabulkan tuntutan uang pengganti itu, yang agak berbau perdata. Sebenarnya, upaya menggugat koruptor itu pernah dicetuskan Ismail Saleh sewaktu menjadi.jaksa agung, Mei 1984. Pasalnya, dari pengalaman Ismail menggebrak korupsi, ternyata kerugian negara tetap tak bisa dihindarkan, kendati pelakunya telah dipidana. Sebab, biasanya, ketika perkara diusut, si koruptor telah mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain. Karena itu, Ismail Saleh menganggap perlu menggugat koruntor secara perdata. Hari Suharto, yang menggantikan Ismail Saleh, pun setuju dengan gagasan pendahulunya itu. Bahkan di Kejaksaan Agung pun sudah dibentuk Biro Perdata, yang bertugas mengembalikan uang negara secara perdata. Tapi persoalannya tak semudah itu. Ternyata, tak ada dasar hukum yang kuat untuk menggugat koruptor secara "perdata" begitu. Sementara itu, uang yang bisa diselamatkan tetap saja jauh lebih kecil ketimbang kerugian negara akibat kasus itu. Selama lima tahun (1983-1987), dari 5.501 kasus korupsi yang diselesaikan, hanya sekitar Rp 72 milyar uang negara yang bisa diselamatkan dari kerugian negara sebesar Rp 308 milyar. Sebabnya, itu tadi, tak mudah menyita harta koruptor. "Mereka biasanya mengalihkan harta kekayaan hasil kejahatannya secepat mungkin kepada pihak-pihak yang sukar ditelusuri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri," kata Wim H. Theorupun, seorang pembawa makalah dari Kejaksaan Agung. Pada sebuah kasus korupsi senilai Rp 31 milyar, yang kini sedang ditangani kejaksaan, misalnya, kata Wim, pihaknya hanya bisa menyita barang bukti senilai Rp 2,2 milyar. Sementara itu, pelaku serta keluarganya kini buron ke luar negeri. Selain itu, Andi Hamzah, yang meraih gelar doktor dengan disertasi tentang korupsi, menganggap undang-undang korupsi Indonesia mengandung kelemahan di bidang pengembalian uang negara tadi, kendati mencantumkan uang pengganti. Itu karena barang-barang yang bisa disita jaksa, menurut undang-undang, hanya sebatas yang berasal dari korupsi. Padahal, "di Belanda, barang-barang lain -- disebut sebagai benda yang disiapkan untuk ganti rugi -- juga boleh disita," kata Andi Hamzah, yang mengharap Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan fatwa untuk soal tersebut. Itu sebabnya, peserta simposium kembali melirik pada ketentuan pidana tambahan berupa uang pengganti dalam pasal 34 huruf c undang-undang korupsi. Pasal ini memang menentukan si bersalah bisa dihukum membayar uang pengganti sebanyak-banyaknya sebesar kerugian negara. Berdasarkan itu, "diharapkan jaksa, selajn menuntut pidana penjara atau denda, juga berani menuntut uang pengganti kepada terdakwa korupsi," kata Wim. Apalagi denda Rp 30 juta dalam undang-undang korupsi, kata Wim, sudah tak sesuai dengan keadaan sekarang. Kebetulan pula kini pihak peradilan seakan-akan memang memberi "angin baik" bagi kejaksaan untuk menuntut uang pengganti, kendati berbau perdata. Dalam sebuah fatwanya, 12 Januari lalu, MA membenarkan harta terdakwa bisa disita untuk membayar kerugian negara tersebut. Dalam perkara korupsi dengan terpidana I Putu Ersan Sugiartha, di Pengadilan Negeri Mataram, MA memberi petunjuk agar barang milik terpidana yang masih ada disita dan dilelang guna melunasi uang pengganti sebesar Rp 26.835.675. Selain itu, uang pengganti juga dinyatakan sebagai utang yang harus dilunasi terpidana. Karena itu, jika barang yang disita setelah dilelang tak mencukupi besarnya uang pengganti, terpidana tetap harus melunasinya dengan hartanya yang lain. Apabila tetap membandel? "Kejaksaan akan menggugatnya lewat peradilan perdata," ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Singgih. Utang itu, sebagaimana layaknya utang-piutang perkara perdata, tidak gugur, kendati si terpidana meninggal dunia. "Sisa utang masih bisa ditagih dari ahli warisnya," kata Nyonya Karlinah P.A Soebroto, Hakim Agung yang menjadi pemrasaran dalam simposium itu. Hakim Agung Bismar Siregar iuga sependapat dengan suara rekannya itu. "Bukankah dalam agama Islam ahli waris diwajibkan menyelesaikan utang almarhum?" ujar Bismar Siregar. Hanya saja, tambahnya, barang-barang yang merupakan penyangga untuk mencari nafkah si ahli waris tak layak ikut disita. Tapi Prof. J.E. Sahetapy yang menjadi pembahas dalam simposium itu, menganggap fatwa MA tadi tak bisa dijadikan dasar hukum jaksa untuk menggugat koruptor. Menurut guru besar FH Unair itu, sebaiknya kejaksaan tetap mendasarkan upayanya pada undang-undang korupsi. Jaksa selaku penyidik, katanya, punya wewenang melacak harta kekayaan apa saja yang dimiliki terdakwa. Jaksa juga seharusnya bisa meyakinkan hakim agar semua harta kekayaan itu disita untuk negara. "Bahwa nantinya putusar hakim tak memuaskan jaksa, itu soal lain," ujar Sahetapy. Ketua Ikadin Pusat Soekardjo Adidjojo setuju saja dengan tuntutan uang pengganti dalam perkara korupsi. Tapi jika seorang koruptor telah dihukum pidana lantas masih dikejar-kejar ganti rugi, menurut pengacara senior itu, selain tak berdasar juga tak mempertimbangkan hak asasi terpidana. "Kapan orang bisa tenang kalau terus dituntut?" kata Soekardjo. Soekardjo juga tak setuju bila kejaksaan masih menggugat ahli waris terdakwa korupsi, bila si terdakwa meninggal dunia. Sebab, dengan meninggalnya terpidana, katanya, perkara sebenarnya sudah gugur. "Lagi pula, anak-anak terpidana 'kan tidak tahu perkaranya, mengapa mereka harus dilibatkan?" ujar Soekardjo. Happy S. dan Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini