Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombak mengayun-ayunkan kapal riset Baruna Jaya 8 yang sedang menyusuri Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Para peneliti dari Indonesia dan Prancis tak mempedulikan petir, hujan, dan gelombang. Mereka terus memelototi peralatan yang menggambarkan peta batimetri atau topografi dasar laut.
Ketika sampai di sisi timur Pulau Siberut, barat Kota Padang, para peneliti itu kaget. ”Ada growongan bekas jejak longsor,” kata Haryadi Permana, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengisahkan temuan pada Februari itu.
Tak dinyana, itu adalah awal dari sebuah temuan dahsyat. Tsunami tidak hanya disebabkan gempa di laut dangkal dengan kekuatan minimal 6,7 skala Richter di pusat guncangan, tapi bisa juga dipicu longsoran di bawah laut, yang terjadi akibat gempa berkekuatan sedang.
Tim peneliti menyimpulkannya setelah mengamati growongan di Siberut itu memiliki kontur seperti jurang di kedalaman 200 meter sampai 1.000 meter di bawah permukaan air laut. Jika ditarik garis lurus ke timur, jurang itu sampai ke Padang, yang ternyata pernah dilanda gempa dan tsunami lima meter pada 1797. Dari data dan analisis, mereka menyimpulkan bahwa longsoran di bawah laut itulah yang menjadi penyebab gelombang dahsyat. Para ahli mengkategorikannya sebagai tsunami yang dipicu oleh longsoran atau tsunamic submarine landslide.
Peta batimetri itu menjadi bukti yang penting bahwa tsunami di Indonesia dapat disebabkan longsoran di dasar laut. Dalam bahasa Haryadi, data itu menjadi pengetahuan baru dan membawa implikasi bagi mitigasi bencana. Maklum, selama ini masyarakat mendapat informasi bahwa tsunami disebabkan gempa di laut dangkal dengan kekuatan besar. Publik juga percaya, sebelum gelombang pasang tiba ke pesisir, air laut surut lebih dulu.
Pengetahuan tersebut sekarang perlu direvisi. ”Cukup gempa kecil sudah memicu longsoran, yang bisa menimbulkan tsunami,” kata Haryadi, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, pekan lalu. Tak hanya itu, tsunami bisa datang tiba-tiba tanpa didahului air laut yang surut.
Selama ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memberikan informasi dini adanya ancaman tsunami jika terjadi gempa minimal 6,6 skala Richter. Itu karena alat BMG tidak bisa mendeteksi getaran longsoran, kata Budi Waluyo, Kepala Sub-Direktorat Info Dini Gempa BMG.
Temuan itu memacu rasa ingin tahu para ilmuwan yang tergabung dalam Pre-Tsunami Investigation of Seismic Group. Selama lima hari mereka mengubek-ubek Kepulauan Mentawai, juga kawasan di barat Padang, mencari jejak lainnya dari longsoran. Padahal misi mereka semula melakukan kajian kesenjangan seismisitas dari Pulau Siberut hingga Pulau Pagai. ”Jadi kami tidak sengaja menemukan jejak longsoran,” kata Haryadi, doktor geologi dari Universitas Nantes, Prancis.
LIPI bekerja sama dengan Institut de Physique du Globe (IPG) de Paris dalam survei ini dan merupakan bagian dari penelitian internasional Sumatra-Andaman Great Earthquake Research (SAGER). Penelitian kelautan yang didanai kementerian luar negeri Prancis ini melibatkan 16 lembaga internasional dan 50 peneliti.
Menurut Profesor Satish Singh dari IPG Paris, terdapat rekaman data yang menunjukkan bekas longsoran tanah bawah laut yang sangat besar di sekitar Mentawai. Patahan naik ini berada pada kedalaman 600 sampai 1.200 meter.
Jejak itu tidak hanya di Siberut, tapi ke bawahnya sepanjang 340 kilometer hingga Pulau Pagai Selatan. Lereng curam dengan kemiringan lebih dari 30 derajat ini patah-patah, tapi hanya selapis demi selapis, sehingga dampaknya tidak besar. ”Kalau patahnya bersamaan, itu bencana yang sangat besar," kata Singh.
Di Norwegia, pernah terjadi longsor dasar laut yang menimbulkan tsunami hingga pantai Kanada dan Amerika Serikat. Singh dan tim peneliti lainnya menduga tsunami setinggi dua meter di Parangtritis, pesisir selatan Jawa pada 2006, disebabkan longsor bawah laut. Selama ini publik hanya tahu bencana itu karena gempa sebesar 7,2 skala Richter.
Tim peneliti gabungan LIPI dan IPG mengusulkan pemerintah merancang ulang penempatan monitoring tsunami di kawasan pantai barat Sumatera. Selama ini sudah ada lima pelampung peringatan dini tsunami sumbangan dari Jerman dan Amerika Serikat. Namun buoy tersebut ditempatkan di sisi barat Kepulauan Mentawai. Padahal, dari hasil survei, lereng bawah laut yang potensial longsor berada di sisi timur Mentawai, yang menghadap Pulau Sumatera.
Temuan di Mentawai ini menjadi awal untuk melakukan survei bawah laut lebih terperinci di wilayah lainnya di Indonesia. Tujuannya apa lagi kalau bukan memetakan batimetri wilayah yang memiliki sudut lereng paling kritis. Secara teoretis, longsoran terjadi ketika lereng atau gundukan sedimen menjadi terlalu curam dan materialnya jatuh akibat gravitasi. Bisa jadi longsoran itu akibat angin topan, gempa bumi, hujan, atau deposisi material yang terus-menerus.
Di perairan mana saja di Indonesia yang memiliki lereng curam dan berpotensi longsor? Para ahli menyebut pada ujung paparan di wilayah jalur gempa. Daerah ini membentang dari perairan barat Pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, sampai Nusa Tenggara Timur. Lalu Papua bagian utara, Selat Makassar, Laut Banda, dan Laut Maluku.
Ahli tsunami Subandono Diposaptono mendukung teori tim LIPI dan Prancis itu. Menurut dia, beberapa dari sejumlah tsunami di wilayah tersebut diduga karena longsoran bawah laut. Saat tsunami di Flores pada 12 Desember 1992, yang menewaskan 1.713 orang, terjadi gelombang laut setinggi 26 meter yang didahului gempa berkekuatan 7,3 skala Richter.
Dari hasil penelitian para ilmuwan, kata Subandono, gelombang yang menghantam bagian timur Flores tidak berasal dari tsunami tektonik utama. ”Tapi dari tsunami sekunder yang dihasilkan oleh longsoran di bawah laut akibat gempa,” ujar pejabat di Direktorat Mitigasi Lingkungan Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan ini.
Peristiwa lain tercatat di Biak, Papua. Tsunami yang terjadi pada 17 Februari 1996 menewaskan 107 penduduk. Ketika itu terjadi gempa di timur laut Pulau Biak. Namun tsunami setinggi 13 meter malahan terjadi di bagian barat daya Biak. Menurut Subandono, yang memperoleh doktor dari Laboratorium Tsunami Universitas Tohoku, Jepang, tsunami itu diduga terjadi karena longsoran bawah laut.
Tsunami sejenis juga pernah menghantam Papua Nugini pada 17 Juli 1998. Bencana ini didahului gempa bumi berkekuatan 7,1 skala Richter di dasar laut bagian barat Laut Bismark atau 592 kilometer Port Moresby, ibu kota negara. Setelah gempa, muncul gelombang setinggi 10 meter yang menewaskan 1.600 jiwa dan 2.000 orang hilang.
Letusan gunung berapi di laut juga perlu diwaspadai sebagai pemicu tsunami. Dari catatan sejarah dunia, kata Subandono, sekitar 92 tsunami besar dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Salah satunya letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883 yang fenomenal.
Pada 18 Juli 1979, tanah longsor vulkanik raksasa terjadi di Gunung Ili Werung, Nusa Tenggara Timur, dan menimbulkan tsunami setinggi 10 meter. Gelombang laut ini menyapu Pulau Lomblen dan menewaskan 500 orang.
Kapal riset Baruna Jaya milik LIPI dan BPPT tampaknya harus terus melayari penjuru Nusantara untuk memetakan lereng curam dan gunung bawah laut yang berpotensi tsunami.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo