Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT F-5E Tiger dan empat A-4 Skyhawk menggelegar memasuki langit lapangan udara Kemayoran. Delapan pesawat tempur milik TNI-AU itu melinias Dada ketinian 150 meter dalam formasi rapat menandakan kemahiran para penerbangnya. Dan, sebuah parade udara, yang diawali dengan tembakan pistol isyarat yang dipetik Presiden Soeharto, berakhir. Indonesia Air Show 86 pun dibuka hari itu - 23 Juni, pekan ini. Ini sebuah pameran dirgantara dalam ukuran cukup besar. Tentu dalam skala internasional. Sebuah langkah baru, sebuah tantangan baru. Merupakan, "tekad dan persiapan kita yang sungguh-sungguh," ujar Pak Harto pada pidato pembukaan "untuk mencapai kemajuan bangsa kita di masa depan, khususnya dalam mencapai kemajuan-kemajuan di bidang industri dan penguasaan teknologi tinggi dalam arti yang luas." Dan Kemayoran pun jadi sarat pada awal peristiwa, yang baru pertama kalinya terjadi di Indonesia. Ribuan pengunjung berbaur dengan massa, menengadah ke langit yang berawan tipis, menyaksikan pertunjukan udara yang senantiasa menarik perhatian. Pengunjung itu, para tokoh penting dan undangan, tersendat-sendat memasuki tarmac Kemayoran untuk mengikuti upacara pembukaan. Panitia yang kurang sigap tampak bingung menghadapi keadaan. Tapi hari itu, penjagaan terlihat ekstraketat, berlapis tiga - lengkap dengan metal detector. Tak seperti biasanya, sejumlah satpam, bukan militer, menyandang senjata otomatis ampuh M-16. Penggeledahan dilakukan dua kali, sangat memperlambat gerak arus pengunjung yang akan masuk. Wagub DKI Bidang III, Ir. Bunyamin Ramto, ikut terhadang, dan seorang tamu asing mengeluh karena tanda pesertanya tak kunjung beres. "Padahal, kami sudah lama mengirimkan data yang diperlukan, termasuk foto," katanya. Sebenarnya, pameran dipersiapkan cukup matang sejak Maret lalu - tak banyak yang mengetahuinya karena publikasi yang miskin. Delapan gardu listrik serta pembangkit listrik cadangan - beberapa generator disiapkan secara ekstra. "Kami tidak ingin mengulang kejadian pada pameran dirgantara di Singapura, listrik mati tanpa permisi dan para peserta kelabakan," ujar seorang anggota panitia, "dan sampai sekarang masih banyak yang menggerutu soal itu." Keputusan menyelenggarakan Indonesia Air Show (IAS) 86 juga tidak asal tabrak. Studi kelayakan dibuat oleh kelompok Gifas (Groupment des Industries Francaises kelompok sindikasi perusahaan yang bergerak di bidang kedirgantaraan. Gifas berpengalaman menyelenggarakan Air Show di Paris sejak 1909. Juga kelompok itu yang menyarankan agar pameran diselenggarakan pada bulan Juni, menghindari pameran yang sama di Singapura awal tahun ini, dan di Farnborough, Inggris, yang akan diselenggarakan menjelang akhir Agustus tahun ini. Gifas juga tak merekomendasikan Bandung sebagai tempat pameran seperti yang direncanakan semula. Selain karena landasan pesawat udara Husein Sastranegara tidak memenuhi persyaratan, kondisi hotel dan sarana lain tak memenuhi kebutuhan. Daftar peserta menandakan IAS 86 cukup berwibawa. Beberapa industrialis Prancis mengungkapkan IAS 86 terhitung lebih besar daripada pameran dirgantara yang diselenggarakan di pelabuhan udara Changi, Singapura, awal tahun. IAS 86 diikuti 237 peserta dari 20 negara. Muncul industri-industri raksasa di bidang penerbangan. Aerospatiale, perusahaan Prancis punya andil besar dalam peluncuran roket Ariane, membuka stand. Dari Amerika Serikat, tampil: Boeing Company, General Electric, Hughes Aircraft Company, Northtrop, dan masih banyak lagi. Dari Jerman Barat: Krupp Mak, MBB GmBH, Siemens, dan lain- lain. Tak cukup ruang untuk menuliskan bahkan yang besar-besar saja, sebab yang muncul bukan cuma perusahaan yang membuat pesawat terbang, tapi juga perusahaan dan industri lain yang mempunyai kaitan dengan industri itu. Sejumlah negara tampil sebagai peserta, tidak untuk memperkenalkan industri penerbangannya, melainkan memperlihatkan kekuatan jaringan perhubungan udara maupun kekuatan pertahanannya di angkasa. Beberapa di antaranya memperkenalkan kejayaan itu dengan mengirim satuan akrobatik udara. Yordania mengirimkan tim dengan tiga pesawat Special Pitts, yang sekilas tampak kuno tapi mampu melakukan manuver melingkar yang mengejutkan. Australia menyajikan demo ketangkasan udara dengan pesawat tempur F-18 Hornet. Dari Inggris datang tim akrobat sangat terkenal Red Arrows. Pameran dirgantara memang senantiasa akrab dengan masalah kekuatan militer di udara. Karena itu, IAS 86 segera saja diwarnai ramainya pembicaraan persaingan dua pesawat tempur terkenal: Mirage 2000 bikinan Avions Marcel Dassault-Breguet Aviations (AMD/BA) dari Prancis, dan Fighting Falcon F-16 produksi General Dynamics dari Amerika Serikat. Mirage 2000 masih merasa yakin merebut kontrak, di tengah riuhnya pemberitaan Indonesia akan membeli 8-12 F-16. Beberapa waktu berselang, Pangab L.B. Moerdani memang menyatakan minat akan membeli pesawat tempur F-16 yang sangat terkenal itu. Ini usaha memperkuat jajaran penempur udara - yang mulai menua - F-5E Tiger dan A-4 Skyhawk. Salah satu persyaratan pembelian itu adalah persetujuan dari Kongres Amerika Serikat. Ternyata, April 1986 lalu, Kongres AS telah memberikan persetujuan penjualan 12 F-16 kepada Indonesia. Pertengahan Mei lalu, General Dynamics telah mengirimkan penawaran resmi ke pihak Mabes ABRI/Departemen Hankam dan berharap kontrak jual beli bisa ditandatangani Juli-Agustus mendatang. Dan jika kontrak pembelian sudah ditandatangani, penyerahan diperkirakan akan terjadi pada pertengahan 1989. Toh Indonesia belum mengambil keputusan. Karena itu, AMD/BA masih melihat peluang dan dengan bersemangat menawarkan Mirage 2000. Di IAS 86 pesawat ini berkiprah dengan megahnya menunjukkan kemampuan. "Dalam menjual senjata Prancis tak mengenal pembatasan dan ikatan politik, kami berbeda dengan Amerika Serikat," tutur Roger Poulain, manajer pemasaran Asia Tenggara AMD/BA. Tidak mudah menentukan pilihan di antara kedua pesawat tempur yang tangguh itu. F-16 terhitung pesawat tempur yang sangat populer dan sudah sangat banyak terjual, dan dalam banyak penawaran sering kali menang atas Mirage - dari tipe lama. Beberapa negara Eropa, dan juga pakta pertahanan Atlantik Utara NATO, menggunakan F-16 dalam skuadron buru sergapnya. Namun, di sisi lain, Mirage 2000 memiliki pula beberapa kelebihan. Salah satu sebabnya karena, pesawat ini didesain lebih belakangan. F-16 diproduksi tahun 1974 sementara Mirage 2000 baru dikeluarkan tahun 1979. Kesamaan keduanya yang mungkin menyulitkan pemilihan. Baik Mirage 2000 maupun F-16 dikenal menggunakan teknologi Fly-By-Wire - semua pengendalian pesawat dilakukan secara elektronik dengan bantuan komputer. Di masa lalu, pengendalian pesawat dilakukan dengan mekanisme yang pangkalnya adalah tongkat pada cockpit. Sistem mekanik ini - masih banyak digunakan sampai sekarang - tentunya membutuhkan energi dan konsentrasi penerbang yang cukup besar. Misalnya menjaga keseimbangan pesawat ketika roket atau peluru kendali dilepaskan dari bagian bawah sayap - menimbulkan guncangan pada pesawat. Dengan sistem Fly-By-Wire keadaan itu bisa diatasi hanya dengan menyentuh tombol. Dalam beberapa hal, komputer juga bisa melakukan kompensasi keseimbangan tanpa diperintah. Tentu ada juga perbedaan Mirage 2000 dengan F-16. Mirage 2000 dalam spesifikasinya adalah pesawat multifungsi: pengawas dari jarak jauh, buru sergap, dan penyerang. Karena itu, memiliki kemampuan mencapai ketinggian 60 ribu kaki, dan disiapkan bisa menembakkan roket (Exocet AM 39) dari jarak 40 kilometer. F-16 adalah pesawat tempur jarak pendek - dogfighter. Jangkauannya hanya ketinggian 50 ribu kaki, tapi memiliki kelincahan dalam menghindari serangan roket. Dan juga mampu terbang rendah untuk melakukan serbuan target di darat. Perbedaan ini mempunyai pengaruh juga pada strategi pertahanannya. F-16 sebagai penyerang jarak pendek biasanya membutuhkan pesawat lain sebagai penunjang penyerangan. Terlihat ketika Israel menyerang reaktor nuklir Osirak Irak di 1981, F-16 Israel yang melakukan penyerbuan ditunjang F-15 Eagle. Paduan kedua pesawat ini dikenal ampuh. Namun, pertimbangan pembelian kedua pesawat tempur itu tidak melulu strategi pertahanan. Menurut Menristek B.J. Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara ikut pula mewarnai pertimbangan. "Transaksi biasa tidak akan terjadi karena kita mempunyai industri pesawat terbang," katanya. Pertimbangannya, siapa pun yang menjual pesawat tempur itu, harus memberi imbalan order kepada IPTN - dalam istilah Habibie disebut, offset. "Saya hanya ingin ambil maksimal 50% saja dari nilai penjualan keseluruhan," katanya lagi mewakili IPTN yang dlpimpinnya. Maka, bila General Dynamics ingin menjual F-16 yang harganya US$ 22 juta, perusahaan ltU harus memberi order pada IPTN 50% dari US$ 300 juta (8 buah F-16). Order itu bisa berupa permintaan pembuatan beberapa bagian F-16, atau bagian-bagian pesawat lain produksi General Dynamics. "Tanpa itu, tak ada transaksi," ujar Habibie menegaskan. Sodokan Habibie, tampaknya, umum dilakukan dalam perdagangan pesawat terbang. Pada tahun 1978, pemerintah Belanda membeli pula F-16, dan negara itu mampu memaksa General Dynamics melibatkan Fokker - industri pesawat terbangnya - dalam pembuatan F-16, yang nilainya meliputi hampir 80% dari total penjualan. Karena itu, Fokker kini dikenal pula co-producer F-16. Membuat komponen dan pesawat di bawah lisensi memang merupakan salah satu dimensi IPTN. Dengan nilai investasi US$ 700 juta, atau sekitar Rp 700 milyar - bila dihitung secara kumulatif sekarang bisa mencapai Rp 1 trilyun - IPTN harus memacu berbagai sektor untuk menjaga keseimbangan perusahaan. Produksi pesawat tak bisa dijadikan satu-satunya andalan pemasukan, karena hasilnya kadang-kadang jauh di bawah target. Di samping pesawat NC-212 IPTN telah pula memproduksi helikopter NBO105, Puma NSA-330, Super Puma NSA332, NBK-117, dan NBell-412. Semuanya di bawah lisensi. Angka penjualan seluruh produk ini: 192 - terhitung sampai Januari 1986. Lewat IAS 86 IPTN mengharapkan bisa mengorbitkan produknya yang paling mutakhir, yaitu CN-235. Dibuat bukan berdasar lisensi, melainkan produksi pertama - IPTN berhak menyebutkannya hasi karya. Pesawat ini ialah transportasi jarak dekat dengan kapasitas 30-50 penumpang dan tergolong turboprop yang irit bahar bakar. Menurut seorang ekonom di lingkungan IPTN, CN-235 mempunyai harapan besar memasuki pasaran baik dalam negeri maupun luar negeri. Menurut ekonom itu, bahkan di negara maju pesawat jenis ini banyak dibutuhkan. "Dengan pesawat kecil tingkat pengisian penumpang bisa dioptimasikan," katanya. Dan pesawat kecil, menurut ekonom itu lagi, merupakan kebutuhan kelompok menengah ke atas, yang tidak terlalu terpengaruh resesi ekonomi. Ahli ekonomi yang tak mau disebutkan namanya itu cukup optimistis, bisa menjual sekitar 300 CN-235. Padahal, untuk mengekspor, CN-235 harus bersaing dengan sejumlah pesawat sejenis yang sudah keluar duluan. Di antaranya DHC-8 Dash 8 seri 100 bikinan Kanada Embraer EMG-120 produksi Brasil, SF-340 buatan industri-industri terkenal SaaBFairchild, dan yang paling berat Fokker 50. Sementara itu, pasaran dalam negeri CN235 walau mungkin sudah dihitung IPTN, masih belum jelas di kalangan awam. Untuk langkah selanjutnya IPTN sudah pula merencanakan membuat produksi bersama MBB (Jerman Barat) dan Boeing (Amerika Serikat). Produksi bersama itu adalah pesawat ATRA (Advanced Technology Regional Aircraft)-90. Pesawat jenis mutakhir propfan ini berkapasitas 100-135 penumpang. Menurut Habibie, ini jenis pesawat yang akan unggul sampai tahun 2030. "Pihak Garuda sudah tidak sabar lagi menunggu ATRA-90 ini," katanya. Direncanakan pesawat ini akan menggantikan pesawat DC-9 Garuda. Propfan memang jenis pesawat baru yang dianggap bisa menjawab masalah penghematan bahan bakar. Hingga kini bahkan NASA (lembaga antariksa AS) terus menerus melakukan eksperimen menemukan prototip yang ideal. Diharapkan, propfan bisa mengirit bahan bakar sampai 50%. Dari sisi penampilan, pesawat ini memang kelihatan baru dan aneh, baling-balingnya yang berjumlah delapan pisau menghadap ke belakang, juga tidak berputar ke dalam, melainkan ke arah luar. Sementara itu, propfan yang sudah siap adalah Fokker 100. Inilah saingan paling berat. Pada awal 1986 sudah mengalir berbagai kontrak pembelian dari berbagai maskapai penerbangan. Di antaranya, Swissair, US Air, dan KLM sendiri. Fokker 100, yang kini unggul dalam penjualan itu, seperti memburu kerugian. Memang, perusahaan Belanda itu punya pengalaman pahit dengan propfan, khususnya dalam joint production. Tahun 1981 Fokker bersepakat dengan perusahaan besar AS. McDonnel-Douglas, untuk memproduksi propfan MDF-100. Ternyata, terjadi salah perhitungan dan kongsi itu pecah. Fokker rugi US$ 70 juta dan terpaksa mem-PHK-kan 1.000 pegawai. Namun, besarnya tantangan IPTN barangkali menunjukkan besarnya pula "harkat" IPTN di lingkungan industri penerbangan internasional. Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, posisi IPTN sudah terbilang istimewa. Pakistan misalnya, hanya menanamkan US$ 50 juta pada industri pesawat terbangnya di Kamra, yang terletak 75 km di sebelah barat Islamabad. "Sampai saat ini kami hanya menyuplai pesawat untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk melatih siswa-siswa penerbang," kata M. Akhtar Naeem, pemimpin delegasi Pakistan di IAS 86. Dan pesawat yang mereka produksi diberi nama Mushshak, sebuah pesawat model capung. Pakistan, menurut Naeem, belum bermaksud memasarkan produk pesawat terbangnya ke luar negeri, "dan kedatangan kami ke sini mencari mitra yang mungkin tertarik pada kami," katanya. Sementara itu, IPTN telah menerobos sangat jauh, meraih partner-partner berkaliber. Moga-moga itu berarti pula, kemampuan menerobos risiko-risiko besar. Syukur bila Indonesia Air Show bisa menjadi pertanda baik. Jim Supangkat Laporan Ahmed Soeriawidjaja, James R. Lapian, Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo