DARI Malaysia, ternyata, juga bisa datang berita tentang semacam gerakan yang di Indonesia disebut Ingkar Sunnah. Ini adalah nama yang diberikan - di Indonesia - oleh orang-orang yang tidak setuju kepada sebuah kelompok yang tidak mengakui Hadis sebagai sumber Islam sesudah Quran. Beritanya cukup ramai di tahun 1983, dan Majelis Ulama Indonesia waktu itu memberi fatwa tentang kecenderungan itu sebagai "sesat dan menyesatkan". Di Malaysia, yang menjadi biang pembicaraan adalah sebuah buku yang diberi judul Hadis: Satu Penilaian Semula, tulisan Kassim Ahmad. Dengan penilaian semula (baca: tinjauan kembali) terhadap catatan-catatan mengenai Nabi itu, doktor honoris causa (sastra Melayu) dari Universiti Kebangsaan Malaysia ini memunculkan kesimpulan bahwa, terpenting, "Hadis merupakan pandangan dan pendapat manusia (tentang Nabi saw.) yang tidak terjamin kebenarannya. Ia tidak lebih daripada tekaan dan agakan." Dan, karena itu, tertolak sebagai "sumber teologi dan perundangan" Islam. Maka, ributlah para ulama. Majelis Fatwa Negara Bagian Kelantan, misalnya, sudah menyerahkan rekomendasi kepada sultan setempat untuk melarang karya yang terbit pertengahan Ramadan silam itu. Juga majelis yang sama di Negara Bagian Kedah, tempat kelahiran Kassim yang berumur 52 tahun itu. Sampai laporan ini diturunkan memang belum ada seorang sultan dari 13 negara bagian yang mengeluarkan pelarangan. Tapi Kantor Perdana Menteri di Kuala Lumpur, Bagian Hal-Ihwal Islam, akan mengajukan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri agar pemerintah mengambil tindakan, seperti dikatakan Dr. Yusof Noor, timbalan menteri yang mengurusi bagian itu. Yusof sendiri menilai, beberapa fakta dalam buku itu "tidak tepat, dan bisa menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam". Sama sekali tidak memberikan sumbangan positif kepada Islam, katanya, malahan melonggarkan keyakinan terhadap beberapa prinsip. Dr. Lutfi Ibrahim, dosen Fakultas Pengajian Islam Universiti Malaya, malah menganggap Kassim "tidak hanya menolak hadis, tapi menyamakannya dengan marxisme dan liberalisme". Maklum, sastrawan yang penyair, eseis, kritikus, dan penulis cerpen ini, yang juga menjadi dosen Sastra Melayu, antara lain di University of London (1962-1966), memang pernah menjadi Ketua Umum Partai Sosialis Rakyat Malaysia (1968-1984), dan hampir lima tahun - sampai 1981 - ditahan di bawah Akta Keamanan Dalam Negeri. Tapi benarkah penolakan terhadap Kassim semata-mata berdasar kecurigaan? Kassim sendiri tampak tak menganggapnya berharga untuk dibantah lihat Dunia Kembali kepada Quran (Saja). Juga terhadap keberatan orang bahwa titik berat sikapnya yang menampik hadis adalah kenyataan bahwa pembukuan hadis-hadis itu dilakukan sekitar 250 tahun sepeninggal Nabi - sebuah kesimpulan (yang sebenarnya bisa diperdebatkan) yang mungkin memang dibaca pengarang ini dari Goldziher (yang menolak historiositas seluruh hadis), yang bukunya dicantumkan sebagai salah satu rujukan. Yang menarik, kelompok "Ingkar Sunnah" itu, di Indonesia, yang dari luar tampak hanya "korban kebodohan", (yang diriwayatkan sebagai mengatakan, "Allah itu gaib, sedang Rasul sudah meninggal, yang ada hanya Quran, sedang hadis hanyalah dongeng dari mulut ke mulut"), juga menyatakan bahwa "Bukhari (peneliti hadis terbesar) menulis sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat" (TEMPO, 18 Juni 1983). Toh ada sumber lain yang oleh Kassim dijadikan sandaran. Misalnya saja mazhab teologi rasional klasik Mu'tazilah. Dan, di zaman mutakhir ini, kalangan yang disebut Kassim sebagai Ahlul Quran di Pakistan yang di antara tokohnya tak lain Ghulam Ahmad Parvez, ketua Mahkamah Syar'i setempat. Setidak-tidaknya Parvez, beberapa tahun lalu, memang terlibat konflik dengan Presiden Zia-ul Haq - mengenai hukum rajam untuk pezina yang diundangkan di Pakistan, tapi yang menurut Parvez "bukan hukum Islam, karena hanya ada di hadis dan bukan di Quran" (TEMPO, 3 JUIi 1982). Kassim sendiri setidak-tidaknya benar waktu menyatakan bahwa status hadis sebagai landasan Islam itu diputuskan oleh Ijma' (konsensus ulama, terutama para imam mazhab), dan itu dimulai oleh Syafii - meskipun ada hadis Nabi yang menyatakan meninggalkan warisan berwujud Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya, yang oleh Kassim dipermasalahkan. Itu bukan hal baru. Iqbal, dalam Reconstruction of Religious Thought yang terkenal itu, mengomentari (setelah menolak sikap Goldziher), sikap Hanafi, imam mazhab pertama dari keempat mazhab besar fiqh, yang dalam banyak hal lebih suka memegangi prinsip istihsan, anggapan baik untuk kepentingan umum, dibanding hadis. Sikap kritis seperti itu - meski tidak dalam arti menolak, juga Muhammad 'Abduh, yang, seperti dikatakan Dr. Quraish Shihab ketua Majelis Ulama Indonesia dan dosen pascasarjana IAIN, terkesan lebih memandang matan (teks hadis), apakah sesuai dengan semangat Quran, daripada aspeknya yang lain yaitu sanad, rangkaian periwayat yang menunjuk historiositas. Dan itulah pula ukuran yang disarankan Kassim: "kesesuaian dengan Quran, sains, sejarah, dan hukum akal". Hanya, berbeda dari Kassim, Abduh tak menafikan hadis sebagai sumber ajaran. Bahkan, seperti dikatakan Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad, "Tidak ada kalangan klasik Islam - baik Khawarij maupun Mu'tazilah yang (benar-benar) pernah menyangkal validitas Sunnah". Bagi Kassim, usahanya untuk memberantas keterikatan umat muslimin kepada hadis itu merupakan keharusan. "Selama belum dibanteras keterikatan umat kepada Hadis sebagai sumber hukum, bagaimana kita bisa mencapai kemajuan?" Fazlur Rahman tak akan menyetujui pendapat ini. "Eksistensi serta integritas Quran," katanya, maupun "eksistensi Nabi sendiri, akan menjadi sebuah mitos yang tak berdasar", bila hadis ditinggalkan. Menarik bahwa Kassim, seperti dikatakannya dalam bukunya, tidak mempercayai kekhawatiran pemikir Pakistan itu. Betapapun, ia kini bergirang hati: Persatuan Ulama-ulama Malaysia akan menerbitkan sebuah buku yang membantah tesisnya beserta segala dalilnya, seperti disiarkan The New Straits Times. Memang, itu kedengarannya lebih ilmiah daripada pelarangan - meskipun tak bisa dijamin bahwa yang terakhir itu tak akan terjadi. Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini