Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Alat deteksi Covid-19 berdasarkan hembusan napas temuan para ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, GeNose C19, bakal diterapkan untuk screening di bandara, setelah alat itu resmi digunakan di sejumlah stasiun.
Baca:
FDA Sahkan Vaksin Covid-19 Johnson & Johnson, Cukup 1 Suntikan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti yang juga tim penemu GeNose C19 UGM, Dian Kesumapramudya Nurputra, menuturkan agar deteksi alat itu bisa bekerja optimal, ada sejumlah Standar Operasional Prosedur (SOP) yang perlu diperhatikan sehingga tak muncul kasus positif palsu atau hasil tak sesuai kondisi sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Untuk menghindari kasus positif palsu itu disarankan 30-60 menit sebelum tes GeNose bisa berpuasa dulu dari merokok, makan, dan minum kecuali air putih," ujar Dian kepada Tempo, Jumat, 26 Februari 2021.
Dian menuturkan, GeNose sebagai alat screening hembusan napas, memiliki sensor yang sensitif pada metabolisme yang dihasilkan tubuh. Artinya, karakter hembusan napas yang terkontaminasi asap rokok, juga bau makanan atau minuman menyengat bisa mempengaruhi hasil pembacaan sensor GeNose.
Dosen Fakultas Kedokteran UGM itu memberi gambaran sederhana. Saat seseorang akan periksa kondisi asam urat atau gula darah dengan memakai sebuah alat test meter yang menggunakan sampel darah dari ujung jari.
Sebelum diambil sampel darahnya, pasien akan diminta berpuasa dulu beberapa jam sebelumnya agar alat itu bisa mendapatkan nilai akurat kadar gula dalam darah saat pengetesan.
Jika tak berpuasa, pasien memang tetap akan mendapat gambaran kadar gula dalam darahnya. Namun, penilaian kadar itu tak akan akurat sama sekali dan tidak akan dianggap oleh dokter karena sampel yang dipakai hanya gula darah sewaktu.
"Hal serupa juga terjadi pada GeNose, bisa langsung dipakai tapi jika hasilnya (tes tanpa puasa) itu positif, pasien yang rugi," ujar Dian.
Dian menuturkan, GeNose yang dikembangkan saat ini oleh tim pengembang sebenarnya juga sudah memeriksa dan memvalidasi beberapa makanan dan minuman yang sebelumnya ditengarai berpengaruh. Seperti teh dan kopi kini sudah dipastikan tidak terlalu memberikan efek atau pengaruh pada hasil pembacaan GeNose.
"Merokok masih menjadi salah satu faktor pengganggu yang utama, maka sebelum diperiksa GeNose, sebaiknya puasa merokok," kata Dian.
"Jadi jengkol atau petai, atau merokok itu bukan membuat napas yang diperiksa jadi negatif atau tak terbaca, tapi justru terbaca positif lemah sehingga alternatifnya uji ulang satu jam kemudian atau bisa besoknya (saat bau napas tak menyengat karena makanan atau setelah pasien berkumur dan membersihkan mulut)," ujar Dian.
Data-data baru ini semua oleh tim pengembang GeNose kemudian diinkorporasi pada update program AI (artificial intelligence) yang diperbaharui secara berkala. Sehingga setiap operator memang secara berkala disarankan meng-update programnya agar interpretasi/pembacaan hasil pengukuran GeNose semakin akurat.
Dari hasil penggunaan GeNose di sejumlah stasiun beberapa waktu belakangan ini, Dian mengatakan, sejauh ini positivity rate yang dibaca alat itu sama dengan hasil positivity rate yang dilaporkan di dunia.
"Standar positivity rate GeNose saat ini 3-5 persen dari total orang yang diperiksa. Sedang data pemerintah positivity rate 18-20 persen terkesan tinggi karena positivity rate dihitung terhadap jumlah yang diperiksa oleh PCR, dan jumlah yang diperiksa oleh PCR masih sangat sedikit, masih berada di bawah standar WHO, yaitu 100.000 pemeriksaan sehari," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO