SAPI di Bali bukan hanya sumber tenaga penarik bajak. Tapi juga
tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual kepada eksportir
(karena eksportir di Bali tak memelihara sapi sendiri), serta
pensuplai pupuk kandang secara gratis.
Bukan itu saja. Kotoran sapi juga dapat "dicernakan" menjadi gas
bio methane--CH4) sebagai bahan bakar untuk penerangan dan gas
kompor. Gagasan yang telah digalakkan oleh almarhum Mahatma
Gandhi di India, kini sudah mulai populer juga di Indonesia.
Bermula di Bali, kemudian di Bogor, lalu dengan bantuan ITB
diperkenalkan oleh Yayasan Dian Desa di pedesaan Yogyakarta. Dan
paling akhir diperkenalkan oleh Proyek Pengembangan Masyarakat
Pedesaan Universitas Brawijaya di desa Tegalweru, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang (Jawa Timur), yang baru diresmikan Oktober
tahun lalu.
Prinsipnya sederhana saja. Kotoran ternak bercampur air,
disalurkan ke dalam tanki yang hampa udara. Di situ
bakteri-bakteri anaerobic (yang bekerja tanpa bantuan udara)
menguraikan gas metan dalam ampas-ampas hasil pencernaan di usus
sapi. Melalui pipa atau keran, gas dapur itu dapat disadap
dengan hati-hati, agar udara tak ikut menyelip ke dalam tanki
pencerna (digester) itu. Adapun air bercampur kotoran ternak
minus gas bio itu, masih dapat dimanfaatkan mengairi sembari
memupuk kebun, pekarangan, atau padang rumput. Malah kalau
sebelumnya disaring melalui kolam, plankton dalam kolam itu akan
berbiak lebih subur, yang pada gilirannya menyuburkan populasi
ikan, itik, dan . . . manusia.
Penyesuaian ir. Baskoro
Namun kalau mau dibatasi fungsi pencernaan tahi sapi itu sebagai
pembangkit gas bio saja, juga bisa. Percobaan di Bandung dan
Bogor memperlihatkan, bahwa sepasang sapi yang kotorannya
dicernakan melalui dua bekas drum minyak, cukup untuk menyalakan
kompor dan petromaks gas metan bagi satu rumah tangga desa.
Tentu saja, kompor dan petromaks minyak tanah yang lazim
digunakan harus diadaptasikan konstruksinya. Penyesuaian ini
telah dilakukan pula oleh Tim PMD Unbraw yang dipimpin oleh ir.
Baskoro Winarno. Jadi siapa yang berminat, silakan datang ke
desa Tegalweru.
Pokoknya, berbagai percobaan penyediaan "enerji tahi sapi" itu
memperlihatkan banyaknya manfaat ternak ini.
Hubungan harmonis--bahkan organis--antara manusia dan hewan
pekerjanya itu, rupanya kurang disadari oleh Bupati Cirebon. Di
sana, khususnya di Cirebon Selatan, kini kerbau yang masih
sepupu sapi itu sudah punah. Sebabnya bermula dari instruksi
bupati yang mau menghapus kebiasaan penduduk memparkir kerbaunya
di kandang di sebelah rumah. Kebiasaan itu, dianggap tidak
higienis dan tak cocok dengan ide rumah sehat yang ada di benak
orang-orang pintar penasehat bupati.
Maka kerbau-kerbau penduduk pun sore hari dikumpulkan di luar
kampung, dan hanya dijaga bocah angon. Tahu-tahu, penyakit mulut
& kuku (anthrax) menyerang kawanan kerbau itu, sehingga
habislah ternak besar milik penduduk desa di Cirebon Selatan
itu. Begitu dituturkan seorang pegawai PMD (Pembangunan
Masyarakat Desa) dalam Lokakarya Teknologi Desa BUTSI (Badan
Urusan Tenagakerja Sukarela Indonesia) di Jakarta, awal bulan
lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini