600 orang pekerja tiap hari menjamah wajah Borobudur yang
dikorek oleh kehancuran. Bila suara sirene menguak dari arah
barat pukul 7.30, mereka menyelinap di antara batubatu yang
diketemukan oleh Sir Thonas Stamford Rafiles pada tahun 1814
itu. Suwarno dan Suyono, lelaki tua yang seharusnya sudah lama
pensiun, ikut terselip dalam arus pemugaran. Mereka mengawasi
dan memberi perinh sepanjang hai. Kelihatannya sepele. Tapi
sedikit meleng, konstruksi bisa berubah. Pergeseran satu mili
saja pada lasar bisa berakibat fatal.
Dulu, sepasang orang tua itu masih sring langsung terjun
mengangkat batu. Setiap batu punya bobot antara 50 sampai 100
Kg. Sekarang selain tenaga mereka sudah susut, mesin-mesin derek
sudah mengoper kerja yang primitif itu. Arti mereka menanjak
lebih penting, karena harus memikul tanggung jawab yang lebih
berat dibanding 100 Kg. Bayangkan, kerja raksasa yang ditaksir
rampung tahun 1982 ini melalap sampai $ 15,5 juta. Maka Warno
dan Yono dipatok siaga setiap saat. Kalau perlu turun naik candi
yang tingginya 36 meter. "Habis kalau tidak sering-sering
dikontrol, kerja anak-anak suka kurang teliti. Biasa, kalau
sudah lelah memang begtu," kata Suwarno yang sudah berusia 73
tahun. Pasangan orang tua ini sendiri mendapat julukan 'komputer
berjalan'.
Berbau Misik
Bekerja di dinas purbakala, dengan kesibukan menggali tanah.
mengorek batu serta mencintai peninggalan sejarah, memerlukan
orang yang tepat. Hidup macam ini tidak bisa ditegakkan orang
kota yang biasa dengan hiburan dan fasilitas. Ia harus rela
terdampar ke pelosok-pelosok. Tanpa publikasi. Dan gaji tak bisa
diharapkan untuk membuat hidup tambun dan enak. Tapi Warno dan
Yono masih menunjukkan semangat yang tinggi. Mereka sudah
bersatu dengan batu. Bagi mereka batu-batu tiba-tiba menimbulkan
tuang, bunyi, serta dunia yang tersendiri, yang menggetahi
mereka sampai gaek-gaek.
"Siapa bilang batu harang mati dan tak bisa bicara?" kata Suyono
yang berusia 59 tahun kepada Widi Yarmanto dari TEMPO.
Pertanyaan itu langsung dijawabnya sendiri: "Itu keliru!" Ia
menjelaskan, anggapan bahwa batu adalah barang mati terjadi
karena langkanya orang bekerja di kepurbakalaan. Ia mengaku
pekerjaan itu tak menentu, lebih banyak bergaul dengan sepi.
Masuk hutan, jauh dari penduduk, mengaduk-aduk tanah dan tidak
boleh bosan. Tapi ia sendiri sudah bekerja 37 tahun tanpa
keluhan. Kini ia menganggap profesinya seperti kekasih. Padahal
pada masa mudanya ia tak pernah bermimpi akan menyerahkan
hidupnya pada batu.
Pada awalnya Suyono ini sih ingin jadi pelukis besar. Sekolahnya
hanya sampai Mulo. Oom yang membiayai pendidikannya, tiba-tiba
tutup usia sehingga ia terpaksa berhenti, lalu hidup tak
berketentuah. Ia pernah me,ngikuti permainan orkes. Pernah juga
jadi agen mesin jahit. Waktu rakyat Indonesia kelaparan pada
"jaman meleset" (malaise), ia mendapat pintu masuk dinas
purbakala. Tapi kemudian revolusi keburu pecah, sehingga ia
mengikuti gejolak zaman. Baru tahun 1950 ia kembali lagi
menjamah batu, sampai detik ini.
Sebagai pekerja purbakala, Yono harus setiap kali berangkat
menuju daerah penggalian, lama atau baru. Di samping itu karena
membongkar daerah pelosok, yang diperkirakan menyimpan
peninggalan sejarah, ia selalu berhubungan dengan kepercayaan
penduduk setempat. Setidak-tidaknya para penduduk akan berusaha
mengadakan selamatan. Kadangkala ini menyebabkan pekerjaannya
jadi "berbau mistik". Suyono mentolerir segala sesuatu yang
berhubungan dengan ini, meskipun ia tidak percaya. "Saya tidak
percaya yang mistikmistik. Saya ini terbawa-bawa Iho," katanya
kepada TEMPO.
Sekali waktu ia dapat tugas di Parakan, Desa Gondosuri, menggali
candi yang katanya ada tapi tidak ketahuan tempatnya. Penduduk
setempat menganggap daerah penggalian adalah tanah angker.
Sehingga sulit mencari pekerja yang mau dibayar. Akibatnya
terpaksa mengambil buruh dari luar desa. Selamatan pun diadakan
oleh penduduk. Tetapi anehnya, setiap 2 atau 3 hari ada saja
pekerja yang sakit. Mereka lemas dan mengigau yang bukan-bukan.
Moral kerja jadi rusak. Kepala Desa dan Camat mulai mencium
bau-bau "mistik." Pohon beno, yang ada dalam kompleks tersebut,
dianggap harus disingkirkan untuk menyelamatkan keadaan.
Penebangan itu juga harus didaului dengan selamatan.
Orang Jawa Hebat
Malam harinya Yono bertindak. Ia masuk ke daerah candi. Tanpa
rasa takut ia bersila dan semedi. Tengah malam, dari utara konon
membersit sinar hijau dan biru. Sinar tersebut bergerak arah
utara-selatan. "Apakah sinar hijau tersebut tandanya bo]eh jalan
ters?" tanya Yono dalam hati -- barangkali membandingkan
tanda-tanda "makhluk dunia sana" dengan tanda polisi lalukan. Ia
ambil putusan untuk menebang.Tanpa fikir panjang, menjelang
subuh, ia mengambil kapak dan merubuhkan bendo yang malang itu.
Tentu saja penduduk yang kemudian datang terkejut. Selamatan
dilanjutkan. Anehnya, sesudah itu pekerja-pekerja toh masih jadi
korban lemas yang misterius. Suyono jadi bingung: "bau mistik"
makin menghebat. Belakangan baru ketahuan: ternyata di tempat
penggalian ada tulang dan tengkorak. "Itulah penyebabnya," kata
Yono. Barangkali benda-benda itu merupakan zat pelemas.
Buktinya, setelah disingkirkan, tak ada lagi yang lemas.
Lain waktu Yono berada di Kalimantan Selatan. Ia bertugas
menemukan candi di tepi sebuah rawa yang luas. Di antara
penduduk yang ikut mendugaduga di mana gerangan barang yang
dicari, Yono mulai menebak. Ia melihat di tengah rawa ada sebuah
bukit. Dengan lantang Yono mengucapkan: candi berada di Bukit!
Pengganan dilakukan. Waktu candi benar-benar ditemukan di sana,
penduduk lantas bilang: "Oh, orang Jawa itu ampuh!"
Jadi Dukun
Yono tenang saja, meskipun ia Jawa. Ia sibuk membekali dirinya
dengan biji mahoni. Tidak kurang 6 buah ditelannya tiap hari,
total jendral ia makan 1 Kg. Menurut pengalamannya, biji
tersebut akan membuat tubuhnya dijauhi semut hitam yang banyak
di daerah penggalian. Semut itu sama besarnya dengan semut
rangrang merah. Kalau menggigit, sembuhnya sulit, lukanya bisa
mengoreng. Mahoni juga bikin keder nyamuk dan kutu busuk. Kalau
toh ada yang coba-coba menggigit, kontan mati. Ini sudah
diketahui Yono berkata pengalamannya menggauli rawa. Tapi bagi
penduduk setempat, katanya ini semacam keajaiban. Mereka
langsung pasang hormat. "Orang Jawa hebat," kata mereka. Ini
semua menurut Yono.
"Kehebatan" orang tua ini mungkin didasarkan pada pergaulan dan
persentuhan dengan alam yang terus-menerus. sehingga dapat
melakukan hal yang tepat. Tapi tak urung ada yang menganggapnya
sebagai dukun. Seperti tatkala ia melakukan penggalian di
Ngepon, Ungaran, selatan Semarang. Setelah mengadakan pengukuran
dengan menarik garis horisontal, dilakukan penggalian. Begitu
bagian atas candi muncul penduduk terpekik kegirangan. Kebetulan
sementara itu anak Lurah yang masih usia 8 tahun sakit gigi.
Yono menumbuk aspirin, memasukkannya ke dalam air - tanpa setahu
Lurah. Waktu diminumkan pada anak itu, tangisnya padam. Lurah
tercengang. Mulai saat itu Yono dianggap sebagai dukun -
walaupun si lurah sendiri juga Jawa.
Pasien berikutnya cepat muncul habis tak bisa ditolak. Kali ini
seorang yang lumpuh. "Wah mati aku," ujar Yono yang sama sekali
buta ilmu kedokteran. Tapi ia tak kehabisan akal, karena nama
harum biasanya menuntut kewajiban. Pasien itu dituntunnya
belajar berjalan: mulai dari merambat, tegak sedikit demi
sedikit. Alhamdulillah, berhasil. Yono sendiri juga tak habis
pikir: mengapa bisa berhasil. Mungkin sekali karena sugesti.
Yang lebih lucu lagi, lain saat muncul seorang tua yang sengsara
karena anak perawannya tak ada yang meminang. Suyono minta
cerita selengkapnya. Kemudian memberikan pandangan. "Mulai
sekarang anak perempuan bapak, lalau ada kumpul-kumpul
perhelatan misalnya, biarkan pergi jangan dipingit. Kalau ada
pertemuan, suruh datang!" benar saja: tak perlu menunggu
bertahun-tahun, perawan itu mendapat jodoh. Dan Suyono naik lagi
pamornya sebagai dukun.
Tak selamanya Yono jadi pahlawan. Satu peristiwa ia dapat pel
pahit. Sedang menggali candi bersama 18 anak buahnya, tahu-tahu
ada tentara menyergap dengan sangkur terhunus. Tidak pandang
bulu, semua disuruh buka baju dengan tangan di atas kepala.
Lantas digiring sepanjang jalan. "Padahal saya tidak tahu apa
kesalahan saya. Dilihat orang-orang kampung, malu saya wah tak
habis-habisnya."
Di markas tentara untung saja ada kenalan. Baru jelas persoalan:
komandan sedang melakukan penggerebegan pelarian MMC
(Merbabu-Merapi-Compleks) yang kebetulan masuk proyek,
penggalian. Akhirny Yono sendiri ikut merlangani pemeriksaan
tersebut. Memang diketemukan kedua pelarian di antara
pekerja-pekerjanya -- tapi Yono sendiri sudah terlanjur
kecipratan malu.
Kini bekerja di bidang restorasi, ia harus lebih banyak lagi
tahan diri di samping tetap cermat dan teliti. Pada waktu
pemugaran candi Prambanan misalnya, setelah batu-batu tersusun
rapih, baru ketahuan ada yang kurang. Patung dalam candi
ternyata belum dipasang. "Wah terpaksa dibongkar kembali," kata
Yono. Itu berarti membuyarkan kembali apa yang sudah disusun
hati-hati. Tapi orang tua ini sadar: itu pasti tidak akan
terjadi kalau ia tidak melakukan kesalahan. Hal-hal macam ini
juga kini banyak kali terjadi dalam- menghadapi Borobudur.
Semacam siksaan yang tidak terasa sebagai siksaan lagi.
Seringkali menjelang matahari tenggelam, ia naik ke puncak
Borobudur. Sekedar menikmati hasil kerja hari itu. Kemudian baru
pulang kembali ke mes untuk menyiapkan tenaga esok harinya.
Hanya 2 kali seminggu ia pulang ke Prambanan, di mana menunggu
anak, isteri dan para cucu. "Saya juga heran, bergulat dengan
batu kok senang," kata Suwarno yang kebetulan berada di dekat
Yono. Orang tua itu kontan menjawab. "Itulah, batu itu barang
mati, tapi bisa bicara!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini