Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sudah menyatu dengan batu

Kisah tentang para pekerja purbakala dalam melakukan pemugaran candi borobudur. juga tentang suka duka mengadakan penggalian candi di daerah lain, tantangan dari penduduk setempat yang percaya mistik. (sd)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

600 orang pekerja tiap hari menjamah wajah Borobudur yang dikorek oleh kehancuran. Bila suara sirene menguak dari arah barat pukul 7.30, mereka menyelinap di antara batubatu yang diketemukan oleh Sir Thonas Stamford Rafiles pada tahun 1814 itu. Suwarno dan Suyono, lelaki tua yang seharusnya sudah lama pensiun, ikut terselip dalam arus pemugaran. Mereka mengawasi dan memberi perinh sepanjang hai. Kelihatannya sepele. Tapi sedikit meleng, konstruksi bisa berubah. Pergeseran satu mili saja pada lasar bisa berakibat fatal. Dulu, sepasang orang tua itu masih sring langsung terjun mengangkat batu. Setiap batu punya bobot antara 50 sampai 100 Kg. Sekarang selain tenaga mereka sudah susut, mesin-mesin derek sudah mengoper kerja yang primitif itu. Arti mereka menanjak lebih penting, karena harus memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding 100 Kg. Bayangkan, kerja raksasa yang ditaksir rampung tahun 1982 ini melalap sampai $ 15,5 juta. Maka Warno dan Yono dipatok siaga setiap saat. Kalau perlu turun naik candi yang tingginya 36 meter. "Habis kalau tidak sering-sering dikontrol, kerja anak-anak suka kurang teliti. Biasa, kalau sudah lelah memang begtu," kata Suwarno yang sudah berusia 73 tahun. Pasangan orang tua ini sendiri mendapat julukan 'komputer berjalan'. Berbau Misik Bekerja di dinas purbakala, dengan kesibukan menggali tanah. mengorek batu serta mencintai peninggalan sejarah, memerlukan orang yang tepat. Hidup macam ini tidak bisa ditegakkan orang kota yang biasa dengan hiburan dan fasilitas. Ia harus rela terdampar ke pelosok-pelosok. Tanpa publikasi. Dan gaji tak bisa diharapkan untuk membuat hidup tambun dan enak. Tapi Warno dan Yono masih menunjukkan semangat yang tinggi. Mereka sudah bersatu dengan batu. Bagi mereka batu-batu tiba-tiba menimbulkan tuang, bunyi, serta dunia yang tersendiri, yang menggetahi mereka sampai gaek-gaek. "Siapa bilang batu harang mati dan tak bisa bicara?" kata Suyono yang berusia 59 tahun kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Pertanyaan itu langsung dijawabnya sendiri: "Itu keliru!" Ia menjelaskan, anggapan bahwa batu adalah barang mati terjadi karena langkanya orang bekerja di kepurbakalaan. Ia mengaku pekerjaan itu tak menentu, lebih banyak bergaul dengan sepi. Masuk hutan, jauh dari penduduk, mengaduk-aduk tanah dan tidak boleh bosan. Tapi ia sendiri sudah bekerja 37 tahun tanpa keluhan. Kini ia menganggap profesinya seperti kekasih. Padahal pada masa mudanya ia tak pernah bermimpi akan menyerahkan hidupnya pada batu. Pada awalnya Suyono ini sih ingin jadi pelukis besar. Sekolahnya hanya sampai Mulo. Oom yang membiayai pendidikannya, tiba-tiba tutup usia sehingga ia terpaksa berhenti, lalu hidup tak berketentuah. Ia pernah me,ngikuti permainan orkes. Pernah juga jadi agen mesin jahit. Waktu rakyat Indonesia kelaparan pada "jaman meleset" (malaise), ia mendapat pintu masuk dinas purbakala. Tapi kemudian revolusi keburu pecah, sehingga ia mengikuti gejolak zaman. Baru tahun 1950 ia kembali lagi menjamah batu, sampai detik ini. Sebagai pekerja purbakala, Yono harus setiap kali berangkat menuju daerah penggalian, lama atau baru. Di samping itu karena membongkar daerah pelosok, yang diperkirakan menyimpan peninggalan sejarah, ia selalu berhubungan dengan kepercayaan penduduk setempat. Setidak-tidaknya para penduduk akan berusaha mengadakan selamatan. Kadangkala ini menyebabkan pekerjaannya jadi "berbau mistik". Suyono mentolerir segala sesuatu yang berhubungan dengan ini, meskipun ia tidak percaya. "Saya tidak percaya yang mistikmistik. Saya ini terbawa-bawa Iho," katanya kepada TEMPO. Sekali waktu ia dapat tugas di Parakan, Desa Gondosuri, menggali candi yang katanya ada tapi tidak ketahuan tempatnya. Penduduk setempat menganggap daerah penggalian adalah tanah angker. Sehingga sulit mencari pekerja yang mau dibayar. Akibatnya terpaksa mengambil buruh dari luar desa. Selamatan pun diadakan oleh penduduk. Tetapi anehnya, setiap 2 atau 3 hari ada saja pekerja yang sakit. Mereka lemas dan mengigau yang bukan-bukan. Moral kerja jadi rusak. Kepala Desa dan Camat mulai mencium bau-bau "mistik." Pohon beno, yang ada dalam kompleks tersebut, dianggap harus disingkirkan untuk menyelamatkan keadaan. Penebangan itu juga harus didaului dengan selamatan. Orang Jawa Hebat Malam harinya Yono bertindak. Ia masuk ke daerah candi. Tanpa rasa takut ia bersila dan semedi. Tengah malam, dari utara konon membersit sinar hijau dan biru. Sinar tersebut bergerak arah utara-selatan. "Apakah sinar hijau tersebut tandanya bo]eh jalan ters?" tanya Yono dalam hati -- barangkali membandingkan tanda-tanda "makhluk dunia sana" dengan tanda polisi lalukan. Ia ambil putusan untuk menebang.Tanpa fikir panjang, menjelang subuh, ia mengambil kapak dan merubuhkan bendo yang malang itu. Tentu saja penduduk yang kemudian datang terkejut. Selamatan dilanjutkan. Anehnya, sesudah itu pekerja-pekerja toh masih jadi korban lemas yang misterius. Suyono jadi bingung: "bau mistik" makin menghebat. Belakangan baru ketahuan: ternyata di tempat penggalian ada tulang dan tengkorak. "Itulah penyebabnya," kata Yono. Barangkali benda-benda itu merupakan zat pelemas. Buktinya, setelah disingkirkan, tak ada lagi yang lemas. Lain waktu Yono berada di Kalimantan Selatan. Ia bertugas menemukan candi di tepi sebuah rawa yang luas. Di antara penduduk yang ikut mendugaduga di mana gerangan barang yang dicari, Yono mulai menebak. Ia melihat di tengah rawa ada sebuah bukit. Dengan lantang Yono mengucapkan: candi berada di Bukit! Pengganan dilakukan. Waktu candi benar-benar ditemukan di sana, penduduk lantas bilang: "Oh, orang Jawa itu ampuh!" Jadi Dukun Yono tenang saja, meskipun ia Jawa. Ia sibuk membekali dirinya dengan biji mahoni. Tidak kurang 6 buah ditelannya tiap hari, total jendral ia makan 1 Kg. Menurut pengalamannya, biji tersebut akan membuat tubuhnya dijauhi semut hitam yang banyak di daerah penggalian. Semut itu sama besarnya dengan semut rangrang merah. Kalau menggigit, sembuhnya sulit, lukanya bisa mengoreng. Mahoni juga bikin keder nyamuk dan kutu busuk. Kalau toh ada yang coba-coba menggigit, kontan mati. Ini sudah diketahui Yono berkata pengalamannya menggauli rawa. Tapi bagi penduduk setempat, katanya ini semacam keajaiban. Mereka langsung pasang hormat. "Orang Jawa hebat," kata mereka. Ini semua menurut Yono. "Kehebatan" orang tua ini mungkin didasarkan pada pergaulan dan persentuhan dengan alam yang terus-menerus. sehingga dapat melakukan hal yang tepat. Tapi tak urung ada yang menganggapnya sebagai dukun. Seperti tatkala ia melakukan penggalian di Ngepon, Ungaran, selatan Semarang. Setelah mengadakan pengukuran dengan menarik garis horisontal, dilakukan penggalian. Begitu bagian atas candi muncul penduduk terpekik kegirangan. Kebetulan sementara itu anak Lurah yang masih usia 8 tahun sakit gigi. Yono menumbuk aspirin, memasukkannya ke dalam air - tanpa setahu Lurah. Waktu diminumkan pada anak itu, tangisnya padam. Lurah tercengang. Mulai saat itu Yono dianggap sebagai dukun - walaupun si lurah sendiri juga Jawa. Pasien berikutnya cepat muncul habis tak bisa ditolak. Kali ini seorang yang lumpuh. "Wah mati aku," ujar Yono yang sama sekali buta ilmu kedokteran. Tapi ia tak kehabisan akal, karena nama harum biasanya menuntut kewajiban. Pasien itu dituntunnya belajar berjalan: mulai dari merambat, tegak sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, berhasil. Yono sendiri juga tak habis pikir: mengapa bisa berhasil. Mungkin sekali karena sugesti. Yang lebih lucu lagi, lain saat muncul seorang tua yang sengsara karena anak perawannya tak ada yang meminang. Suyono minta cerita selengkapnya. Kemudian memberikan pandangan. "Mulai sekarang anak perempuan bapak, lalau ada kumpul-kumpul perhelatan misalnya, biarkan pergi jangan dipingit. Kalau ada pertemuan, suruh datang!" benar saja: tak perlu menunggu bertahun-tahun, perawan itu mendapat jodoh. Dan Suyono naik lagi pamornya sebagai dukun. Tak selamanya Yono jadi pahlawan. Satu peristiwa ia dapat pel pahit. Sedang menggali candi bersama 18 anak buahnya, tahu-tahu ada tentara menyergap dengan sangkur terhunus. Tidak pandang bulu, semua disuruh buka baju dengan tangan di atas kepala. Lantas digiring sepanjang jalan. "Padahal saya tidak tahu apa kesalahan saya. Dilihat orang-orang kampung, malu saya wah tak habis-habisnya." Di markas tentara untung saja ada kenalan. Baru jelas persoalan: komandan sedang melakukan penggerebegan pelarian MMC (Merbabu-Merapi-Compleks) yang kebetulan masuk proyek, penggalian. Akhirny Yono sendiri ikut merlangani pemeriksaan tersebut. Memang diketemukan kedua pelarian di antara pekerja-pekerjanya -- tapi Yono sendiri sudah terlanjur kecipratan malu. Kini bekerja di bidang restorasi, ia harus lebih banyak lagi tahan diri di samping tetap cermat dan teliti. Pada waktu pemugaran candi Prambanan misalnya, setelah batu-batu tersusun rapih, baru ketahuan ada yang kurang. Patung dalam candi ternyata belum dipasang. "Wah terpaksa dibongkar kembali," kata Yono. Itu berarti membuyarkan kembali apa yang sudah disusun hati-hati. Tapi orang tua ini sadar: itu pasti tidak akan terjadi kalau ia tidak melakukan kesalahan. Hal-hal macam ini juga kini banyak kali terjadi dalam- menghadapi Borobudur. Semacam siksaan yang tidak terasa sebagai siksaan lagi. Seringkali menjelang matahari tenggelam, ia naik ke puncak Borobudur. Sekedar menikmati hasil kerja hari itu. Kemudian baru pulang kembali ke mes untuk menyiapkan tenaga esok harinya. Hanya 2 kali seminggu ia pulang ke Prambanan, di mana menunggu anak, isteri dan para cucu. "Saya juga heran, bergulat dengan batu kok senang," kata Suwarno yang kebetulan berada di dekat Yono. Orang tua itu kontan menjawab. "Itulah, batu itu barang mati, tapi bisa bicara!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus