Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ia tak digerakkan remote control

Seekor belalang aneh ditemukan seorang mahasiswa di jakarta. bentuknya mirip daun jambu. semula ada yang menduga belalang itu mainan yang digerakkan komputer.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEEKOR belalang unik nongol di layar kaca, lewat siaran TVRI, Ahad petang pekan lalu. Niscaya, banyak pemirsa yang terkesima, melihat tampang serangga itu betul-betul asing: badannya hijau pipih, sayapnya simetris, berbentuk daun dengan garis cokelat di tengahnya. Keenam kakinya pun tak kalah anehnya. Ada jumbai- jumbai hijau mirip sayatan daun. Pendek kata, serangga ini persis daun jambu, lengkap dengan tulang dan motif serat daunnya. Adalah Ketut Akbar Herry Achjar, mahasiswa Akademi Ilmu Pemasyarakatan (Akip) Jakarta, yang membawa serangga itu -- panjang 8,5 cm dan lebar badan 4 cm -- ke studio TVRI. Herry menemukan serangga itu di ranting pohon jambu di kampusnya yang hijau di Cinere, di pinggiran Jakarta. Taruna Akip asal Banyuwangi itu penasaran. Ia ingin tahu "identitas" serangga unik itu. Tapi orang-orang yang menyaksikan hewan langka itu juga pada heran. "Jangan-jangan di dalamnya ada microchip," terdengar celetukan. "Ah, mungkin ia digerakkan dengan remote control," kata yang lain. Entomolog (ahli serangga) Muhammad Amir, M.Sc., Kepala Museum Zoologi Bogor, segera mengenali serangga itu. Ia menyebut hewan itu belalang daun. Serangga tersebut dijumpai di pelbagai tempat di Asia Tenggara. Nama ilmiahnya Phyllium sp. Dalam khazanah ilmu serangga, kehadiran belalang daun telah dibukukan sejak tahun 1918. Tapi populasinya tak pernah besar. "Maka, tak banyak orang ang sempat memergokinya," ujar Muhammad Amir kepada TEMPO. Bentuknya yang mirip daun jambu itu, tutur Kepala Museum Zoologi Bogor ini, adalah jalan untuk beradaptasi dengan daun jambu, lingkungannya. Dengan begitu, ia bisa menyelamatkan diri dari predator yang akan memangsanya (mimikri protektif). Proses penciptaannya mengikuti teori klasik evolusi: seleksi alam. Dulunya, menurut Amir, tampang belalang ini tak secanggih yang sekarang. Seperti makhluk lain, dalam populasinya ada variasi genetik. Ada yang pandai menyaru dengan lingkungannya, menyerupai daun, misalnya. Mereka itulah yang relatif mampu bertahan. Pada generasi berikutnya terjadi pula proses serupa. Yang tak mewarisi bakat menyaru, nasibnya gampang nahas: dimangsa burung, tikus, atau monyet. Proses ini mungkin berlangsung ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu tahun. Walhasil, marga Phyllium yang tersisa ini adalah yang betul-betul mirip daun. Toh tampang mirip daun jambu ini bukan bentuk akhir. Proses seleksi alam terus berlangsung. Bisa saja generasi Phyllium mendatang mirip daun akasia. Betapa tidak, belakangan ini kebun jambu semakin langka, sedangkan pohon akasia ditanam di mana- mana. Boleh jadi, tetua Phyllium dulunya adalah belalang hijau biasa. Lepas dari bentuknya yang aneh itu, keadaan morfologi dan anatominya dekat dekat dengan Siphocrania goliath, belalang jambu yang panjangnya bisa 30 cm. Keduanya masuk famili Phasmotidae. Kelompok ini tak melakukan metamorfosa lengkap. Jadi, pertumbuhannya dari telur langsung ke bentuk belalang, tanpa tahap ulat dan berkepompong. Sebagai serangga, belalang daun ini tergolong punya daya tahan hidup yang tinggi. Umurnya bisa mencapai 6-8 bulan. Untuk berbiak, mereka tak perlu kawin. Mereka hermafrodit. Setiap individu bisa menghasilkan sel telur dan sperma. Tapi mengapa populasi mereka tak pernah meledak? Belalang daun ini tak produktif menghasilkan telur. Paling sehari satu- dua butir. Dan persentase telur yang dapat menetas terhitung rendah. Bandingkan dengan wereng betina, yang mampu memberikan ribuan telur dalam masa hidupnya yang sekitar tiga minggu. Belalang daun ini pun tak pandai bermigrasi. Sayapnya praktis menganggur. Ia bisa terbang hanya ketika masih kecil. "Itu pun harus dibantu angin," tutur Muhammad Amir. Sejauh ini, perilaku belalang daun memang belum banyak terungkap. Para ahli Indonesia lebih banyak tahu dari literatur yang ditulis entomolog asing. Maklum, ahli serangga Indonesia sibuk meneliti serangga yang nyata-nyata dianggap hama. Dan Muhammad Amir yakin, belalang daun ini tak akan berkembang menjadi hama. "Tak ada potensi populasinya untuk meledak," ujarnya. Spesies Phyllium sp. terdiri atas tiga variasi yang satu sama lain cuma dibedakan oleh warna tubuh. Ada yang hijau tua, hijau pupus, dan cokelat mirip daun kering. Semuanya memangsa dedaunan, terutama daun jambu. Sebenarnya, ada lagi jenis belalang yang punya kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan -- mimikri protektif -- seperti Phyllium sp., yaitu belalang ranting. Dalam keadaan dewasa, panjang tubuh belalang ini bisa mencapai 50 cm. Tubuhnya berwarna cokelat, maka kalau ia menggantung di pohon, susah dikenali karena kelihatan seperti ranting pohon. Dari sekitar 30 juta spesies serangga di dunia, memang cukup banyak yang pandai melakukan mimikri protektif. Malah ada pula yang mampu melakukan mimikri agresif, seperti belalang sembah. Bila ia melihat mangsa, ia melipat tungkai depannya, menempel pada kepala dan badannya. Dengan demikian, serangga ini kelihatan seperti kuncup kembang. Itu jebakan. Begitu lalat atau kupu kecil mendekatinya, kedua tungkai tadi segera meringkus dan memangsanya.PTH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum