DI sebuah pulau kecil lepas pantai Virginia, Amerika Serikat,
sebuah roket meraung ke udara menjelang matahari terbit. Pagi
itu (18 Pebruari) di antarnya satelit seberat kurang lebih 150
kg ke dalam orbitnya, 600 km di atas permukaan bumi. Tugasnya
menyelidiki lapisan ozon yang melingkupi bumi sebagai filter
raksasa terhadap sinar ultra violet. yang bahaya dari program
matahari. Ia merupakan sebagian dari penyelidikan AS, yang
dibekali dana $ 10 juta, guna mencegah efek pencemaran lapisan
ozon oleh kegiatan manusia. Pencemaran itu diduga menimbulkan
pengaruh terhadap perubahan iklim.
Di Jenewa, para sarjana kebetulan membahas soal iklim dengan
segala kemungkinannya. Dalam World Climate Conference itu selama
dua minggu sampai pekan lalu juga disinggung soal iklim yang
akan makin dingin (TEMPO, 17 Pebruari). Tapi kenapa?
Dalam sejarah yang menjangkau kurun waktu ribuan tahun, agaknya
keadaan normal iklim bumi adalah jauh lebih dingin dibandingkan
dengan iklim yang berlaku sejak awal abad ke 20 sampai kira-kira
tahun 1960. Para sarjana umumnya sependapat bahwa periode 50
tahun pertama dalam abad ini merupakan puncak 'musim panas
kecil' dan sekarang iklim mulai kembali kepada keadaan
normalnya.
Gejala ini dipelajari oleh dua tim sarjana yang masing-masing
dipimpin oleh Reid Bryson dari Universitas Wisconsin Madison,
Amerika Serikat dan Hubert Lamb dari Uniersitas Anglia Timur,
Inggeris. Profesor Bryson mengatakan "kondisi nyaman antara 1910
sampai 1960 merupakan suatu keadaan sementara -- interupsi masa
'abad es kecil' yang cukup panjang, ke arah mana sekarang kita
kembali."
Sebagian besar peserta konperensi itu sependapat dengan
pandangan ini. Namun ada juga seperti E.K. Federov, ahli
klimatologi dari Uni Soviet, yang mengatakan pandangan demikian
tidak beralasan. "Justru terjadi kecenderungan ke arah
memanasnya iklim di belahan utara bumi ini," katanya.
Rupanya masih menjadi bahan kontroversi adalah ke arah mana
perubahan iklim bergerak. Agaknya terjadi suatu kompromi seperti
diungkapkan oleh Profesor Hubert Lamb, "selama dua dasawarsa
mendatang kecenderungan ke arah iklim lebih dingin dan tidak
tetap polanya akan berlangsung. Sesudah itu, menjelang
pertukaran abad, iklim akan menjadi makin panas akibat 'efek
rumah kaca'.
Efek Rumah Kaca
'Efek rumah kaca' (greenhouse effect) adalah efek yang
ditimbulkan oleh dioksida arang di dalam atmosfir yang kian
bertambah akibat penggunaan energi dengan cara pembakaran
minyak, batubara dan kayu ditambah berkurangnya luas hutan
belukar. Penggunaan energi sejagat demikian suatu institut dari
Austria meramalkan rmungkin meningkat tiga sampai lima kali pada
pertengahan abad mendatang. Bayangkan dioksida arang makin
berlipat ganda terus.
Dioksida arang ini bertindak sebagai selimut yang menahan
gelombang panjang (panas) dari sinar matahari dan dengan
demikian meningkatkan proses pemanasan iklim di bumi. Proses ini
diberi nama 'efek rumah kaca' karena mempunyai persamaan prinsip
dengan proses pertanian rumah kaca di negeri beriklim dingin.
Karena Concorde?
Bertentangan dengan efek ini adalah efek 'gunung api manusia'.
Diberi nama demikian oleh Profesor Bryson karena letusan gunung
api yang menyemburkan debu ke udara (seperti Krakatau tahun
1883), merupakan proses alamiah dan mempunyai efek klimatologis.
Serupa efeknya dengan yang ditimbulkan karena penggunaan
bermacam-macam zat kimia secara meluas sekali oleh manusia, dan
meningkatkan kadar zat 'asing' di udara jauh di atas konsentrasi
normalnya. Proses ini cenderung menghalangi sinar matahari
mencapai permukaan bumi sehingga terjadi efek pendinginan iklim.
Tapi para sarjana umumnya berpendapat bahwa 'efek rumah kaca'
yang menentukan, dan dalam waktu dekat efek ini akan mengungguli
efek mendingin alamiah dan efek 'gunung api manusia' dari
Profesor Bryson, sehingga akhirnya menghasilkan suatu pemanasan
iklim menyeluruh.
Apa akibatnya bagi manusia belum dapat dijawab dengan tepat,
tapi seperti dikatakan oleh Dr. Robert M. White dari u.s.
Nationai Academy of Sciences "Jelas bahwa perubahan dalam iklim
akan mempunyai efek di berbagai wilayah di bumi ini. Akan ada
yang beruntung dan ada pula yang rugi. Suatu perubahan dalam
pola iklim pasti menjurus ke pembagian baru dari kekayaan alam.'
Lebih semu lagi nada Stephen Schneider dari Pusat Penyelidikan
Atmosfir di Boulder, Colorado, AS, yang mengatakan "pelajaran
pokok yang bisa diambil dari gejala perubahan iklim, bukanlah
gejala itu sendiri, melainkan malapetaka yang ditimbulkannya.
Seratus tahun yang lalu saja manusia masih jarang di bumi. Bila
terjadi akibat buruk karena perubahan iklim, manusia dengan
mudah berpindah ke tempat lain yang lebih baik kondisinya. Tapi
sekarang bumi sudah padat dan seakan-akan di atas ujung tanduk.
Tekanan baru akibat perubahan iklim akan terbukti melebihi daya
tampung sistim dunia yang memang sudah melemah."
Berbagai negara pernah menolak pesawat penumpang supersonik
Concorde melintasi atau mendarat di wilayah mereka. Di samping
faktor bising, mereka khawatir akan pengrusakan terhadap laplsan
ozon akibat semburan gas dari mesin pesawat itu. Kekhawatiran
ini bukan karena pertimbangan klimatologis, melainkan
pertimbangan akan timbulnya gangguan kesehatan, terutama kanker
kulit oleh lolosnya sinar ultra violet.
Karena Sungai
Akibat klimatologis dari pengrusakan terhadap lapisan ozon
dikemukakan oleh Profesor John Mason dari Inggeris dalam kertas
kerjanya pada Konperensi Iklim Sedunia. Ia menyimpulkan bahwa
memang terdapat penurunan suhu akibat menipisnya lapisan ozon,
tapi "tidak akan mempunyai efek yang berarti terhadap iklim
dalam abad ini."
Yang agak menguntungkan adalah-karena produksi ozon cenderung
meningkat dalam kondisi suhu lebih rendah -- 'efek rumah kaca'
yang menahan sinar panas di dekat permukaan bumi, mungkin bisa
mengimbangi proses pendinginan yang terjadi. Profesor Mason
menunjukkan bahwa dalam waktu 100 tahun mendatang lapisan ozon
bisa bertambah dengan 5% sehingga mungkin dapat mengimbangi
menipisnya lapisan ozon akibat kegiatan manusia yang merusak
yang lain.
Proyek raksasa seperti yang direnca nakan Uni Soviet, RRC, India
dan Australia untuk mengalihkan aliran sungai besar di wilayah
mereka akan sangat mempengaruhi pola iklim sedunia. Akan timbul
masalah baru, yaitu apakah suatu negara berhak melaksanakan
proyek raksasa demikian, sekalipun di wilayahnya sendiri,
mengingat pengaruhnya di seluruh dunia?
Agaknya manusia dalam mengejar peningkatan mutu hidup melalui
ilmu dan teknologi, secara tidak sengaja turut mempengaruhi
lingkungan sehingga terjadi perubahan dalam pola iklim sedunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini