Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bagaimana menemukan diri

Sekitar 40 lukisan dari pelukis tarmizi firdaus, dengan gaya sapuan spontan dapat dilihat di galeri baru tim sapuan spontan tarmizi baru sapuan mekanis, yang belum membentuk satu watak.(sr)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAI seorang pengemudi yang menguasai betul kendaraannya, plus menaati semua peraturan lalu-lintas, demikianlah pelukis Tarmizi Firdaus (28 tahun). Sekitar 40 lukisan dengan gaya sapuan spontan dapat dilihat di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki, 20 Pebruari - 3 Maret ini. Sebagian besar tunggal warna: biru saja, merah saja, coklat saja. Dan meski dilahirkan dengan sapuan spontan yang lebar-lebar toh terasa rapi. Ada batas-batas tertentu, aturan-aturan tertentu yang ditaati. Lihat saja: kecuali tunggal warna, ternyata juga tunggal gerak. Sapuan praktis sejenis lurus, patah, atau melengkung. Tiba-tiba saja memberi kesan karya-karya tersebut potongan-potongan sebuah karya yang amat besar. Apalagi Tarmizi tak memberi judul satu per satu. Jadinya pameran ini sebuah pameran yang sepi, yang tidak memberi kesan kepada pengunjungnya terhadap satu per satu karya. Memang ada kemungkinan kesan tersebut bukan lahir dari karya sendiri, tapi dari ruang Galeri Baru yang terlalu luas untuk hanya sejumlah karya dan berukuran tak begitu lebar. Juga cara menggantung karya-karya itu yang rapi berderet begitu saja. Bagaimana pun, karya seni rupa adalah karya visual. Cara penampilannya punya pengaruh juga terhadap karya itu sendiri. Ini yang menyebabkan dalam satu pameran bersama misalnya, bisa saja karya seorang pelukis kuat jadi tenggelam, atau sebaliknya. Gelap, Dingin, Cerah Untuk karya-karya Tarmizi, rupanya pengaruh ruang dan cara memasang lukisan, boleh dikata minim. Sapuan spontannya tidak menjulur ke luar dari bidang gambar, tapi berpusar hanya sebatas bidang itu saja. Ketunggalan nada dan geraknya tidak melahirkan satu sosok yang kukuh, tapi hanya memberi satu komposisi yang tawar, tiada rasa. Ada banyak hal yang bisa diceritakan tentang spontanitas itu. Pelukis Affandi, Rusli atau Srihadi yang suka sapuan spontan, tidaklah sekedar menyapukan cat. Affandi menangkap obyek dalam imajinya secara keseluruhan, membiarkan emosinya memberikan respon, baru menuangkan semuanya ke kanvas. Rusli kurang lebih sama -- hanya caranya menuang ke kanvas lebih "diatur": dia kendalikan emosi dan hanya menyapukan intinya saja. Sedangkan Srihadi jelas sangat "memperhitungkan" sapuannya. Ia pernah berkata, sapuan spontan harus tepat benar. Sebab kalau tidak, seluruh lukisan akan rusak. Apalagi kalau kita banding kespontanan pelukis Cina klasik. Menurut dongeng, mereka bisa merenungi sehelai daun bambu berjam-jam -- bahkan berhari-hari -- hanya untuk memperoleh ketepatan satu sapuan dalam melukiskan daun bambu. Tarmizi barangkali memang bertolak dari warna itu sendiri, bidang itu sendiri dan teori komposisi itu sendiri. Hingga yang dituju barangkali hanya upaya mewujudkan hal-hal seperti sapuan datar, melintang, melengkung atau patah-patah. Suasana yang mau dicipta mungkin terbatas pada gelap, dingin atau cerah dan panas. Dengan kata lain, sapuan spontan Tarmii baru sapuan mekanis -- yang belum membentuk satu watak. Dan bila kesenian adalah soal kreativitas, penguasaan medium saja belum berarti banyak -- mungkin hanya semacam latihan disiplm -- tanpa kemampu.m memberi arti. Bukan sekedar sapuan datar, bukan sekedar biru. Lihat saja Bunga-bunga Matahan lukisan Affandi tahun 50-an yang kuning itu. Di situ tidak hanya kuning dan goresan yang membentuk bunga. Ada semacam simbol, atau makna yang terpancar. Dan memberi makna sering perlu menuruti kata hati, tidak sekedar menuruti teori. Adakalanya kata hati memang sejalan dengan teori, tapi yang sering terjadi justru sebaliknya. Ini yang menyebabkan Affandi membuang kwasnya dan hanya menggunakan tangan, dan melahirkan karya-karya yang khas dia. Tentu kurang adil membandingkan Tarmizi (lulus Seni Rupa ITB 1975) dengan Affandi. Tapi itulah hanya jembatan untuk mengatakan, bahwa terkadang orang harus menyimpang dari aturan. Lebih-lebih bila aturan tersebut sudah ketinggalan zaman, atau yang bersangkutan tak sesuai dengan cara yang lazim. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus