BAGAI seorang pengemudi yang menguasai betul kendaraannya, plus
menaati semua peraturan lalu-lintas, demikianlah pelukis Tarmizi
Firdaus (28 tahun). Sekitar 40 lukisan dengan gaya sapuan
spontan dapat dilihat di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki, 20
Pebruari - 3 Maret ini.
Sebagian besar tunggal warna: biru saja, merah saja, coklat
saja. Dan meski dilahirkan dengan sapuan spontan yang
lebar-lebar toh terasa rapi. Ada batas-batas tertentu,
aturan-aturan tertentu yang ditaati. Lihat saja: kecuali tunggal
warna, ternyata juga tunggal gerak. Sapuan praktis sejenis
lurus, patah, atau melengkung. Tiba-tiba saja memberi kesan
karya-karya tersebut potongan-potongan sebuah karya yang amat
besar. Apalagi Tarmizi tak memberi judul satu per satu.
Jadinya pameran ini sebuah pameran yang sepi, yang tidak memberi
kesan kepada pengunjungnya terhadap satu per satu karya. Memang
ada kemungkinan kesan tersebut bukan lahir dari karya sendiri,
tapi dari ruang Galeri Baru yang terlalu luas untuk hanya
sejumlah karya dan berukuran tak begitu lebar. Juga cara
menggantung karya-karya itu yang rapi berderet begitu saja.
Bagaimana pun, karya seni rupa adalah karya visual. Cara
penampilannya punya pengaruh juga terhadap karya itu sendiri.
Ini yang menyebabkan dalam satu pameran bersama misalnya, bisa
saja karya seorang pelukis kuat jadi tenggelam, atau sebaliknya.
Gelap, Dingin, Cerah
Untuk karya-karya Tarmizi, rupanya pengaruh ruang dan cara
memasang lukisan, boleh dikata minim. Sapuan spontannya tidak
menjulur ke luar dari bidang gambar, tapi berpusar hanya sebatas
bidang itu saja. Ketunggalan nada dan geraknya tidak melahirkan
satu sosok yang kukuh, tapi hanya memberi satu komposisi yang
tawar, tiada rasa.
Ada banyak hal yang bisa diceritakan tentang spontanitas itu.
Pelukis Affandi, Rusli atau Srihadi yang suka sapuan spontan,
tidaklah sekedar menyapukan cat. Affandi menangkap obyek dalam
imajinya secara keseluruhan, membiarkan emosinya memberikan
respon, baru menuangkan semuanya ke kanvas. Rusli kurang lebih
sama -- hanya caranya menuang ke kanvas lebih "diatur": dia
kendalikan emosi dan hanya menyapukan intinya saja. Sedangkan
Srihadi jelas sangat "memperhitungkan" sapuannya. Ia pernah
berkata, sapuan spontan harus tepat benar. Sebab kalau tidak,
seluruh lukisan akan rusak.
Apalagi kalau kita banding kespontanan pelukis Cina klasik.
Menurut dongeng, mereka bisa merenungi sehelai daun bambu
berjam-jam -- bahkan berhari-hari -- hanya untuk memperoleh
ketepatan satu sapuan dalam melukiskan daun bambu.
Tarmizi barangkali memang bertolak dari warna itu sendiri,
bidang itu sendiri dan teori komposisi itu sendiri.
Hingga yang dituju barangkali hanya upaya mewujudkan hal-hal
seperti sapuan datar, melintang, melengkung atau patah-patah.
Suasana yang mau dicipta mungkin terbatas pada gelap, dingin
atau cerah dan panas.
Dengan kata lain, sapuan spontan Tarmii baru sapuan mekanis --
yang belum membentuk satu watak. Dan bila kesenian adalah soal
kreativitas, penguasaan medium saja belum berarti banyak --
mungkin hanya semacam latihan disiplm -- tanpa kemampu.m memberi
arti. Bukan sekedar sapuan datar, bukan sekedar biru. Lihat saja
Bunga-bunga Matahan lukisan Affandi tahun 50-an yang kuning itu.
Di situ tidak hanya kuning dan goresan yang membentuk bunga. Ada
semacam simbol, atau makna yang terpancar. Dan memberi makna
sering perlu menuruti kata hati, tidak sekedar menuruti teori.
Adakalanya kata hati memang sejalan dengan teori, tapi yang
sering terjadi justru sebaliknya. Ini yang menyebabkan Affandi
membuang kwasnya dan hanya menggunakan tangan, dan melahirkan
karya-karya yang khas dia.
Tentu kurang adil membandingkan Tarmizi (lulus Seni Rupa ITB
1975) dengan Affandi. Tapi itulah hanya jembatan untuk
mengatakan, bahwa terkadang orang harus menyimpang dari aturan.
Lebih-lebih bila aturan tersebut sudah ketinggalan zaman, atau
yang bersangkutan tak sesuai dengan cara yang lazim.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini