Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Pennsylvania - Sekelompok ilmuwan telah menemukan model yang dapat memprediksi waktu dan titik terjadinya penyebaran wabah Ebola. Caranya, dengan menggunakan pola migrasi kelelawar sebagai inang utama dari penyakit tersebut. Para peneliti tersebut mempublikasikan risetnya pada 22 Mei 2018 lalu di jurnal Scientific Reports.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut data terbaru dari World Heatlh Organization (WHO), wabah Ebola kembali terjadi di Kongo yang menjangkiti 58 orang dan membunuh hingga setengahnya. Wabah ini adalah yang ke-9 kalinya terjadi di Kongo sejak 1976, ketika virus yang mematikan tersebut pertama kali ditemukan di sungai Ebola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu penulis dari studi tersebut, Paolo Bocchini, menyatakan bahwa biasanya dalam mempelajari dan meniliti penyakit seperti Ebola digunakan asumsi bahwa penyakit tersebut bergerak secara seragam.
“Namun pada kenyataannya penyakit yang menggunakan hewan sebagai inangnya memiliki pergerakan yang bergantung pada bagaimana inang tersebut bermigrasi,” kata Profesor teknik sipil dan lingkungan dari Universitas Lehigh, Amerika Serikat, tersebut, seperti dilansir laman Live Science.
Baca juga: Virus Ebola Membunuh 17 Orang di Kongo
Dengan menggunakan informasi dari satelit dan data mengenai tingkat infeksi, kelahiran dan kematian dari kelelawar, Bocchini dan timnya telah mengembangkan sebuah model yang dapat mengikuti pola migrasi dari hewan mamalia tersebut di seluruh benua Afrika.
Dengan menggunakan model tersebut, ditambah dengan informasi dan data mengenai ketersediaan makanan dan sarang untuk kelelawar, para peneliti akan dapat secara akurat memprediksi titik pusat penyebaran wabah dengan menyesuaikan pola migrasi kelelawar pada kasus penyebaran wabah Ebola 2014 di Afrika bagian barat. Wabah tersebut membunuh lebih dari 11 ribu orang.
Dengan kata lain para peneliti menggunakan model mereka untuk berhipotesa terkait lokasi titik penyebaran wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014 dengan menggunakan pemetaan pola migrasi kelelawar. Hasilnya, model terebut terbukti benar bahwa penyebaran wabah terjadi di titik lokasi yang mereka prediksi sebelumnya.
Sebagai contoh, model tersebut secara retroaktif memprediksi puncak infeksi dari wabah Ebola yang berinang kelelawar pada 2014 di desa pedalaman Guinea, Meliandou. Dan memang, ketika peneliti menganlisa laporan penyakit Ebola di desa tersebut pada periode waktu yang sama, mereka menemukan bahwa prediksi mereka sesuai dengan periode dan tempat penyebaran wabah itu muncul.
Baca juga: Cara Dokter Mendiagnosa Ebola
“Saat ini targetnya adalah menggunakan model untuk memprediksi penyebaran Ebola masa depan,” kata Bocchini. “Jika kami melihat bahwa ada resiko dalam tingkat yang tinggi di suatu titik lokasi pada suatu waktu tertentu, kami dapat segera mengalokasikan sumber daya dan bantuan ke titik tersebut,” tambahnya.
Bantuan tersebut termasuk vaksin, kampanye kesehatan publik, bahkan beberapa dokter. Namun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Bocchini dan timnya telah mendapat suntikan dana dari National Institute of Health untuk melanjutkan penelitian mereka. Para peneliti tersebut juga berharap bahwa model mereka dapat digunakan untuk jenis penyakit lain dan tempat yang berbeda.
“Kami berpikir bahwa model ini dapat juga digunakan untuk penyakit lain,” kata Bocchini. Ia kemudian menambahkan bahwa model ini juga dapat memprediksi penyebaran penyakit seperti Zika yang terjadi di benua Amerika, meski dibutuhkan riset lebih lanjut.
Baca juga: Asal Usul Nama Ebola
Simak riset menarik lainnya tentang Ebola hanya di kanal Tekno Tempo.co.
SCIENTIFIC REPORTS | LIVE SCIENCE | SURYO PRABANDONO | AMB